jurnal PKN

Edit

Diterbitkan oleh:
BADAN PENDIDIKAN KRISTEN PENABUR (BPK PENABUR)
I S S N : 1412-2588
Jurnal Pendidikan Penabur (JPP) dapat dipakai
sebagai medium tukar pikiran, informasi dan
penelitian ilmiah antar para pemerhati masalah pendidikan.
Penanggung Jawab
Dra. Kristinawati Susatio, M.M.
Pemimpin Redaksi
Dr. BP. Sitepu, M.A.
Sekretaris Redaksi
Rosmawati Situmorang
Dewan Editor
Dr. BP. Sitepu, M.A.
Ir. Budyanto Lestyana, M.Si.
Dra. Mulyani
Dr. Theresia K. Brahim
Dra. Vitriyani P., M.Pd.
Alamat Redaksi :
Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lt. 5, Jakarta Barat 11470
Telepon (021) 5606773-76, Faks. (021) 5666968
http://www.bpkpenabur.or.id
E-mail : bp3@bpkpenabur.or.id
Pedoman Penulisan Naskah untuk Jurnal Pendidikan Penabur
Naskah ditulis dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
1. Naskah merupakan laporan penelitian, opini, info, dan resensi buku yang
berhubungan dengan bidang pendidikan serta disajikan dalam bentuk
bahasa ilmiah populer.
2. Naskah merupakan karya asli dari penulis dan belum pernah
dipublikasikan atau sedang dikirimkan ke media lain.
3. Naskah diketik pada kertas A4 dengan margin/batas atas, kanan, dan
bawah masing-masing 3 cm dan batas kiri 4 cm dari tepi kertas.
Menggunakan program MS Word dengan jenis huruf Book Antiqua 10
point/spasi ganda.
4. Panjang naskah hasil penelitian + 4500 kata, sedangkan untuk opini,
info, serta resensi buku + 2000 kata.
5. Judul harus singkat, jelas dan tidak lebih dari 10 kata.
6. Format penulisan adalah : Judul, nama penulis, abstrak, isi artikel, daftar
pustaka, dan keterangan mengenai penulis.
7. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 150 kata.
9. Ilustrasi (grafik, tabel dan foto) harus disajikan dengan jelas. Tulisan pada
ilustrasi menggunakan huruf yang sama pada isi naskah dengan besar
huruf tidak lebih kecil dari 6 point.
10. Naskah dikirim dalam bentuk disket dan hasil print out ke Redaksi Jurnal
Pendidikan Penabur, Jalan Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lantai 5.
Jakarta Barat - 11470 atau melalui e-mail: bp3@bpkpenabur.or.id
11. Naskah disertai dengan daftar riwayat hidup yang memuat latar belakang
pendidikan, pekerjaan dan karya ilmiah lain yang pernah ditulis.
12. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan. Naskah yang tidak dimuat
tidak dikembalikan.
13. Redaksi berhak mengedit naskah yang dimuat tanpa mengubah isi
naskah.
14. Isi Jurnal Pendidikan Penabur tidak mencerminkan pendapat atau
kebijakan BPK PENABUR.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08 /Th.VI/Juni 2007 i
Jurnal Pendidikan Penabur
Nomor 08/VI/Juni 2007
ISSN: 1412-2588
Daftar Isi i
Pengantar Redaksi ii-iv
Sekolah Unggulan: Antara Kenyataan dan Impian, Petrus Trimantara, 1-11
The Analysis of Senior High School State Final Examination 2005-2006, Kaprista Sutikno, 12-20
Upaya Mengembangkan Sikap Siswa Melalui Nilai dan Moral dalam Bacaan dan Dongeng,
Keke T. Aritonang, 21-28
M
Brilliant Class dalam Perspektif Vygotsky, Yuli Kwartolo, 29 - 38
Waralaba TKK BPK PENABUR, Chris Maryadi SB, 39 - 49
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembelajaran, Muksin Wijaya,
50 - 59
Scaffolding pada Program Pendidikan Anak Usia Dini, Upi Isabella, 60 - 65
Pembentukan Konsep Diri Siswa Melalui Pembelajaran Partisipatif
(Sebuah Alternatif Pendekatan Pembelajaran di Sekolah Dasar), Melanie D. Murmanto, 66 -74
Telaah Kritis Terhadap Tugas dan Tanggung Jawab Jabatan Pendeta Sekolah di Lingkungan
BPK PENABUR, Djudjun Djaenuddin Supriadi, 75 - 81
Analisis Kebijakan tentang Penutupan Sekolah Menengah Kejuruan Kristen BPK PENABUR Jakarta,
Elika Dwi Murwani, 82 - 93
Isu Mutakhir, Mulyani dan Rosmawati Situmorang, 94 - 96
Resensi Buku: Jangan Pukul Aku!, Nur Hari Cahyanti, 97 - 101
Profil BPK PENABUR Rengasdengklok, Sarindi, 102 - 106
Keterangan Mengenai Penulis, 107 -108
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08 /Th.VI/Juni 2007 i
Pengantar Redaksi
i Indonesia pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai
pendidikan tinggi diselenggarakan oleh dan merupakan
tanggung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat.
Pentingnya peranan pendidikan dalam meningkatkan
kecerdasan dan kesejahteraan individu dan masyarakat mendorong
Pemerintah dan masyarakat memberikan perhatian besar pada
pendidikan. Ditetapkannya anggaran untuk penyelenggaraan
pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD dalam Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 menunjukkan kesungguhan bangsa
Indonesia dalam pembangunan pendidikan. Sedangkan besarnya
jumlah lembaga- lembaga pendidikan mulai dari TK sampai
Perguruan Tinggi serta pendidikan nonformal yang dikelola oleh
masyarakat (swasta), menunjukkan pula besarnya perhatian dan
peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
Selama ini dikenal ada empat masalah pokok pendidikan
nasional yaitu: (1) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan,
(2) peningkatan mutu pendidikan, (3) peningkatan relevansi
pendidikan, dan (4) peningkatan efisiensi dan akuntabilitas
pengelolaan pendidikan. Untuk mengatasi keempat masalah tersebut
berbagai upaya telah dilaksanakan oleh Pemerintah, antara lain
pendirian dan rehabilitasi gedung sekolah, pengangkatan dan
penataran guru, pengadaan buku pelajaran dan laboratorium,
penyempurnaan kurikulum, serta menerapkan sistem pengelolaan
dan pengawasan penyelenggaraan pendidikan. Akan tetapi dalam
pendirian sekolah baru, tidak jarang terjadi perencanaan dan
pelaksanaannya kurang memperhatikan kondisi yang ada. Misalnya,
di beberapa tempat Pemerintah mendirikan sekolah baru berdekatan
dengan sekolah swasta yang sudah lama berdiri, sehingga secara
perlahan-lahan sekolah swasta kekurangan peserta didik karena
tidak dapat bersaing dengan sekolah negeri yang memiliki berbagai
kelebihan dan kemudahan. Di samping itu Pemerintah juga
mengutamakan sekolah negeri dari pada sekolah swasta dalam
pengangkatan dan penataran guru serta pengadaan buku dan
laboratorium. Keadaan yang demikian memberikan kesan
masyarakat bukan menjadi mitra tetapi saingan Pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Dewasa ini masyarakat semakin menyadari fungsi lembaga
pendidikan sebagai penghasil sumber daya manusia yang bermutu
dan dapat diandalkan. Oleh karena itu dalam memilih sekolah untuk
anak-anaknya, kriteria “bermutu” itu menjadi perioritas dengan
catatan bahwa bermutu itu diartikan secara luas. Bermutu dilihat
dari ranah kognitif yang berarti lulusannya memiliki pengetahuan
yang unggul, dari ranah psikomotorik yang berarti memiliki
keterampilan yang dapat bersaing, dan dari ranah afektif berarti
memiliki sikap dan moral yang tangguh. Mutu sumber daya manusia
yang demikian dihasilkan melalui proses pembelajaran yang
menggunakan pendidik dan tenaga kependidikan yang ahli di
bidangnya, peralatan dan fasilitas belajar-membelajarkan yang
modern dan sangat mendukung, kurikulum yang mengikuti
perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan dan teknologi serta
D
ii Jurnal Pendidikan Penabur - No.08 /Th.VI/Juni 2007
kebutuhan lapangan kerja, kegiatan belajar-membelajarkan yang
berorientasi pada teknologi pembelajaran yang efektif dan efisien,
serta pengelolaan sekolah yang profesional.
Era globalisasi dan era teknologi informasi dan komunikasi
dalam abad ke-21 ini membuat masyarakat semakin peka terhadap
pendidikan yang bermutu agar dapat bersaing dan berkolaborasi
dengan sumber daya manusia dari negara lain. Kebutuhan dan
tuntutan tidak lagi berorientasi semata-mata pada kondisi lokal atau
nasional, tetapi mulai berorientasi pada kondisi regional dan
internasional. Dengan demikian, ukuran mutu dan relevansi
pendidikan pun mulai bergeser ke standar regional dan
internasional. Akibatnya, banyak orang tua dan siswa yang tidak lagi
mempersoalkan hasil Ujian Negara (UN). Bagi mereka hasil UN tidak
mempunyai pengaruh yang berarti, sejauh anaknya dapat diterima di
lembaga pendidikan di luar negeri. Sebaliknya, mereka akan risau
walaupun memperoleh nilai tinggi dalam UN tetapi anaknya tidak
diterima di lembaga pendidikan di luar negeri yang diinginkannya.
Perubahan paradigma masyarakat terhadap pendidikan
dewasa ini juga dibaca oleh penyelenggara pendidikan baik
Pemerintah maupun swasta. Belakangan ini kita melihat Pemerintah
sendiri menyelenggarakan pendidikan di sekolah-sekolah tertentu
dengan predikat seperti “Sekolah Nasional Berwawasan
Internasional”, “Sekolah Unggulan”, “Sekolah Koalisi” atau
“Sekolah Percontohan”. Sedangkan pihak swasta sendiri
menggunakan predikat seperti “Sekolah Internasional”, “Sekolah
Affiliasi dari Lembaga Pendidikan Luar Negeri”, atau “Sekolah
Multinasional”. Semua predikat itu menunjukkan identitas mutu
pendidikan di sekolah dipakai antara lain untuk menarik perhatian
calon siswa untuk memasukinya. Keadaan yang demikian timbul,
oleh karena dewasa ini terjadi persaingan antar lembaga pendidikan
semakin ketat dalam memperoleh peserta didik.
Lulusan yang bermutu dihasilkan melalui proses belajarmembelajarkan
dengan persyaratan tertentu mulai dari peserta didik,
pendidik dan tenaga kependidikan, kurikulum, sumber-sumber
belajar, strategi dan metodologi pembelajaran, serta lingkungan
belajar-membelajarkan. Oleh karena itu dalam Jurnal Pendidikan
Penabur edisi ini, berbagai tulisan memuat beberapa hasil penelitian
dan gagasan yang dianggap memberikan kontribusi pada mutu
pendidikan di sekolah. Berkaitan dengan pendidikan bermutu,
Petrus Trimantara memaparkan hasil penelitiannya tentang sekolah
unggulan serta hal-hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam
memilih sekolah. Berbicara mengenai mutu tidak dapat dipisahkan
dengan instrumen untuk mengukur mutu itu sendiri. Di samping
kebermanfaatan hasil Ujian Negara, yang dianggap sebagai salah
satu indikator mutu pendidikan, masih menjadi polemik sampai
sekarang ini, instrumen yang dipakai dalam UN itu sendiri patut
dipertanyakan. Sejauh manakah instrumen yang dipakai dalam
evaluasi itu dapat mengukur hasil belajar peserta didik secara akurat
dan terpercaya? Dengan menggunakan bahasa Inggris, Kaprista
Sutikno mencoba menganalisis butir-butir soal UN untuk mata
pelajaran Bahasa Inggris dan mengungkapkan beberapa
kelemahannya. Walaupun tidak dapat digeneralisasikan, temuannya
itu tentu dapat menggugah semua pihak untuk melakukan penelitian
lebih lanjut. Keke T. Aritonang dalam penelitiannya menawarkan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08 /Th.VI/Juni 2007 iii
upaya mengembangkan nilai, moral, dan sikap siswa melalui
kegiatan membaca siswa.
Berkaitan dengan peningkatan mutu proses dan hasil belajarmembelajarkan,
Yuli Kwartolo menjelaskan tentang Brilliant Class
dalam perspektif Vygotsky. Oleh karena mutu dan berbagai
keunggulan yang diraihnyalah maka sekolah-sekolah BPK
PENABUR dikenal oleh masyarakat luas. Akan tetapi karena
berbagai kendala, Yayasan BPK PENABUR memiliki keterbatasan
dalam mengembangkan sekolah secara meluas menjangkau seluruh
wilayah Indonesia. Chris Maryadi mengemukakan gagasan
kemungkinan pengembangan sekolah dengan sistem waralaba.
Dalam hubungannya dengan peningkatan mutu proses belajarmembelajarkan,
Muksin Wijaya menguraikan gagasannya
bagaimana memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
dalam pembelajaran; Upi Isabella menulis tenang scaffolding pada
program pendidikan usia dini; dan Melanie D. Murmanto
menawarkan pendekatan pembentukan konsep diri siswa melalui
pembelajaran partisipatif. Pembinaan kepribadian peserta didik
secara utuh diperlukan dari aspek sikap, moral, dan penghayatan
serta penerapan nilai-nilai kristiani. Oleh karena itu di samping
melalui mata pelajaran Agama, diperlukan pembinaan peserta didik
melalui Pendeta Sekolah. Djudjun Supriadi menelaah secaa kritis
tugas dan tanggung jawab jabatan Pendeta Sekolah di lingkungan
BPK PENABUR. Sedangkan Elika Dwi Murwani melaporkan hasil
telaahannya mengenai kebijakan penutupan SMK K BPK PENABUR
Jakarta. Sudah barang tentu hasil kajian tentang fenomena sosial
tidak selalu selaras dengan kebijakan yang diambil, karena
pertimbangan tertentu. Hal yang sama dapat terjadi dengan hasil
telaahannya tentang penutupan SMK BPK PENABUR Jakarta itu
yang lebih bersifat kajian teoritis.
Bulan Juli dan Agustus memberikan kesibukan dan kerepotan
tersendiri bagi orang tua dan siswa yang melanjutkan
pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Kesibukan yang sama
juga dialami oleh lembaga-lembaga pendidikan dalam menghadapi
tahun ajaran baru, mulai dari pendaftaran, penyaringan, dan
penerimaan calon siswa baru. Masih dalam proses penerimaan
siswa baru, sekolah umumnya melakukan penyambutan siswa baru
yang dapat berdampak positif dan negatif kepada siswa junior dan
siswa senior. Dalam edisi ini layaklah kalau penerimaan siswa baru
itu diangkat sebagai isu mutakhir.
Tidak jarang orang tua atau guru lupa bahwa anak merupakan
subjek, bukan objek pendidikan. Oleh karena itu orang tua, guru, dan
masyarakat perlu menyikapi dan memperlakukan anak sesuai
dengan kodratnya sebagai anak dan subjek pendidikan, sehingga
proses pendidikan berhasil membentuk anak secara utuh. Edisi ini
dilengkapi dengan resensi buku Jangan Pukul Aku yang dilakukan
oleh Nur Hari Cahyanti. Edisi Jurnal Pendidikan Penabur ini
diakhiri dengan penyajian profil BPK PENABUR Rengasdengklok.
Mudah-mudahan Jurnal Pendidikan Penabur ini dapat
memperkaya wacana serta mendorong pembaca melakukan
penelitian atau kajian di bidang pendidikan serta menuliskannya
untuk mengisi edisi berikutnya yang diharapkan terbit akhir
Desember 2007 yang akan datang.
Redaksi
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 1
Sekolah Unggulan: Antara Kenyataan dan Impian
Sekolah Unggulan:
Antara Kenyataan dan Impian
Petrus Trimantara*)
*) Guru SMAK 2 BPK PENABUR Bandung
Penelitian
da lima aspek yang menentukan orang tua dalam memilih sekolah bagi putra/putrinya yaitu,1)
kemampuan guru dalam mentransfer ilmu, 2) lingkungan pergaulan siswa, 3) fasilitas/sarana
prasarana, 4) citra sekolah, dan 5) penanaman nilai-nilai kristiani. Adapun pengorbanan
orang tua untuk mendapatkan sekolah unggulan meliputi, uang pangkal, uang sekolah, biaya
fasilitas, lokasi sekolah, dan keterlibatan orang tua. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan orang tua
maupun siswa sebelum menentukan atau memilih sekolah unggulan, yaitu input siswa, proses belajar
– mengajar, dan output. Sekolah unggulan harus mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang unggul
baik dari segi akademis maupun kepribadian. Keunggulan lulusan ini baru dapat diketahui setelah
lulusan memasuki dunia kerja atau terlibat aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
Kata kunci: Unggul, input, output, orang tua, siswa
There are five aspects that help parents choose the best school for their children. They are (1) the
ability of the teachers to clearly explain their material, (2) the social enviroment of the school, (3)
school facilities, (4) the school image, and (5) the upholding of christianity value. To pay for a good
education, parents are willing to pay as much as they can afford, in some cases even more than they
can reasoniforly afford. The money goes to award registration fees, school fees, facilities fees,
expenses leaving near or travelling to school and the involvement of the parents. There are at least
three things that need to be focused by parents and students’ before choosing a good school: the
students’ ability, the learning proces and output. A good school must be able to produce high qualifield
graduates both in academic aspect and personal character. The quality of these graduates will be
proved when they enter the workforce and involve in the community.
Abstrak
A
Pendahuluan
Tahun pelajaran baru merupakan tahun yang
paling memusingkan sekaligus menegangkan
bagi orang tua siswa, khususnya orangtua yang
anaknya akan melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Orang tua
berharap agar anaknya mendapatkan
pendidikan yang lebih baik meskipun harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit
jumlahnya. Bahkan, orangtua mau
mengeluarkan “uang pelicin” agar anaknya
diterima. Namun, tidak mudah seorang anak
diterima di sekolah yang dianggap unggul.
Orangtua tidak cukup hanya mau membayar
dengan biaya yang tinggi. Seorang anak harus
mengikuti serangkaian tes dan nilai tes harus
memenuhi standar nilai yang ditetapkan. Maka
tidak mengherankan, sekolah-sekolah yang
dianggap “unggul” selalu menjadi incaran para
orangtua.
Namun, dewasa ini kebingungan orang tua
akan semakin bertambah dengan semakin
bertambahnya sekolah yang memproklamasikan
sebagai sekolah “unggul”. Banyak sekolah yang
2 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Sekolah Unggulan: Antara Kenyataan dan Impian
men.ggunakan “label” tertentu yang
menunjukkan bahwa sekolah tersebut
merupakan sekolah unggul. Misalnya, Sekolah
Nasional, Sekolah Plus, Sekolah Nasional Plus,
Sekolah Berwawasan Internasional, Sekolah
Internasional, Sekolah Terpadu, Sekolah
Bintang, dan Sekolah Berbasis Informasi dan
Teknologi. Di samping menggunakan “label”
tersebut ada beberapa sekolah yang
menawarkan program khusus untuk
menunjukkan bahwa sekolah tersebut sekolah
unggul, misalnya program Bilingual, Program
Matius, program magang di perusahaan, dan
sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut, hal mendasar
yang menjadi pertanyaan besar dalam tulisan
ini adalah faktor-faktor apa yang menjadi dasar
bagi orang tua dalam
memilih sekolah bagi
a n a k - a n a k n y a ?
Bagaimanakah kriteria
sekolah unggul? Kedua
persoalan tersebut
sangat menarik untuk
dibahas agar orang tua
mendapatkan sekolah
yang tepat sesuai
dengan keinginannya.
Orangtua tidak merasa
“tertipu” dengan
slogan atau propaganda dari sekolah-sekolah
yang menyatakan sebagai sekolah unggul. Di
samping itu, tulisan ini dapat menjembatani
pihak sekolah dengan orang tua sehingga pihak
sekolah dapat secara maksimal berupaya
memenuhi harapan orangtua siswa.
Praksis Lapangan
Sindhunata (2000: 3) menyatakan bahwa dilihat
secara menyeluruh, pendidikan di tanah air
ternyata tidak berhasil mengemansipasikan
masyarakat. Pendidikan yang seharusnya
membebaskan, malah menindas sebagian warga
yang tidak mampu. Pendidikan yang seharusnya
membahagiakan, malah menderitakan dan
memojokkan orang tua miskin ke dalam
kemiskinan dan penderitaan yang lebih dalam.
Tahun ajaran baru merupakan tahun di mana
orang tua bingung, meratap, menjerit dan
menangis, menggadaikan dan menjual apa saja
demi pendidikan. Pendidikan memang harta
dan nilai mulia. Harta itu ternyata memeras dan
nilai itu menderitakan. Itulah tragika
pendidikan di Indonesia.
Pergeseran dunia pendidikan pada dua
dasa warsa terakhir yang diakibatkan pesatnya
perkembangan teknologi informasi (sebagai ciri
era globalisasi) semakin menguat. Dampak
globalisasi semakin nyata, khususnya di dunia
pendidikan. Proses pendidikan semakin peka
dan berkiblat pada pasaran kerja dalam
masyarakat yang mendadak sibuk
berindustrialisasi. Bahkan industrialisasi sudah
nampak jelas dalam bidang pendidikan.
Sehingga tidak mengherankan banyak
bermunculan sekolah baru yang menawarkan
sesuatu yang baru. Meskipun sekolah-tersebut
masih relatif baru dan relatif biaya sekolah lebih
mahal, banyak orang tua yang berminat
m e n y e k o l a h k a n
anaknya. Sekolahsekolah
baru
cenderung menawarkan
program
pendidikan yang baru
yang dilengkapi
dengan fasilitas
penunjang yang
mewadahi. Namun,
tidak sedikit pula
sekolah yang mulai
“kembang-kempis”
karena kurang peminat. Persaingan dunia
pendidikan demikian ketatnya sehingga sekolah
harus mempunyai inovasi baru agar tidak
ditinggalkan peminatnya. Bahkan begitu
ketatnya persaingan, sekolah-sekolah mulai
“berebut” untuk mendapatkan siswa.
Permasalahan pendidikan memang sangat
kompleks, selalu mengandung unsur
ketidakpastian dan selalu berada pada situasi
cepat berubah. Ketidakjelasan tujuan sekolah
sangat besar pengaruhnya bagi kualitas
pembelajaran di sekolah. Sekolah yang
seharusnya menjadi media untuk mencerdaskan,
memberi keterampilan, bahkan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat, tidak lebih dari
tempat indoktrinasi. Sekolah hanya menjadi
pewaris dan pelestarian nilai-nilai resmi yang
sedang berlaku dan direstui oleh pemerintah.
Tidak aneh jika di sekolah terjadi penyeragaman
mulai dari pakaian, mata pelajaran, hingga buku
pegangan siswa. Begitu juga dengan proses
pendidikan dan pembelajarannya ditandai oleh
Sekolah yang seharusnya
menjadi media untuk
mencerdaskan, memberi
keterampilan, bahkan untuk
mencapai kesejahteraan
masyarakat, tidak lebih dari
tempat indoktrinasi.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 3
Sekolah Unggulan: Antara Kenyataan dan Impian
otoriter, represif, mematikan kreativitas peserta
didik, satu arah, monolog, dan bahkan menindas
perkembangan peserta didik.
Dengan situasi pembelajaran di atas akan
memungkinkan sekolah hanya melahirkan
generasi-generasi yang tidak mandiri, generasigenerasi
yang cengeng, penakut, yang tidak siap
menghadapi ganasnya gelombang zaman.
Kondisi tersebut juga akan melahirkan generasi
yang hanya biasa membeo, tidak kreatif, picik,
egois, dan hanya mementingkan diri atau
kelompoknya sendiri. Kenyataan tersebut juga
hanya akan melahirkan generasi-generasi yang
tidak percaya pada kemampuan diri sendiri,
generasi yang mau serba cepat dan instant tanpa
melihat proses, dan generasi yang hanya mau
makmur tanpa usaha.
Sekolah seharusnya menjadi tempat bagi
anak untuk menemukan kegembiraan dan
kebahagiaan. Di sekolah anak-anak belajar,
bermain, berteman, mengembangkan bakatnya,
dan menjadi dirinya sendiri (bukan orang lain
atau sesuai keinginan sekolah atau guru). Di
sekolah anak-anak seharusnya mendapatkan
perlindungan dari berbagai ancaman, baik yang
disengaja maupun yang tidak disengaja datang
dari masyarakat. Di sekolah anak-anak
mendapatkan bimbingan dan dorongan untuk
mempersiapkan masa depannya.
Namun, kondisi sebaliknya justru yang
terjadi. Di sekolah anak-anak menjadi muram
karena menanggung beban pelajaran yang
berlebihan. Banyak tugas yang harus
diselesaikan. Di sekolah anak dianggap sebagai
“mesin” yang harus menyelesaikan berbagai
tugas pelajaran. Di sekolah anak-anak menjadi
takut dan gelisah menghadapi guru. Di sekolah
anak-anak kehilangan kegembiraan. Di sekolah
anak-anak resah, tidak tahu nasib apa yang akan
menimpanya di masa depan. Bahkan yang lebih
parah lagi, dunia pendidikan sudah
dikendalikan oleh kekuatan kapital, yaitu
penindasan oleh mereka yang kuat terhadap
yang lemah dan tidak berdaya. Daya penindasan
itu terjadi seluas-luasnya dan sedalamdalamnya
dalam dunia pendidikan.
Sindhunata dalam artikelnya yang dimuat
di Harian Kompas, 19 Februari 2001, menyebut
pendidikan sekolah, yang mengakibatkan
kegelisahan dan ketakutan semacam itu, sebagai
schwarzer paedagogik (pedagogi hitam).
Kegelisahan dan ketakutan ini tidak hanya
dirasakan oleh siswa tetapi juga orang tua.
Kegelisahan dan ketakutan di dalam dunia
pendidikan ini mulai dirasakan ketika orang tua
mau mendaftarkan anaknya ke sekolah. Artinya,
sejak pendaftaran siswa baru kegelisahan dan
ketakutan itu terasa. Ketakutan dan kegelisahan
ini, setidaknya disebabkan dua hal, yaitu biaya
sekolah tinggi dan kekuatiran anaknya tidak
diterima di sekolah yang dikehendaki karena
standar nilai yang tinggi. Dewasa ini, banyak
sekolah unggul yang masih menggunakan
standar nilai sebagai satu-satunya
pertimbangan untuk menentukan diterima atau
tidaknya seorang calon siswa.
Impian Orang Tua Siswa
Untuk mendapatkan informasi yang tepat
tentang keinginan orang tua terhadap
pendidikan anaknya, khususnya tentang
sekolah yang diharapkan orang tua, penulis
menyebarkan kuisioner yang harus diisi oleh
orang tua. Kuisioner ini diberikan kepada 9
orang tua siswa BPK PENABUR Bandung dan 6
orang tua siswa di luar lingkungan BPK
PENABUR.
Kuisioner pertama
1. Pilihlah lima hal di bawah ini yang menentukan
Anda dalam memilih sekolah bagi
putra/putri Anda!
a. Kemampuan guru dalam mentransfer
ilmu
b. Keramahan guru
c. Penampilan guru
d. Lingkungan pergaulan siswa
e. Fasilitas/sarana prasarana
f. Citra sekolah
g. Kreativitas dalam proses belajarmengajar
h. Agama
i. Penanaman nilai-nilai kristiani
j. Kedisiplinan
k. Sekolah yang aman dan nyaman
l. Pengembangan kurikulum yang inovatif
m. Keragaman ekstrakurikuler
n. Prestasi sekolah
o. Web sekolah
p. Pelayanan staf
q. Layanan terhadap siswa yang kurang
(bimbingan belajar)
4 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Sekolah Unggulan: Antara Kenyataan dan Impian
r. Kurikulum yang menunjang
keterampilan hidup
s. Keberhasilan lulusan/alumni
t. Pembinaan karakter siswa
u. Penggunaan instructional technology
v. Pembelajaran di luar kelas
w. Kemandirian
x. Suasana belajar yang menyenangkan
y. Pemberian ulangan dan tugas yang
terjadwal baik
z. …
2. Pilihlah lima pengorbanan yang akan Anda
berikan demi mendapatkan sekolah yang
unggul!
a. uang pangkal
b. uang sekolah
c. biaya fasilitas
d. lokasi sekolah
e. keterlibatan orang tua
f. sumbangan tambahan
g. perparkiran/akses ke sekolah
h. kursus/les bimbel
i. …
Hasil kuisioner pertama ini diperoleh data
sebagai berikut.
1. Lima hal yang menentukan orang tua dalam
memilih sekolah bagi putra/putrinya
adalah:
1. kemampuan guru dalam mentransfer
ilmu
2. lingkungan pergaulan siswa
3. fasilitas/sarana prasarana
4. citra sekolah
5. penanaman nilai-nilai kristiani
2. Lima pengorbanan yang akan diberikan
orang tua demi mendapatkan sekolah
unggul adalah:
1. uang pangkal
2. uang sekolah
3. biaya fasilitas
4. lokasi sekolah
5. keterlibatan orang tua
Kuisioner kedua
1. Berilah bobot terhadap lima hal dibawah ini
sedemikian rupa sehingga totalnya
mencapai angka 10!
1. kemampuan guru dalam mentransfer
ilmu
2. lingkungan pergaulan siswa
3. fasilitas/sarana prasarana
4. citra sekolah
5. penanaman nilai-nilai kristiani
2. Berilah bobot untuk setiap pengorbanan
yang Anda berikan demi mendapatkan
sekolah unggul dengan total angka 10!
1. uang pangkal
2. uang sekolah
3. biaya fasilitas
4. lokasi sekolah
5. keterlibatan orang tua
Hasil kuisioner kedua ini diperoleh data sebagai
berikut.
1. Pembobotan lima hal yang menentukan orang
tua dalam menentukan sekolah bagi putra/
putrinya, seperti terlihat pada tabel 1.
Dari data tersebut terlihat bahwa kemampuan
guru dalam mentransfer ilmu
merupakan faktor pertama dan utama bagi
orang tua dalam memilih sekolah. Guru
yang profesional akan mempunyai daya
tarik dan daya “jual” yang tinggi. Faktor
kedua adalah citra sekolah. Citra sekolah
yang baik di mata masyarakat tentunya yang
diharapkan orang tua. Citra sekolah yang
baik meliputi kedisiplinan siswa, ketegasan
peraturan, siswa tidak terlibat tawuran,
narkoba dan kejahatan/kriminal, kerapian
dan kesopanan siswa, siswa menjuarai dan
terlibat dalam berbagai kegiatan/
perlombaan, dan keterlibatan siswa dalam
kehidupan bermasyarakat. Faktor ketiga
adalah penanaman nilai-nilai kristiani
(N2K). Bagi sekolah Kristen, penanaman
nilai-nilai kristiani merupakan sesuatu
yang mutlak/tidak dapat ditawar lagi.
Faktor keempat adalah fasilitas dan
lingkungan pergaulan siswa. Fasilitas dan
lingkungan pergaulan siswa merupakan
faktor pendukung keberhasilan
pembelajaran. Fasilitas belajar yang
memadai dan lingkungan yang nyaman
akan menarik minat orang tua dan calon
siswa.
2. Pembobotan lima pengorbanan yang akan
diberikan orang tua demi mendapatkan
sekolah unggulan, seperti terlihat pada tabel 2.
Untuk mendapatkan sekolah unggulan, ada
lima pengorbanan yang akan diberikan
orang tua kepada sekolah. Pertama, lokasi
sekolah. Lokasi sekolah ini berkaitan
dengan biaya lain selain uang pangkal dan
uang sekolah, misalnya biaya kost/kontrak
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 5
Sekolah Unggulan: Antara Kenyataan dan Impian
Konsep Sekolah Unggulan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan unggul adalah
lebih tinggi (pandai, baik, cakap, kuat, awet)
daripada yang lain-lain. Dalam hal ini unggul
berarti yang diharapkan untuk menjadi juara.
Pengertian ini secara implisit mendata berbagai
standar yang harus dipenuhi oleh yang
diunggulkan atau dijagokan itu sebagai juara.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2005
ditetapkan bahwa proses pendidikan
hendaknya dilaksanakan berdasarkan standar
tertentu, yang meliputi standar isi, standar
proses, standar kompetensi lulusan, standar
kompetensi pendidik, standar kompetensi tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana,
standar perngelolaan, standar pembiayaan, dan
standar penilaian. Dari sembilan standar
tersebut, pemerintah baru menetapkan standar
isi dan standar kompetensi lulusan sebagai
acuan pelaksanaan. Standar isi berkaitan
dengan standar kompetensi dan kompetensi
Tabel 1. Pembobotan Faktor Penentu dalam Memilih Sekolah
Faktor Penentu dalam
memilih Sekolah
Pembobotan Responden
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah
1. Kemampuan guru dalam
mentransfer ilmu
2 2 4 4 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 36
2. Lingkungan pergaulan
siswa
2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 2 1 24
3. Fasilitas/sarana prasarana 2 2 2 1 2 2 2 1 1 2 2 1 1 2 1 24
4. Citra sekolah 2 2 2 1 2 1 2 2 2 2 2 4 5 2 3 34
5. Penanaman nilai-nilai
kristiani
2 2 1 2 2 3 2 3 2 2 3 2 1 2 3 32
rumah, biaya transportasi, dan sebagainya.
Meskipun lokasi sekolah jauh, hal itu
bukanlah menjadi masalah untuk
mendapatkan sekolah unggulan. Kedua,
keterlibatan orang tua. Dewasa ini,
Keterlibatan orang tua dalam pendidikan
anak di sekolah jarang ditemukan. Orang
tua cenderung menyerahkan tanggung
jawab pendidikan anak kepada sekolah.
Namun, demi mendapatkan sekolah
unggulan, orang tua mau bekerjasama
dengan pihak sekolah. Ketiga, biaya
fasilitas. Fasilitas belajar yang mewadahi
merupakan faktor penentu keberhasilan
belajar siswa. Dengan demikian, orang tua
mau berkorban dengan mengeluarkan biaya
tambahan untuk kelengkapan sarana dan
prasarana pembelajaran. Keempat, uang
pangkal. Kelima, uang sekolah. Dalam data
tersebut, uang pangkal dan uang sekolah
mempunyai bobot yang sama. Hal ini
disebabkan uang pangkal dan uang sekolah
merupakan kewajiban yang memang harus
dibayar oleh orang tua.
Tabel 2. Pembobotan Pengorbanan Orang Tua untuk Mendapatkan Sekolah Unggulan
Pengorbanan Orang Tua
Pembobotan Responden
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah
1. Uang pangkal 2 1 2 1 3 2 3 2 1 2 2 1 1 2 1 26
2. Uang sekolah 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 26
3. Biaya fasilitas 1 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 4 4 2 2 28
4. Lokasi sekolah 5 4 2 2 1 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 33
5. Keterlibatan orangtua 1 1 2 3 2 3 2 2 3 2 2 2 2 2 2 31
6 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Sekolah Unggulan: Antara Kenyataan dan Impian
dasar yang harus dikuasai siswa. Sedangkan,
dalam standar kompetensi lulusan ditetapkan
bahwa hendaknya lulusan mempunyai
kompetensi sebagai berikut.
1. Berperilaku sesuai dengan ajaran agama
yang dianut sesuai dengan perkembangan
remaja
2. Mengembangkan diri secara optimal
dengan memanfaatkan kelebihan diri serta
memperbaiki kekurangannya
3. Menunjukkan sikap percaya diri dan
bertanggung jawab atas perilaku,
perbuatan, dan pekerjaannya
4. Berpartisipasi dalam penegakan aturanaturan
sosial
5. Menghargai keberagaman agama, bangsa,
suku, ras, dan golongan sosial ekonomi
dalam lingkup global
6. Membangun dan menerapkan informasi
dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif,
dan inovatif
7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis,
kritis, kreatif, dan inovatif dalam
pengambilan keputusan
8. Menunjukkan kemampuan
mengembangkan budaya belajar untuk
pemberdayaan diri
9. Menunjukkan sikap kompetitif dan sportif
untuk mendapatkan hasil yang terbaik
10. Menunjukkan kemampuan menganalisis
dan memecahkan masalah kompleks
11. Menunjukkan kemampuan menganalisis
gejala alam dan sosial
12. Memanfaatkan lingkungan secara produktif
dan bertanggung jawab
13. Berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
secara demokratis dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia
14. Mengekspresikan diri melalui kegiatan seni
dan budaya
15. Mengapresiasi karya seni dan budaya
16. Menghasilkan karya kreatif, baik individual
maupun kelompok
17. Menjaga kesehatan dan keamanan diri,
kebugaran jasmani, serta kebersihan
lingkungan
18. Berkomunikasi lisan dan tulisan secara
efektif dan santun
19. Memahami hak dan kewajiban diri dan
orang lain dalam pergaulan di masyarakat
20. Menghargai adanya perbedaan pendapat
dan berempati terhadap orang lain
21. Menunjukkan keterampilan membaca dan
menulis naskah secara sistematis dan estetis
22. Menunjukkan keterampilan menyimak,
membaca, menulis, dan berbicara dalam
bahasa Indonesia dan Inggris
23. Menguasai pengetahuan yang diperlukan
untuk mengikuti pendidikan tinggi
Secara umum sekolah yang dikategorikan
unggul harus meliputi tiga aspek. Ketiga aspek
tersebut adalah:
1. Input
Masyarakat secara umum berasumsi bahwa
masukan siswa yang berkemampuan tinggi
akan menghasilkan lulusan yang
berkemampuan tinggi juga. Sebaliknya,
masukkan yang rendah akan menghasilkan
lulusan yang berkemampuan rendah juga.
Sehingga, dalam penerimaan siswa baru,
sekolah berusaha semaksimal mungkin untuk
mendapatkan siswa baru yang memiliki
kemampuan lebih. Asumsi tersebut tidak
sepenuhnya benar. Justru, sekolah unggul harus
mampu mengelola input yang biasa atau sedangsedang
saja menjadi lulusan yang
berkemampuan luar biasa.
Sistem penerimaan siswa baru dengan
menggunakan standar nilai sebenarnya
merupakan proses seleksi yang kurang tepat.
Apalagi tes yang dilakukan hanya meliputi mata
pelajaran tertentu yang dianggap sebagai mata
pelajaran favorit. Hakikat pendidikan perlu
dipahami oleh semua pihak. Pendidikan
mempunyai dimensi yang sangat luas.
Pendidikan tidak boleh diartikan hanya sebagai
proses transfer ilmu saja, namun juga harus
diartikan sebagai upaya membantu siswa untuk
mampu mengenal diri dan lingkungannya.
Daniel Goleman, dalam bukunya,
menyebutkan bahwa kemampuan mengenal diri
dan lingkungannya adalah kemampuan untuk
melihat secara objektif atau analisis, dan
kemampuan untuk merespon secara tepat, yang
membutuhkan kecerdasan otak/Intelligence
Quotien(IQ) dan kecerdasan emosional/
Emotional Quotien (EQ). Di samping itu,
kecerdasan spiritual/Spiritual Quotien (SQ) calon
siswa hendaknya dapat terukur saat seleksi
siswa baru. Dengan demikian, tes seleksi siswa
baru hendaknya dapat mengukur ketiga aspek
kecerdasan atau bahkan dapat mengukur
berbagai kecerdasan/multy intellegence.
Sehingga, tes seleksi siswa baru tujuannya tidak
semata-mata untuk menerima atau menolak
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 7
Sekolah Unggulan: Antara Kenyataan dan Impian
siswa tersebut tetapi jauh ke depan untuk
mengetahui tingkat kecerdasan siswa. Dengan
data tingkat kecerdasan siswa tersebut dapat
digunakan sebagai dasar untuk menentukan
proses pembinaannya dan bahkan dapat untuk
menentukan target atau arah pendidikan di masa
depan.
2. Proses
Proses belajar-mengajar sekolah unggul ini
setidaknya berkaitan dengan kemampuan guru,
fasilitas belajar, kurikulum, metode
pembelajaran, program ekstrakurikuler, dan
jaringan kerjasama.
a. Kemampuan guru
Sekolah unggul harus memiliki guru yang
unggul juga. Artinya, guru tersebut harus
profesional dalam melaksanakan proses
belajar -mengajar. Adapun kompetensi guru
yang memungkinkan untuk
mengembangkan suatu lembaga
pendidikan yang unggul adalah:
1. Kompetensi penguasaan mata
pelajaran
2. Kompetensi dalam pembelajaran
3. Kompetensi dalam pembimbingan
4. Kompetensi komunikasi dengan
peserta didik
5. Kompetensi dalam mengevaluasi
Adapun karakter/kepribadian guru yang
mendukung dan memungkinkan untuk
mengembangkan lembaga pendidikan unggul
adalah:
1. Kompetensi belajar terus menerus
2. Kompetensi pelayanan
3. Kompetensi kepercayaan kepada orang lain
4. Kompetensi hidup seimbang
5. Kompetensi sinergistik
Guru yang profesional, dalam pembelajaran
harus menempuh empat tahap, yaitu persiapan,
pelaksanaan, penilaian, dan refleksi/P3R
(Suparno 1998: 172).
Persiapan merupakan hal yang sangat
penting dalam melaksanakan suatu pekerjaan.
Persiapan dalam pembelajaran di sekolah
mencakup persiapan dalam arti yang luas
maupun persiapan dalam arti yang sempit.
Persiapan dalam arti yang luas adalah segala
usaha (misalnya membaca, kursus, pelatihan,
seminar, diskusi, lokakarya, rekoleksi, dan retret)
yang dilakukan oleh guru dalam rangka
mengembangkan profesionalitasnya. Persiapan
dalam perngertian yang sempit adalah kegiatan
pembuatan program kerja guru yang meliputi
penyusunan kegiatan pembelajaran selama satu
tahun, program semester, penyusunan silabus,
dan pembuatan rencara pelaksanaan
pembelajaran (RPP) sesuai dengan kurikulum.
Tahap berikutnya adalah pelaksanaan
program pembelajaran. Dalam pelaksanaan
program, guru harus fleksibel, artinya
pelaksanaan program disesuaikan dengan
kondisi dan situasi peserta didik. Fokus
pelaksanaan pembelajaran adalah pengalaman
peserta didik, baik pengalaman kognitif, afektif,
maupun psikomotor.
Setelah tahap pelaksanaan, dilakukan
penilaian. Penilaian perlu dilakukan terhadap
kedua belah pihak, baik guru maupun siswa.
Penilaian harus dilakukan secara objektif dan
transparan.
Tahap keempat adalah refleksi. Berkaitan
dengan kegiatan refleksi, John Dewey
(sebagaimana dikutip oleh Sarkim (2005: 114-
115) menganalisis kegiatan guru di kelas menjadi
tiga tindakan, yaitu tindakan impulsif, tindakan
rutin, dan tindakan reflektif. Tindakan impulsif
adalah tindakan yang ditentukan oleh situasi
dan semata-mata tindakan ini dilakukan untuk
menanggapi situasi. Tindakan rutin merupakan
tindakan yang dilakukan berdasarkan otoritas
dan tradisi(kebiasaan). Sedangkan tindakan
reflektif merupakan tindakan yang dilakukan
dengan memikirkan aktivitas pembelajarannya
dan melaksanakan pembelajarannya
berdasarkan tujuan yang jelas atas dasar
pertimbangan moral dan etika.
b. Fasilitas belajar
Tidak dapat dimungkiri bahwa sekolah
unggul harus dilengkapi dengan fasilitas
yang mewadahi. Masyarakat yang boleh
dikatakan “shock” menghadapi
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang begitu pesat, menambah satu
lagi kriteria lagi untuk menggolongkan
sekolah unggul, yaitu memiliki sarana dan
prasarana yang mewadahi bagi siswa
untuk menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi.
c. Kurikulum
Sekolah unggul tidak harus menggunakan
kurikulum yang berstandar internasional.
Kurikulun nasional dengan berbagai
penyempurnaan sesuai dengan kebutuhan
perkembangan siswa pun cukup baik.
8 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Sekolah Unggulan: Antara Kenyataan dan Impian
Terutama dari segi bahan, misalnya bidang
IPA, masih terlalu menekankan bahanbahan
klasik yang memang penting, tetapi
kurang memasukkan bahan dan penemuan
modern yang lebih dekat dengan situasi
teknologi saat ini. Di samping itu,
penguasaan bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia mutlak diperlukan. Sehingga
siswa dapat mengkomunikasikan gagasan
dan pengetahuannya kepada orang lain
secara sistematis dengan menggunakan
kedua bahasa tersebut. Perpaduan kedua
kurikulum itu akan sangat membantu
dalam menghasilkan generasi-generasi
masa depan yang lebih unggul.
d. Metode pembelajaran
Sekolah yang unggul harus menggunakan
metode pembelajaran yang membuat siswa
menjadi aktif dan kreatif yang disertai
dengan kebebasan dalam mengungkapkan
pikirannya. Suparno dalam bukunya
Pendidikan Sekolah Dasar yang Demokratis,
mengungkapkan beberapa metode yang
memungkinkan lembaga pendidikan
menjadi unggul.
1. Siswa aktif
Indoktrinasi perlu dihilangkan dan
diganti dengan metode pembelajaran
yang memberikan kebebasan kepada
siswa untuk menanggapi bahan, untuk
kritis terhadap bahan, dan untuk
mempertanyakan bahan ajar.
2. Model multinilai dan multikebenaran
Sebaiknya dalam pembelajaran guru
tidak membatasi pada satu nilai
kebenaran tetapi lebih menggunakan
model multinilai. Siswa diberi
kebebasan untuk menggunakan
berbagai macam cara asal benar dan
rasional.
3. Kebebasan berbicara
Metode diskusi kelompok atau diskusi
pleno perlu dikembangkan untuk
memberikan kesempatan pada siswa
mengungkapkan ide/gagasan dan
dirinya.
4. Boleh salah
Kesalahan adalah unsur penting dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.
Kesalahan merupakan sesuatu yang
wajar asalkan guru dapat mengerti dan
memahami letak kesalahan siswa
sehingga dapat membantu dan
membimbing siswa ke arah yang lebih
baik.
5. Metode ilmiah dengan pencarian bebas
Metode siswa menemukan sendiri
dengan pencarian bebas dengan
metode ilmiah perlu dikembangkan.
Siswa dilatih untuk aktif
membuat dugaan sementara,
mengumpulkan data, menganalisis
secara sederhana, dan mengambil
kesimpulan.
6. Berpikir kritis
Latihan berpikir kritis ini dapat diterapkan
dalam menanggapi pernyataan
para tokoh yang sering muncul dalam
surat kabar. Siswa selalu dilatih untuk
selalu bertanya “Mengapa begitu?”
“Mengapa tidak begini?”
7. Masalah dalam masyarakat dibahas
secara terbuka
Sekolah masih sering diasingkan dengan
keadaan masyarakat. Sekolah unggul
harus menyatu dengan masyarakat.
Artinya, berbagai persoalan dan
masalah yang dihadapi masyarakat
hendaknya menjadi bahan diskusi yang
menarik bagi siswa. Sehingga, sekolah
bisa turut andil dalam pemecahan
berbagai masalah dalam masyarakat.
8. Hubungan guru-siswa dialogis
Hubungan guru-siswa yang ideal adalah
dialogis. Mereka saling membutuhkan
dan saling membantu untuk
pengembangan diri. Siswa belajar dari
guru. Demikian juga, guru belajar dari
siswa.
e. Program ekstrakurikuler
Sekolah unggul harus memiliki seperangkat
kegiatan ekstrakurikuler yang mampu
menampung semua kemampuan, minat,
dan bakat siswa. Keragaman
ekstrakurikuler akan membuat siswa dapat
mengembangkan berbagai kemampuannya
di berbagai bidang secara optimal.
f. Jaringan kerjasama
Sekolah unggul memiliki jaringan kerjasama
yang baik dengan berbagai instansi,
terutama instansi yang berhubungan
dengan pendidikan dan pengembangan
kompetensi siswa. Dengan adanya
kerjasama dengan berbagai instansi akan
mempermudah siswa untuk menerapkan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 9
Sekolah Unggulan: Antara Kenyataan dan Impian
sekaligus memahami berbagai sektor
kehidupan (life skill).
3. Output
Sekolah unggul harus menghasilkan lulus-an
yang unggul. Namun, pendidikan yang unggul
memerlukan proses yang panjang dan
berlangsung sepanjang hayat. Keunggulan
lulusan tidak hanya ditentukan oleh nilai ujian
yang tinggi. Indikasi lulusan yang unggul ini
baru dapat diketahui setelah yang bersangkutan
memasuki dunia kerja dan terlibat aktif dalam
kehidupan bermasyarakat. Sumarjo dalam
makalahnya yang di sampaikan dalam seminar
guru menyatakan bahwa lulusan yang unggul
harus memiliki seperangkat kemampuan yang
meliputi a) religius dan berbudi luhur, b) adil
dan sejahtera, c) demokratis dan toleran, d)
mandiri dan bertanggung jawab, e) tertib dan
teratur, f) setara dan kebersamaan, g)
berintegritas dan berketangguhan budaya, dan
h) dinamis dan berorientasi ke masa depan.
Untuk mengetahui keunggulan suatu
sekolah, perlu adanya penilaian perbandingan
antara input dan output dari sekolah tersebut.
Hal ini perlu dilakukan agar dapat diketahui
apakah siswa yang bersangkutan mengalami
perubahan yang baik setelah melakukan proses
pembelajaran di sekolah.
Berdasarkan hal tersebut, penulis
menawarkan konsep penilaian hubungan
antara input dengan output.
Tipe IV
Output Quality
Tipe II
Tipe III
Tipe I
Input Ouality
5 10
5
Grafik : Hubungan Antara Input Dengan Output
Dari grafik tersebut dapat diketahui
setidaknya ada empat macam tipe sekolah, yaitu:
1. Sekolah Tipe I
Adapun karakteristik sekolah tipe I adalah
sebagai berikut.
a. Input kemampuan siswa tidak begitu
menonjol
b. Siswa berasal dari keluarga menengah
ke bawah
c. Sekolah dikenal dikalangan tertentu
saja
d. Biaya pendidikan murah
e. Fasilitas pendidikan kurang memadahi
f. Outputnya meskipun sudah dibina
secara optimal namun kemampuannya
masih di bawah standar
2. Sekolah Tipe II
Adapun karakteristik sekolah tipe II adalah
sebagai berikut.
a. Input kemampuan siswa sangat tinggi
b. Siswa berasal dari keluarga menengah
ke atas
c. Sekolah cukup dikenal di berbagai
kalangan
d. Biaya pendidikan mahal
e. Fasilitas kurang memadai
f. Outputnya masih di bawah standar
3. Sekolah Tipe III
Adapun karakteristik sekolah tipe III adalah
sebagai berikut.
a. Input kemampuan siswa sangat tinggi
10 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Sekolah Unggulan: Antara Kenyataan dan Impian
b. Siswa berasal dari keluarga menengah
ke atas
c. Sekolah dikenal sangat dikenal di
berbagai kalangan
d. Biaya pendidikan mahal
e. Fasilitas sangat memadai
f. Outputnya sangat tinggi
4. Sekolah Tipe IV
Adapun karakteristik sekolah tipe IV
adalah sebagai berikut.
a. Input kemampuan siswa rendah
b. Siswa berasal dari keluarga menengah
ke bawah
c. Sekolah cukup dikenal diberbagai
kalangan
d. Biaya pendidikan cukup murah
e. Fasilitas cukup memadai
f. Outputnya sangat tinggi
Dengan menggunakan grafik tersebut, dapat
diketahui bahwa sekolah tipe berapa yang
sebenarnya merupakan sekolah unggul. Dengan
grafik tersebut, dapat pula diketahui sekolah kita
termasuk sekolah tipe berapa. Namun, perlu
disadari bahwa kadang-kadang pendidikan di
sekolah kurang menghasilkan sesuatu yang
berarti. Pendidikan mengalir begitu saja tanpa
adanya perubahan yang berarti(tidak
menghasilkan perubahan). Artinya, masuk
“perak”, keluar “perak” atau masuk
“perunggu”, keluar “perunggu”, atau bahkan
masuk “emas” keluar “emas”. Dalam grafik, hal
tersebut ditunjukkan oler garis fair value.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1. Ada lima faktor yang menjadi alasan orangtua
dalam memilih sekolah bagi putra/
putrinya.
a. Kemampuan guru dalam mentransfer
ilmu
b. Citra sekolah
c. Penanaman nilai-nilai kristiani(N2K)
d. Fasilitas dan
e. Lingkungan pergaulan siswa
2. Masih banyak hal yang harus diperbaiki
berkaitan dengan pendidikan unggul.
Pendidikan unggul memerlukan kerjasama
dari berbagai pihak, baik sekolah, orang tua,
masyarakat, maupun pemerintah.
Pendidikan unggul merupakan sesuatu
yang tidak murah. Pendidikan unggul
memerlukan proses yang panjang.
Perwujudan pendidikan unggul menuntut
berbagai persyaratan yang mendukungnya.
Pendidikan unggul harus bertolak dari
proses pembelajaran yang unggul. Proses
pembelajaran sekolah unggul setidaknya
berkaitan dengan kemampuan guru yang
unggul, fasilitas belajar yang mewadahi,
kekhususan kurikulum, metode
pembelajaran yang variatif, keragaman
program ekstrakurikuler, dan jaringan
kerjasama dengan berbagai instansi.
3. Pendidikan unggul tidak hanya berorientasi
pada keunggulan nilai akademis saja.
Pendidikan yang unggul harus dapat
menghasilkan lulusan yang unggul yang
memiliki seperangkat kemampuan yang
meliputi a) religius dan berbudi luhur, b)
adil dan sejahtera, c) demokratis dan toleran,
d) mandiri dan bertanggung jawab, e) tertib
dan teratur, f) setara dan kebersamaan, g)
berintegritas dan berketangguhan budaya,
dan h) dinamis dan berorientasi ke masa
depan.
Saran
Berdasarkan uraian dalam tulisan ini, saran
yang dapat diberikan berkaitan dengan sekolah
unggul adalah sebagai berikut.
1. Bagi orang tua
Orang tua perlu selektif dalam memilih
sekolah unggulan. Orang tua perlu
memperhatikan kriteria sekolah unggulan.
Dengan demikian, orang tua tidak merasa
kecewa di kemudian hari.
2. Bagi sekolah
Sekolah perlu berbenah diri, baik dari segi
perencanaan pendidikan, pelaksanaan,
dan evaluasinya. Sumber daya manusia,
khususnya guru harus ditingkatkan, baik
kompetensi maupun kesejahteraannya.
Sehingga, sekolah unggul bukan hanya
sebagai slogan yang digunakan untuk
menarik minat siswa tetapi benar-benar
dapat dipertanggung jawabkan kepada
orang tua siswa dan masyarakat. Di
samping itu, sekolah harus mulai
memikirkan dan tidak menggunakan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 11
Sekolah Unggulan: Antara Kenyataan dan Impian
standar nilai sebagai satu-satunya alat
untuk menentukan diterima atau tidaknya
calon siswa.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
(1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
De Porter, Bobbi and Mike Hernacki. (1999).
Quantum learning: Unleashing the genius
in you, atau Quantum learning:
Membiasakan belajar nyaman dan
menyenangkan, terjemahan Alwiyah
Abdurrahman. Bandung: Kaifa
Goleman, Daniel.(1999). Emotional intellegence.
Jakarta: Gramedia
Sarkim, T. (2005). Pendidikan calon guru
menghadapi tantangan pembaharuan
metode pembelajaran. Dalam Paul
Suparno dan V. Triprihatmini (Eds.).
Pendidikan manusia Indonesia yang etis dan
terbuka. Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma
Sindhunata. (2000). “Pendidikan hanya
menghasilkan air mata”. Artikel Majalah
Basis, Nomor 07 – 08, Tahun Ke-49, Juli
– Agustus 2000, halaman 3
Sindhunata. (2001). “Awas, pedagogi hitam”.
Artikel Kompas, 19 Februari 2001,
halaman 9
Suparno, Paul. (1999). Pendidikan Sekolah Dasar
yang demokratis. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma
Suparno, Paul. (1998). “Dasar dan orientasi
pendidikan Yesuit”. Dalam P.J. Suwarno.
Sanata Dharma menemukan jalannya.
Yogyakarta: Universitas sanata Dharma
Sumarjo, Heribertus. (2006). “Masih adakah guru
ideal di era globalisasi?”. Makalah dalam
seminar guru yang diselenggarakan
oleh SMA Santo Aloysius Bandung
Tanggal 28 Februari 2006.
Trimantara, Petrus. 2003. “Mencari format sekolah
unggulan”. Artikel Majalah BPK
PENABUR NEWS Bandung, edisi
November 2003, halaman 6
______ . Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan
12 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
The Analysis of Senior High School
The Analysis of Senior High School
State Final Examination 2005-2006
Kaprista Sutikno*)
*) Mantan guru SMAK 1 BPK PENABUR Jakarta
Penelitian
enelitian ini membahas Ujian Nasional, khususnya yang berkaitan dengan butir-butir soal
yang perlu disempurnakan. Berbagai pertimbangan dan teori yang terkait sangat penting
dalam mengembangkan jenis-jenis tes dan format pertanyaan. Penyempurnaan tes mencakup
bentuk dan isi pertanyaan.
Kata kunci : Test types, test content, test format, dialogues
This study deals with the analyzing of the state final examination which focuses on the English
subject and specifically in the listening section and the improvement of some inappropriate pattern
which mostly refers to the body of the test. Some consideration and related theories based on the
educatiion assessment are very helpful in constructing and analyzing the test, such as the test types,
the question formats distracters and also the validity and reliability of the tests. This analysis the
need for improving the forms and the contens of the quation in the test.
Abstrak
P
Introduction
This study explores the way state final
examination 2005-2006 presented analyzed. In
the following is the short introduction about
some general information and the limitation of
the study will be related on the English subject
and listening test form in the final examination.
No mater what kinds of curriculum, which
is more changeable lately, third grade both junior
high school students and senior high schools
students must face the state final examination
directly from the government. Although the final
grade does not reflect the students’ final
achievement but people and society’s opinion
indirectly judge the final grade of state final
examination would be the token of success for
students. By passing the final state examination
students would have a chance to continue their
higher education level which is university.
But all the correct answers and the wrong
answers always focus on the students’ own
competence and we have no authority in
analyzing or even judging the questions in state
final examination whether appropriate or
inappropriate. So far the government has not
given us the analyzing of the test which part
should be erased, which part should be added,
which part is the wrong number and any other
things which relates to the students’ answers.
We only accept what already have been designed
and launched to the students as the perfect test.
CBC: Curriculum Based Competency in this
country can be traced back based on the
government policy; PP Number 25 year 2000. In
this policy the government standardized
education based on the observation of the
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 13
The Analysis of Senior High School
completing task of minimal requirements of the
students’ competence (standard kompetensi),
basic competence (kompetensi dasar), the main
material ( materi pokok), and the last one is the
achievement indicator (indikator pencapaian)
and those of the tasks relate to the
communicative competence. As Wilson stated
(2001) education paradigm competency based
involved curriculum as general, pedagogy, and
grading which focuses on the achievement result.
Based on the general goal of CBC, English as
one of the important subjects in education focuses
on the aspect of language skills which includes
oral and written form as well as receptive and
productive. As a whole teaching language
especially English insists students to be able to
perform the function of the language.
Communicative aspect is the main concern in
teaching and learning the language, students are
expected not only to understand the rules of the
language and know how to organize the
sentences but the most important thing is
students are expected to be able to perform the
use of the language in their social life situation.
In this case the students are expected to be good
at applying the rules of the language in the real
life situation.
In order to accurately mark and judge
student’s competence, the grading system must
include cognitive aspect, psychomotor aspect and
affective aspect. The cognitive aspect includes
students understanding in internal use of
language such as knowing the rules of the
language, sentence organization, vocabulary
mastery and so on. Psychomotor aspect includes
language skill such as speaking, listening,
writing and reading, the last one is affective
aspect is more to the motivation and other factors
that relate to the students progress and process
in learning the subject.
So every aspect counts for the students
including Listening, which become the main
concern in state final examination besides
Reading. Listening becomes the ‘nightmare’
among students because mostly the percentage
of teaching listening session is less then teaching
grammar or reading. Some schools may not have
one hour session in teaching listening in each
week, teachers even feel annoyed when teaching
listening, they usually teaching listening as well
as assessing it. No deeper construct in teaching
listening, so students feel not enough preparation
for facing the test.
This study explains the analysis of the
construction of a test based on the norm and
criterion referenced tests, test construction which
refers to the purpose, type of test, objective,
content, item analysis, and format of the test and
also possible improvements suggested to the test.
The Validity and reliability of the test also
revealed in this study. The content selection, test
form are explained as clearly as possible.
Discussion
The listening assessment in this case must refer
to the authenticity of the assessment. As stated
in ensuring authentic performance (Educative
Assessment, 1998:23) one of the requirements for
an assessment to be authentic requires quality
product and or performance, and that factors
differentiate the authentic task with typical test.
The basic reason of CBC is communicative
competence that requires more performance than
theoretical understanding. So as stated in the
construct of the curriculum, the state final
examination form should be authentic.
As stated above about CBC which is more to
the communicative competence, the main
construct of the listening subject as quoted from
the curriculum students are able to understand
transactional and interactional passages and or
monologue that relates to narrative, procedure, spoof,
recount, report, news item, descriptive, anecdote,
exposition, explanation, discussion, commentary, and
review. Before this study criticizing the content of
the test and some consideration about improving
it, in the following is the table of the whole construct
of listening in the state final examination
2005-2006.
14 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
The Analysis of Senior High School
Figure 1. The Senior High School National Examination Listening Section Test Blue Print
Construct Category Indicator Item Response Item Prompt
Listening is
understand
transactional
and
intractional
passages
and or
monologue
that relates
to narrative,
procedure,
spoof,
recount,
report, news
item,
descriptive,
anecdote,
exposition,
explanation,
discussion,
commentary,
and review.
1. identifying
information
from the
simple
dialogue
1. getting
information
Read the four
possible answers
and decide
which one
would be the
best to the
question you
have heard.
1. How the weather
today
2. responding to the
offering
2. What the man
probably do
3. responding to the
selling and buying
expression
3. what things the
woman bought
4. showing
instruction
4. expression to
refuse the asking
5. showing
instruction
5. where the location
takes place.
6. showing
instruction
6. place where the
man works
7. getting
information
7. the meaning of the
utterances
8. showing location 8. the place where
the conversation
takes place
9. responding to the
conversation
9. the respond of the
statement
2. The
identifying
information
from the
simple
monologue
based on the
genre text
such as news
item,
descriptive
and
explanation
text.
10. Getting
information from
news item text
Read the four
possible answers
and decide
which one
would be the
best to the
question you
have heard.
10. What country the
speaker is talking
about
11. Getting
information from
news item text
11. What percentage
the population in
UK
12. Getting
information from
descriptive text
12. condition of the
beaches in South
Wales
13. Getting
information from
descriptive text
13. describing the
mountain
14. Getting
information from
the exposition text.
14. Position the man
holds.
15. Getting
information from
the exposition text.
15. age of the main
character.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 15
The Analysis of Senior High School
The content of the test is not totally wrong;
the basic concern in the reading passages refers
to the genre which becomes education latest
issue today, and for the listening, content the
materials refer to the communicative action
which focuses on the students’ social purpose
relating to the use of the language.
As what we can see above the construct, the
category and the indicator are matched to the
curriculum but how about the test specification.
The types of the questions should be changed to
the more communicative types of questions that
require students understanding on related
situational and social life not as a matter of
identifying and
disconnected from
realistic context. But
for changing the
types of questions
would be a great
problem because the
level of difficulty
must be matched
with students’
competence. Before
we go further, this
study gives you a
short of critics
based on the types
of the test which is multiple choice, then dialogue
as the main factor in listening, and types of
questions in the listening test that should be
suited with CBC.
There are two main types of assessments;
formative and summative assessment.
Summative assessment is generally carried out
at the end of the course or project and for the
formative assessment is carried out through a
course or project. For the case of formative
assessment usually this test is used to aid
students to learning. Summative assessment
usually happens in the form of summative
assessment, where a test is used in order to see
whether the students and also teachers, and
school have already successful in completing the
goal or the purpose in the curriculum (Research
Method and Education; 2003, 322).
When we see deeply about the relation
between objective and subjective purpose in
state final examination, we may conclude
generally that kind of assessment is objective test.
An objective assessment is a form of questioning
which focuses on the single correct answer. On
the other hand the subjective assessment is types
of questions that require more than one correct
answer. For the objective assessment the types of
question is in the form of multiple choice. But is
it worthwhile for testing students using multiple
choice will cover the whole understanding of
learning than it’s a mere of marking?
Concerning on the test format which totally
focuses on the use of
multiple choice ;
Multiple choice
questions is type of
questions that
require one short
answer and in this
case students only
have limited options
of the answer and this
kinds of questions do
not represent the
exact competence of
the students. But for
the norm referenced
assessment is usually used in the entrance or
admission test, where this kinds of test is
measured and compared others students’ grades.
In this case, the norm referenced assessment suits
the requirements for a state final examination
because this kinds of assessment cover the grades
of the assessment in order to give ranks to
students and schools. But using multiple choice
in order to see how well students cover and
understand the whole goals of the materials is
not appropriate, especially the most of the
questions refer to identifying than giving
students analyzing and understanding the
whole materials.
In the following is the surface analysis of
the multiple choices in the test.
The types of the questions
should be changed to the more
communicative types of
questions that require students
understanding on related
situational and social life not as a
matter of identifying and
disconnected from realistic
context.
16 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
The Analysis of Senior High School
Table 2. Multiple Choice Analyze Based on Pedoman Kurikulum 2004
(v exists in the test, - means doesn't exist in the test)
Types of Condition Item Number
A. CONTENT 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1. items related with indicator v v v v v v v v v v v v v v v
2. only one correct answer v v v v v v v v v v v v v v v
3. contents suit with goal v v v v v v v v v v v v v v v
4. contents suit with school
level
v v v v v v v v v v v v v v v
5. existence of distracter v v v v v v v v v v v v v v v
B. CONSTRUCTION
6. items defined clearly v v v v v v v v v v v v v v v
7. item choice clearly v v v v v v v v v v v v v v v
8. item directs to the right
answer
v v v v v v v v v v v v v v v
9. items have no double
meaning
v v v v v v v v v v v v v v v
10 item uses negative
expression
- - - - - - - - - - - - - - -
11 avoiding 'all answers
correct/incorrect" choice
v v v v v v v v v v v v v v v
12 same length of choices v v v v v v v v v v v v v v
13 numerical choices * - - - - - - - - - - v - - - v
14 picture, graphic choice - - - - - - - - - - - - - - -
15 independent answers choice v v v v v v v v v v v v v v v
C. LANGUAGE
16 communicative sentences v v v v v v v v v v v v v v v
17 using correct language
patterns
v v v v v v v v v v v v v v v
18 double meaning - - - - - - - - - - - - - - -
19 standardized English v v v v v v v v v v v v v v v
20 no offense types sentences v v v v v v v v v v v v v v v
* numerical points: the test refers on the use of numbers
Some points are to be considered in multiple
choice before analyzing the test above, as quoted
from Hanna and Cunningham ( 2003; 329)
multiple choice should consider the number of
choices in a single multiple choice items (whether
there is one or more answers), the number of
distracters, the sequence of items, and the
location of the correct items. As related to the
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 17
The Analysis of Senior High School
The distracters is the unnecessary
information and irrelevant cues (Hambelton;
1993, Cohen; 2003) should have a consideration
as well. In this type of test the existence of
distracters are important because we can analyze
the quality of the test and the competence of the
students. But what actually happens in the test,
mostly the distracters are not powerful enough
to complete the task, the choices in the multiple
choices are so clear which one is the right answer
and which one is not.
Distracters actually
help the test takers to
think logically and
critically but not in the
case of identifying
“black and white’
answers.
But several
factors need to be
taken into
c o n s i d e r a t i o n
especially in the factor
of communicative
sentences. In the forms of questions the
communicative sentences may relate to the
understandable types of vocabulary and
sentences but for the communicative purposes
this test needed to be improved. Most of all the
questions relate to the identifying and choosing
what has already stated in the text, without
giving opportunity to the students to think more
and critics and also without giving students any
possible situation because of the limited
exchanges of dialogue.
As quoted from Research Methods in
education reliability concerns the degree of
confidence that can be placed in the result and
data, which is often a matter of statistical
calculation and subsequent test redesigning.
Validity concerns the extent to which the test
tests what it is supposed to test. Some factors
which might support the reliability of a test such
as motivation of the individuals as test takers,
and situational factors. So far the validity of the
test which refers to the content validity already
completed as stated in the goal and purpose of
the curriculum. It would be better, that
monologue passage should be directed for the
genre purpose, such as tips selling the car,
explaining some procedures in mechanical
machines etc. so the passage sounds more
advantageous than just simple information then
students identified it later on.
Based on Julia M. Dobson (1974) about the
criteria for having a good dialogue is that the
dialogue for the education must have three or
more exchanges in the written conversation but
in this test the dialogue mostly only have one or
two as the maximal exchanges. So what stated
in the dialogue theory, the content is so clear and
directed but its not supported by the rules of
making pedagogical dialogue. What makes a
good dialogue, in the following is the criteria.
Dialogue can have a strong character in the
expressing some ideas, or even in arguing,
disagreeing, or
something that related
to the closer context of
the situation in the
real life. By using
dialogue in the form of
testing listening, we
can train our students
more to the other focus
of language elements
such as pronunciation,
grammar, in this factor
students are expected
to master not only
understanding the story but also to have a
knowledge in grammar as well as in
pronunciation. By having pause words,
rejoinders, interjections, these elements give
students beneficial in understanding the context
with more relax situation not as in the news
information which more monotonous.
Vocabulary, memorization, cultural insights and
applicability factors that are suited with our
curriculum which takes more focus in the
communicative aspects. Dialogues are expected
to be ‘down to earth’ with its subject and gives
great contribution to the future purpose of
applicability.
Even in the form of a test, dialogue should be
brief, not too long (Julia M.Dobson; 1974). Ideally
a dialogue consist two or three exchanges but
what we have in the state final examination, most
of the dialogues consist one or two exchanges.
In the following is the improvement of the
test based on the dialogue theory which supports
all the requirements of the dialogue criteria and
also communicative purpose. This study intends
not to change the questions because these
questions are already suited with the level of
difficulty for senior high schools students.
In the forms of questions the
communicative sentences may
relate to the understandable
types of vocabulary and
sentences but for the
communicative purposes this
test needed to be improved.
multiple choices analysis above based on the
condition by Pedoman Kurikulum 2004, the
distracters, the numerical, standardized English
sentences and all the factors that related to the
multiple choice consideration are well suited
with goal and purpose of the curriculum.
18 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
The Analysis of Senior High School
Table 3. Improved Blueprint
No Indicator Question Former types of dialogues The Improvement
1. Getting
Information
How is the
weather
today?
A. Due to the heavy snow
some schools are closed.
A.
B.
A.
B.
A.
Wow its freezing
Yes you are right.
I listened to the radio
about this weather.
Due to the heavy snow
some schools are closed.
Hmmm.
2. Responding to
the offering
What will the
man probably
do?
A.
B.
Can you help me?
Sure, no problem
A.
B.
A.
B.
Can you help me?
What can I do for you,
mam?
It's so heavy.
Sure, no problem.
3. Responding to
the selling and
buying
expression
What did the
woman
probably buy?
A.
B.
I've just bought a set of
furniture.
What? Our old furniture
are still good.
A.
B.
A.
B.
A.
I've just bought a set of
furniture?
What?
I don't enjoy sitting with
some antique furniture.
But our old furniture are
still in good condition.
It's ok I bought these
with reasonable price.
4. Showing
Instruction
What would
Mr. Hendra
refuse the
request?
A. Mr. Hendra, would you
send my letter to Mr.
Smith?
A.
B.
Mr. Hendra, would you
send my letter to Mr.
Smith?
I have a lot of things to
do, so …
5. Showing
Location
Where does
this
conversation
most likely
take place?
A.
B.
Would you carry this
book to the teachers'
room please?
I'll be glad to, mam
A.
B.
A.
B
Toni, would you like to
help me?
Yes, mam.
I need you to help me
carrying these books to
my office. My office is
next to the headmaster's.
Right away, mam.
6. Showing
Location
Where does
the man work?
A.
B.
How long can I borrow
the book?
You may borrow for one
week, I mark the date
for you.
A.
B.
A.
B.
A.
Excuse me, how long
can I borrow the book?
Only one week, no
more.
Can I have snack and
drink while I am reading
here?
Snack and drinks are not
allowed to bring in the
reading room.
So, do you want to
borrow the book? I mark
the date then.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 19
The Analysis of Senior High School
No Indicator Question Former types of dialogues The Improvement
7. Getting
Information
What does the
woman mean?
A.
B.
How about finding
something to eat?
That sounds great!
A.
B.
A.
B.
A.
Hi, are you busy?
Not really.
How about finding
something to eat.
That' great. But you treat
me this time.
Ok then, what do you
want?
8. Showing
Location
Where does
this
conversation
most likely
take place?
A.
B.
I accidentally delete the
file. I really apologize
I have kept the data in
my flash disc. Just
continue your work
A.
B.
A.
B.
A.
B.
What's wrong?
I accidentally delete
your files. I am really
sorry.
It's Ok. Not a big deal. I
have kept the files in my
flash disc.
O, thanks God.
Just go back to work,
next time be careful
then.
I will.
9. Responding to
the
conversation
What is the
best respond
to the
statement?
A. Fred this is Rudy. A.
B.
Hi, Rina, how are you?
Who is your friend?
Fred, this is Rudy. The
person that I ever talked
about.
As you can see above the improvement of
the content of the questions is in the form of the
extending dialogue to be more understandable.
So the students are expected to think more and
get some ideas after listening to the dialogue not
just directly answering he question based on the
identification. For number 10 to 15 are in the form
of the questions of monologue and so far the
passages of the monologue still have relation
with the purpose of the curriculum based on
certain genre text types. Actually for the
monologue passages, it would be better to have
context of situation which matched to our
environment, although the text type is in the
descriptive but the content of the text still related
to the western situation. This study does not
claim that the passages are inappropriate
because by having western situation as the
content of the passage the students may have
cross cultural understanding. Suggestion for the
future state final examination, it should be more
communicative in the dialogues format and
hopefully the types of the question would more
understanding then identifying or just a mere
choosing directly the best possible answer.
Conclusion
After analyzing the test construction this study
finally concludes that in the state final
examination some things are taken into
consideration for not only to the test takers but
also to the pedagogical practitioners. What makes
a good test, a test should have fulfilled some basic
criteria, such as the purpose of the test which
covers objectives in the curriculum for example.
Type of the test also becomes the significance
factor, whether this test refers to the norm or
criterion referenced test and in this case of state
final examination the type of the test is generally
norm reference. Relating to the time managements
and how big responsibility one must correct
those answers so multiple choices format has
been chosen, but actually in order to complete
20 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
The Analysis of Senior High School
the goal of the communicative purpose and to
see how well students master the lessons which
they have involved themselves in three years the
use of multiple choice should be less in use. It
would be appropriate to have essay format to see
the real students’ three years competence and
understanding. The improvement of the test
based on the dialogue theory for pedagogical
purpose where all the criteria of making dialogue
should be at least two exchanges of dialogues in
order to give clear understanding
communication.
References
Bachman, F. (1980). Fundamental consideration in
language testing. Oxford: Oxford
University
Cohen, L. (2003). Research methods and education.
London: RoutledgeFalmer
Creswell, J. (2003). Research design. California:
Sage Publication
Davidson, F. (2002). Testcraft. Canada: Yale
University
Dobson, J. (1974). Effective techniques for english
conversation. Newbury: Rowley Mass
Quinn, M .(2002). Qualitative research and
evaluation methods. California: Sage
Publication
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 21
Upaya Mengembangkan Sikap Siswa
Upaya Mengembangkan Sikap Siswa
melalui Nilai dan Moral dalam Bacaan dan Dongeng
Keke T. Aritonang*)
*) Guru SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta
Penelitian
ada umumnya mata pelajaran dasar umum seperti PPKN, Agama, dan bahasa Indonesia
banyak memuat tujuan pada domain afektif. Kegiatan membaca dan mendongeng merupakan
salah satu materi pembelajaran kesastraan yang terdapat dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia yang memuat tujuan pada domain afektif. Dari hasil kegiatan membaca dan
mendengarkan berbagai dongeng yang dilakukan oleh 70 siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR
Jakarta ditemukan contoh peristiwa yang dialami tokoh, dialog tokoh, sikap tokoh, atau perilaku
tokoh di dalam 70 judul dongeng berisi nilai-nilai kehidupan, dan pesan moral yang dapat digunakan
untuk memperbaiki tingkah laku, serta membantu menumbuhkan sikap positif dalam kehidupan seharihari
siswa. Kegiatan membaca dan mendongeng ini merupakan salah satu upaya dalam
mengembangkan nilai, moral, dan sikap siswa. Selain itu kegiatan mendongeng adalah suatu
pengalaman berbagi. Dalam hal ini berbagi cerita yang mengasyikkan, memelihara semangat dan
menyirami anak dengan suatu norma-norma yang baik, sehingga siswa dapat belajar mengenal
manusia dan kehidupan, serta mengenal dirinya sendiri. Dalam kegiatan mendongeng siswa juga
dapat dilibatkan, sehingga dapat ikut mengekspresikan dirinya. Dengan demikian dapat terjadi, siswa
yang mula-mula pemalu dan menutup diri akan berubah sikap. Oleh karena itu, kegiatan membaca
dan mendongeng pada siswa perlu dilakukan dalam proses belajar mengajar di kelas.
Kata kunci: Nilai moral, dan sikap positif dongeng, kegiatan membaca dan mendongeng
In general, the basic subjects such as Civics, Religion, and Indonesian, contain objectives of affective
domain. Reading and story telling activities are one of literature learning as a part of Indonesian
lesson which contains an objective of affective domain. From the result of story reading and listening
done by 70 students of the 7th grade SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta, there were event examples
experienced by the characters, character dialogs, character attitudes, or character behaviors in
those 70 stories. Those stories contain life values and moral lessons which can be used to improve
behaviors and grow positive attitudes in students’ daily lives. Furthermore, story telling is sharing
experience about exciting stories, maintaining the spirit, and spraying students with good values and
norms, so the students are able to know people, life and themselves. In storiy telling, students can
also express their thoughts and feelings. By doing so, a student who is formerly shy and introvert
can change his/ her behavior to be more confident. Therefore, reading and story telling activities by
students need to be supported by teachers in teaching-learning process .
Abstrak
P
22 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Upaya Mengembangkan Sikap Siswa
Pendahuluan
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat. Sopan santun,
adat, kebiasaan serta nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila adalah nilai-nilai kehidupan
yang menjadi pegangan seseorang dalam
kedudukannya sebagai warga negara Indonesia
(menurut Sutikna dalam Sunarto, dkk, 1999:
168). Menurut Purwadarminto, moral adalah
ajaran tentang baik buruk perbuatan dan
kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya
(Sunarto, dkk, 1999:169). Dalam kaitannya
dengan pengamalan nilai-nilai kehidupan,
maka moral merupakan kontrol dalam bersikap
dan bertingkah laku. Sedangkan sikap, menurut
Gerung secara umum diartikan sebagai
kesediaan bereaksi individu terhadap sesuatu
hal (Sunarto, dkk, 1999:170). Sikap berkaitan
dengan motif dan mendasari tingkah laku
seseorang. Sikap bukan suatu tindakan atau
aktivitas, melainkan berupa kecenderungan
tingkah laku.
Dengan demikian, keterkaitan antara
nilai, moral, sikap, dan tingkah laku akan tampak
dalam pengamalan nilai-nilai. Dengan kata lain
nilai-nilai perlu dikenal terlebih dulu, kemudian
dihayati dan didorong oleh moral, baru akan
terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai
tersebut dan pada akhirnya terwujud tingkah
laku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud.
Perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak
terjadi dengan sendirinya. Proses yang dilalui
seseorang dalam pengembangan nilai-nilai
kehidupan adalah suatu proses yang belum
seluruhnya dipahami oleh para ahli, menurut
Surakhmad dalam Sunarto, dkk (1999:178).
Di antara proses kejiwaan yang sulit
dipahami itu adalah proses terjadinya dan
terjelmanya nilai-nilai kehidupan dalam diri
individu. Hal ini didahului oleh pengenalan
nilai secara intelektual, disusul oleh
penghayatan nilai tersebut, dan yang kemudian
tumbuh di dalam diri seseorang sedemikian rupa
kuatnya sehingga seluruh jalan pikiran, tingkah
lakunya, serta sikapnya terhadap segala sesuatu
di luar dirinya, bukan saja diwarnai tetapi juga
dijiwai oleh nilai tersebut. Karena itu, ada
kemungkinan bahwa ada individu yang tahu
tentang sesuatu nilai tetap menjadi
pengetahuan. Tidak semua individu mencapai
tingkat perkembangan moral seperti yang
diharapkan, maka kita dihadapkan pada
masalah pembinaan karakter siswa.
Menurut Sunarto, dkk (1999 : 175) dalam
usaha membentuk tingkah laku sebagai
pencerminan nilai-nilai kehidupan tertentu
ternyata faktor lingkungan memegang peranan
penting. Di antara unsur-unsur lingkungan
sosial yang berpengaruh, yang tampaknya
sangat penting adalah unsur lingkungan
berbentuk manusia yang langsung dikenal atau
dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan
dari nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini
lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri
dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik
dan pembina yaitu guru. Makin jelas sikap dan
sifat lingkungan terhadap nilai kehidupan
tertentu dan moral makin kuat pula
pengaruhnya untuk membentuk tingkah laku
yang sesuai.
Sangat disayangkan tidak semua mata
pelajaran yang disampaikan guru di sekolah
mengajarkan tingkah laku yang baik. Hanya
menghasilkan peserta didik yang pandai secara
IQ dan kurang pandai dalam EQ.
Salah satu materi pembelajaran bahasa
Indonesia tingkat SMP kelas VII yaitu kesastraan
khususnya materi dongeng memberi contoh
tingkah laku yang baik dan buruk. Menurut
Nurhadi, dkk (2004:151) contoh peristiwa yang
dialami tokoh, dialog tokoh, sikap tokoh, atau
perilaku tokoh dalam dongeng berisi nilai-nilai
kehidupan, seperti : nilai kesabaran dan
ketabahan, nilai kejujuran, nilai kesederhanaan,
nilai kedermawaan, nilai tanggung jawab, nilai
keberanian, nilai kerukunan, nilai kesetiaan,
nilai kerja keras, dan nilai saling menghormati ,
pesan moral, dan sikap-sikap positif, seperti :
sikap jujur, sikap bertanggung jawab, sikap
bekerja keras, sikap saling menghormati, dan
sikap adil.
Dalam upaya mengembangkan nilai,
moral, dan sikap siswa, sebagai seorang guru
yang mengajarkan mata pelajaran bahasa
Indonesia, penulis ingin memaparkan sekaligus
membagikan pengalaman penulis dalam
mengajarkan kesastraan dengan melakukan
kegiatan membaca dan mendongeng bagi siswa
kelas VII Sekolah Menengah Pertama. Kegiatan
ini sudah dilaksanakan penulis dalam proses
belajar mengajar mata pelajaran bahasa
Indonesia materi kesastraan kelas VII di tempat
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 23
Upaya Mengembangkan Sikap Siswa
penulis mengajar yakni SMP Kristen 1 BPK
PENABUR Jakarta. Melakukan kegiatan tersebut
diharapkan siswa memiliki nilai-nilai
kehidupan, moral, dan sikap positif yang dapat
diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari
serta dapat memperbaiki tingkah laku siswa.
Langkah-Langkah Kegiatan
Membaca dan Mendongeng
Dalam kurikulum bahasa Indonesia satuan
pendidikan tingkat SMP tahun 2006 yang
berisikan Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar kelas VII, semester 1 dasar materi dongeng
sebagai berikut.
Berdasarkan standar kompetensi dan
kompetensi dasar di atas guru melaksanakan
kegiatan membaca dan mendongeng. Adapun
langkah-langkah yang dilakukan sebagai
berikut.
Langkah 1 : Menjelaskan Tugas
1. Guru terlebih dahulu menjelaskan yang
dimaksud dengan dongeng sambil
memperlihatkan buku kumpulan dongeng
kepada siswa dan membacakan salah satu
dongeng
2. Guru mewajibkan siswa untuk membaca
salah satu buku dongeng yang terdapat di
perpustakaan sekolah. Setiap siswa
mendapatkan satu judul dongeng yang
berlainan dengan siswa lainnya.
Sebelumnya guru sudah memilih bukubuku
dongeng yang akan dibaca oleh siswa.
Buku-buku dongeng tersebut yang
melukiskan kebenaran atau berisikan ajaran
moral seperti Ande-Ande Lumut, Putri
Salju, Sang Kancil, Timun Emas, Bawang
Merah Bawang Putih, dan sebagainya.
3. Guru menjelaskan tugas apa yang harus
dikerjakan setelah membaca buku dongeng
tersebut. Adapun tugas tersebut ialah :
a. Menjelaskan tema dongeng yang telah
dibaca.
b. Menentukan latar atau tempat-tempat
kejadian yang ditunjukkan dalam cerita
dongeng.
c. Menjelaskan tokoh-tokoh dan perwatakannya.
d. Menjelaskan nilai atau amanat yang
dapat disimpulkan dari cerita dongeng
tersebut serta dapatkah menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari.
e. Menunjukkan relevansi isi dongeng
dengan situasi sekarang.
f. Menulis kembali isi dongeng yang telah
dibaca dengan bahasa sendiri.
Tugas tersebut di atas dikerjakan oleh siswa
secara individu. Hasil dari tugas tersebut diketik
dan disusun rapi.
Langkah 2 : Membaca Dongeng
Pada langkah kedua ini guru mengajak siswa
ke perpustakaan sekolah untuk memilih buku
dongeng yang telah dipersiapkan guru. Setelah
Tabel 1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Dongeng
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Mendengarkan
5. Mengapresiasi dongeng yang
diperdengarkan
5.1 Menemukan hal-hal yang menarik dari
dongeng yang diperdengarkan
5.2 Menunjukkan relevansi isi dongeng dengan
situasi sekarang
Menulis
8. Mengekspresikan pikiran, perasaan,
dan pengalaman melalui dongeng
8.2 Menulis kembali dengan bahasa sendiri
dongeng yang pernah dibaca atau didengar
24 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Upaya Mengembangkan Sikap Siswa
mendapatkan buku dongeng yang telah dipilih,
siswa melakukan kegiatan membaca. Karena
keterbatasan waktu dalam membaca dan
mengerjakan tugas pada langkah I maka siswa
meneruskan kegiatan membacanya di rumah.
Waktu yang diberikan untuk menyelesaikan
tugas tersebut selama satu minggu.
Langkah 3 : Guru Menyusun Kuesioner
Pada langkah ketiga ini guru menyusun
kuesioner nilai-nilai dongeng, pesan moral, dan
sikap positif. Kuesioner ini dibuat untuk mengisi
angket tentang nilai, pesan moral, dan sikap
positif dari hasil mendongeng setiap siswa yang
tampil di depan kelas. Berikut ini adalah
kuesioner nilai-nilai, pesan moral, dan sikap
positif dongeng
Kuesioner Mendongeng
Nama :
Kelas :
Judul Dongeng :
I. Nilai-Nilai Dongeng
Di bawah ini adalah nilai-nilai
dongeng. Centanglah YA jika
nilai-nilai tersebut terdapat dalam
dongeng yang telah kalian
dengarkan dan centanglah
TIDAK jika nilai-nilai tersebut
tidak terdapat dalam dongeng.
Kuesioner Sikap-Sikap Nilai-Nilai Dongeng
No Nilai-Nilai Dongeng YA TIDAK
1. Nilai kesabaran dan ketabahan
2. Nilai kejujuran
3. Nilai kesederhanaan
4. Nilai kedermawaan
5. Nilai tanggung jawab
6. Nilai keberanian
7. Nilai kerukunan
8. Nilai kesetiaan
9. Nilai kerja keras
10. Nilai saling menghormati
Sebelum siswa mencentang nilai-nilai
dongeng, guru menjelaskan yang dimaksud
dengan nilai. Nilai adalah standar perilaku,
ukuran yang menentukan tindakan atau
perbuatan apa yang patut dilakukan. Nilai
merupakan pedoman untuk menentukan
perilaku. Dengan adanya nilai-nilai dongeng
tersebut apakah siswa dapat bertindak atau
memiliki komitmen untuk menerapkan nilainilai
tersebut dalam kehidupan sehari-hari siswa.
II Pesan Moral
Mengajukan pertanyaan kepada siswa apakah
ada pesan moral yang disampaikan dalam
dongeng tersebut yang dapat digunakan untuk
memperbaiki tingkah siswa saat ini, sesuai
dengan nilai-nilai dongeng.
III. Sikap Positif
Di bawah ini adalah sikap positif untuk
digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Centanglah YA jika ada dan
centanglah TIDAK jika tidak
ada!
Sebelum siswa mencentang
sikap positif dongeng, guru
menjelaskan terlebih dulu
perbedaan sikap dengan
perilaku. Sikap adalah
kesediaan untuk bereaksi
terhadap sesuatu hal. Sikapsikap
positif yang terdapat
dalam dongeng belum
merupakan suatu tindakan,
baru merupakan motif dan
dasar tingkah laku seseorang.
Sedangkan perilaku adalah
tindakan nyata untuk
melakukan sesuatu hal
dengan berpedoman pada
sikap-sikap tersebut.
Kuesioner Sikap-Sikap Positif Dongeng
No Sikap-Sikap Positif YA TIDAK
1. Sikap jujur
2. Sikap bertanggung jawab
3. Sikap bekerja keras
4. Sikap saling menghormati
5. Sikap adil
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 25
Upaya Mengembangkan Sikap Siswa
Setelah daftar kuesioner selesai disusun, pada
saat kegiatan mendongeng berlangsung
kuesioner tersebut dibagikan kepada setiap
siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR
Jakarta. Siswa yang belum tampil mendongeng
akan mengisi kuesioner siswa yang tampil
mendongeng dengan menulis nama siswa yang
tampil, kelas, dan judul dongeng yang
disampaikan.
Langkah 4: Guru Mendongeng
Sebelum siswa mendongeng, sebaiknya guru
memberikan contoh mendongeng. Mendongeng
dapat dilakukan dengan teks, yaitu membacakan
buku atau bisa juga
tanpa teks. Guru
memberikan contoh
mendongeng tanpa
teks dengan
menggunakan alat
peraga yang sesuai
dengan isi dongeng.
Setelah selesai
mendongeng guru
dan siswa bertanya
jawab mengenai
n i l a i - n i l a i
kehidupan, pesan
moral, dan sikapsikap
positif yang
terdapat dalam
dongeng tersebut.
Langkah 5: Siswa Mendongeng
Siswa tampil mendongeng di depan kelas satu
per satu tanpa menggunakan teks. Siswa
diberikan kebebasan oleh guru dalam
mendongeng, boleh menggunakan alat peraga
atau tidak menggunakan alat peraga. Dongeng
yang disampaikan adalah dongeng sesuai tugas
yang diberikan guru pada langkah I No. 3 bagian
F. Waktu yang diberikan untuk mendongeng
lima sampai tujuh menit.
Langkah 6: Guru Memberikan Kesimpulan
dan Penilaian
Setelah semua siswa tampil mendongeng guru
mengumpulkan hasil kuesioner dan
memberikan kesimpulan dari hasil kuesioner
tersebut. Pada tahap ini juga guru memberikan
penilaian terhadap siswa yang tampil terbaik
dalam mendongeng. Guru memilih enam siswa
terbaik dan memberikan hadiah menarik.
Sehingga siswa memiliki motivasi untuk
menerapkan nilai-nilai yang terdapat dalam
dongeng dalam kehidupannya sehari-hari. Juga
termotivasi untuk tampil lebih berani di depan
umum.
Sedangkan untuk mengukur atau mengetahui
sikap/ranah afektif siswa guru menggunakan
evaluasi nilai yaitu dengan menggunakan skala
nilai atau observasi (non-tes). Misalnya nilai
kejujuran yang terdapat dalam dongeng pada
tugas no.3 pada langkah I yang diberikan guru
dikaitkan dengan kejujuran yang dialami siswa
pada saat ini.
Contoh : Skala Nilai Kejujuran
Siswa mengisi evaluasi nilai tersebut dengan
cara mengisi menurut rangking yang siswa
inginkan. Guru memberikan penilaian dengan
cara mengukur menurut rangking, dan
menempatkan jawaban siswa pada rangking
yang sesuai.
Pembahasan
Guru harus bisa menjadi moderator, motivator,
dan fasilitator yang baik dalam kegiatan
pembelajaran membaca dan mendongeng.
Sebagai moderator, guru hendaknya mampu
memandu siswa sehingga setiap kegiatan
pembelajaran dapat mencapai sasarannya.
Kemampuan untuk memotivasi siswa sangat
dibutuhkan untuk membangkitkan minat siswa
senang membaca dan memiliki keberanian untuk
Seberapa Jauh Siswa Berkeinginan Untuk Berbuat Jujur
No Isu Rangking
1. Tidak berbuat curang pada saat ulangan 1 2 3 4 5
2. Tidak membohongi orang tua apabila
melakukan kesalahan
1 2 3 4 5
3. Tidak membohongi guru apabila melakukan
kesalahan
1 2 3 4 5
4. Berusaha untuk tidak berbohong dalam
segala hal
1 2 3 4 5
5. Berusaha berterus terang apabila melakukan
kesalahan
1 2 3 4 5
26 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Upaya Mengembangkan Sikap Siswa
tampil serta menerapkan nilai, moral, sikap
dalam kehidupan sehari-hari siswa. Kesiapan
dan kesediaan guru untuk menjadi fasilitator
menjadi kunci penentu
k e b e r h a s i l a n
pembelajaran membaca
dan mendongeng.
P e n g i s i a n
kuesioner nilai, pesan
moral, dan sikap positif
dongeng dilakukan
oleh siswa kelas VII
SMP Kristen 1 BPK
PENABUR Jakarta.
Responden pengisi
kuesioner adalah 70
orang siswa SMP kelas
VII. Data pengisian
dikumpulkan dengan
cara menyebarkan
kuesioner tersebut
kepada siswa pada saat
kegiatan mendongeng
berlangsung. Siswa
yang belum tampil
mendongeng akan
mengisi kuesioner siswa
yang tampil
mendongeng dengan
menulis nama siswa
yang tampil, kelas, dan judul dongeng yang
disampaikan. Jumlah kuesioner tersebut
sebanyak 70 angket. Pengisian kuesioner
tersebut dilakukan untuk mengetahui nilai,
pesan moral, dan sikap positif yang terdapat
pada 70 judul dongeng.
Adapun rumus yang dipergunakan untuk
mengetahui nilai, pesan moral, dan sikap positif
yang terdapat pada 70 judul dongeng, adalah:
Total Nilai YA =
0 – 50% = Kurang
60 – 69% = Cukup
70 – 79% = Baik
80 – 100% = Sangat Baik
Adapun hasil kuesioner nilai-nilai dongeng
yang menjawab YA dari 70 judul dongeng
sebagai berikut:
Melalui pengisian kuesioner tersebut di atas,
diperoleh kesimpulan bahwa 70 judul dongeng
mengajarkan nilai-nilai yaitu kesabaran dan
ketabahan, kesederhanaan, kerukunan, dan
kerja keras dengan hasil nilai baik, sedangkan
nilai kejujuran, tanggung jawab, keberanian,
kesetiaan, dan saling menghormati memperoleh
hasil nilai sangat baik dapat dibuktikan
berdasarkan hasil pengisian kuesioner pada
tabel 3 di atas. Nilai kederma-wanan dari 70
judul dongeng dengan hasil
kurang dan ini perlu
diperhatikan oleh guru dalam
mengajarkan nilai tersebut.
Hasil kuesioner pesan moral
yang menjawab YA dari 70
judul dongeng sebagai berikut: Pesan moral yang
disampaikan dari 70 dongeng yang dapat
digunakan untuk memperbaiki tingkah laku 63
responden menjawab YA ada, maka diperoleh
hasil 90%.
Presentasi =
Jumlah siswa yang menjawab YA
x 100%
Jumlah Siswa
Tabel 2. Nilai-Nilai Dongeng
No Nilai-Nilai Dongeng N Persentasi
1. Nilai kesabaran dan ketabahan 49 70%
2. Nilai kejujuran 59 84%
3. Nilai kesederhanaan 50 71%
4. Nilai kedermawaan 36 51%
5. Nilai tanggung jawab 60 86%
6. Nilai keberanian 67 96%
7. Nilai kerukunan 49 70%
8. Nilai kesetiaan 56 80%
9. Nilai kerja keras 55 79%
10. Nilai saling menghormati 57 81%
Keterangan:
N = Jumlah siswa yang menjawab YA
Persentasi = Hasil yang diperoleh
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 27
Upaya Mengembangkan Sikap Siswa
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
dari 70 judul dongeng mengajarkan pesan moral
dengan hasil yang sangat baik.
Sedangkan hasil kuesioner sikap positif
dongeng yang menjawab YA dari 70 judul
dongeng sebagai berikut.
Melalui pengisian kuesioner sikap positif
dongeng di atas, diperoleh kesimpulan bahwa
dari 70 judul dongeng mengajarkan sikap-sikap
positif seperti: Sikap jujur dan sikap adil dengan
hasil nilai baik, sedangkan sikap bertanggung
jawab, bekerja keras, dan saling menghormati
dengan hasil nilai yang sangat baik dapat
dibuktikan berdasarkan hasil pengisian
kuesioner pada tabel 3 di atas.
Dengan demikian dari hasil pengisian
kuesioner dari 70 judul dongeng di atas dapat
disimpulkan nilai, pesan moral, dan sikap positif
yang dapat diajarkan kepada siswa. Oleh karena
itu perlu diadakan kegiatan membaca dan
mendongeng di sekolah agar siswa memiliki
nilai-nilai kehidupan, moral, dan sikap positif
yang dapat diterapkannya dalam kehidupan
sehari-hari sehingga siswa memiliki karakter
yang baik.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penerapan kegiatan membaca
dan mendongeng dalam pembelajaran
kesastraan mata pelajaran bahasa Indonesia
diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, isi cerita dalam buku-buku
dongeng mengandung contoh peristiwa yang
dialami tokoh, dialog tokoh, sikap tokoh, atau
perilaku tokoh yang berisi nilai-nilai kehidupan,
pesan moral. Hal tersebut dan dapat membantu
menumbuhkan sikap positif seperti jujur,
bertanggung jawab, bekerja
keras, saling menghormati, dan
adil yang diukur dengan
menggunakan skala nilai atau
observasi (nontes). Untuk itu
hendaknya guru melaksanakan
kegiatan membaca dan
mendongeng. Diharapkan
perpustakaan sekolah
menyediakan dan menambah
koleksi buku-buku dongeng yang
isinya melukiskan kebenaran
atau berisikan ajaran moral.
Kedua, kegiatan membaca dan
mendongeng sangat mudah
dilaksanakan. Kegiatan ini dapat
meningkatkan keberanian siswa.
Jika waktu pembelajaran yang
terbatas kegiatan membaca dapat dilakukan di
rumah atau di perpustakaan pada jam istirahat.
Dalam kegiatan mendongeng siswa dapat
dilibatkan sehingga siswa yang mula-mula
pemalu dan menutup diri akan berubah sikap
menjadi berani.
Ketiga, sebagai pembina dan pendidik,
hendaknya para guru memiliki tanggung jawab
terhadap perkembangan karakter anak didik
dengan cara dalam proses pengajaran tidak
hanya memberikan pengetahuan tetapi juga
mengajarkan tingkah laku yang baik. Salah satu
cara sederhana yang dapat diterapkan adalah
dengan menceritakan kisah kehidupan tokohtokoh
legendaris atau tokoh-tokoh penemu ilmu
pengetahuan. Dari kehidupan tokohnya dapat
diperoleh teladan tentang kejujuran,
kesederhanaan, kegigihan membela kebenaran,
kerja keras, kedermawanan, dan kesetiaan
sehingga siswa termotivasi untuk melakukan hal
yang baik.
Semoga kegiatan membaca dan
mendongeng yang penulis paparkan ini dapat
memberikan manfaat dan menjadi contoh bagi
teman-teman guru terutama di lingkungan BPK
PENABUR.
Tabel 3. Sikap Positif Dongeng
No Sikap-Sikap Positif N Persentasi
1. Sikap jujur 54 77%
2. Sikap bertanggung jawab 59 84%
3. Sikap bekerja keras 56 80%
4. Sikap saling menghormati 57 81%
5. Sikap adil 50 71%
Keterangan :
N = Jumlah siswa yang menjawab YA
Persentasi = Hasil yang diperoleh
28 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Upaya Mengembangkan Sikap Siswa
Daftar Pustaka
Bunanta, Murti. (2004). Buku, mendongeng dan
minat membaca. Jakarta: Pustaka
Tangga
Dinas Pendidikan Dasar. (2006). Kurikulum
Satuan Pendidikan Tingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP) Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta
Gulo. W. (2002). Strategi belajar mengajar. Jakarta:
PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Nurhadi, dkk. (2004). Bahasa dan Sastra Indonesia
untuk SMP Kelas VII. Jakarta: Erlangga
Sunarto, dkk. (1999). Perkembangan peserta didik.
Jakarta: Rineka Cipta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 29
Brilliant Class dalam Perspektif Vygotsky
Brilliant Class
dalam Perspektif Vygotsky
Yuli Kwartolo*)
*) Staf Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (P4) BPK PENABUR Jakarta
Opini
emberi fasilitas pendidikan khusus bagi siswa yang mempunyai kecerdasan luar biasa
merupakan suatu keharusan. BPK PENABUR dan Surya Institute bekerjasama membuka
program pendidikan bagi siswa yang mempunyai kecerdasan luar biasa (IQ ≥ 150) yang
diberi nama Brilliant Class. Program ini dijamin oleh UU RI. No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Selain itu dalam perspektif Vygotsky, Brilliant Class mendapat pijakan
yang sangat realitis asal pelaksanaan pendidikan berada satu tingkat di atas tingkat perkembangannya.
Ini harus dilakukan agar Zone Proximal Development (ZPD) teraktualisasi secara optimal tidak harus
menunggu kesiapan (readiness) dan kematangan (maturity) seperti teori-teori Jean Piaget.
Kata kunci: Brilliant Class, Zone Proximal Development (ZPD), behaviorisme, intrapsikis, humanisme,
konstruktivisme
The children with high intelligence should be provided with special education. BPK PENABUR in
cooperation with Surya Institute has organized The Brilliant Class for the children with intelligence of
150. The Indonesian constitution. Number 20 of 2003, grants the provision of special education
program.According to Vygotsky, the Brillian Class is effective to meet the children’s needs as long as
it is conduated properly.
Abstrak
M
Pendahuluan
BPK PENABUR dan Surya Institute pimpinan
Prof. Yohanes Surya, Ph.D telah menjalin kerja
sama untuk menyelenggarakan Brilliant Class.
Pembukaan kelas ini dimulai tahun pelajaran
2007/2008. Dalam proposal Brilliant Class
disebutkan isi program ini adalah, menjadi centre
of academic exellence pada bidang IPA dan
Matematika dengan menyediakan program
pendidikan khusus untuk siswa “berbakat
intelektual tinggi” (high intellectually gifted)
dengan IQ ≥ 150, sehingga mereka: (1) memiliki
kesempatan untuk mendapat pendidikan
lanjutan yang terbaik di dunia; dan (2) memiliki
iman yang hidup kepada Tuhan; dan (3)
memiliki semangat pengabdian yang tinggi
untuk kemajuan Indonesia. Sedangkan misinya
adalah: (1) mengembangkan potensi siswa
“berkebutuhan khusus” secara optimal; 2)
membentuk siswa sebagai pemelajar seumur
hidup yang memiliki kepedulian sosial dan
berkarakter kristiani melalui program
pendidikan yang terstruktur dan sesuai. Sasaran
Brilliant Class diperuntukan bagi siswa lulusan
SMP. Dengan demikian penyelenggaraan
Brilliant Class fokus pada jenJeang SMA yang
berlokasi di SMAK BPK PENABUR Gading
Serpong.
Ketika program ini di-launching di media
massa, sempat muncul keraguan bahkan
kesannya tidak setuju (kontra) dengan ide
pelaksanaan sekolah untuk siswa yang
berkebutuhan khusus (special need). Akan tetapi
ada juga yang memberi apresiasi positif atau
30 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Brilliant Class dalam Perspektif Vygotsky
memperlihatkan dukungan yang signifikan
terhadap pelaksanaan Brilliant Class. Melalui
artikel ini, penulis tidak ingin membahas
mengenai pro dan kontra terhadap eksistensi
Brilliant Class tersebut, melainkan ingin mengkaji
keberadaan Brilliant Class dalam perspektif
Vygotsky.
Konsepsi Brilliant Class
Ide pelaksanaan Brilliant Class tentu saja
tidak asal muncul begitu saja, akan tetapi
didasarkan atas beberapa pertimbangan yang
matang dan logis. Salah satu yang menjadi dasar
pertimbangan adalah hasil kajian yang
dilakukan Yohanes Surya, bahwa setiap
tahunnya ada sekitar 1,5 juta siswa yang
m e n a m a t k a n
pendidikannya dari
jenjang SMP. Dari
setiap 1.000 siswa
tersebut, terdapat satu
siswa yang
mempunyai IQ ≥ 150.
Anak-anak yang
mempunyai potensi
atau kecerdasan luar
biasa itu pada
kenyataannya belum
mendapat perhatian.
Artinya, mereka belum difasilitasi secara khusus
supaya potensinya berkembang secara optimal.
Dasar pertimbangan lain adalah, anak-anak
(siswa) yang memiliki kecerdasan sangat
istimewa secara yuridis formal dijamin oleh
undang-undang. Dengan kata lain, undangundang
secara tegas mengamanatkan
pentingnya pendidikan untuk anak-anak yang
mempunyai kecerdasan istimewa.
UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 4 menegaskan
bahwa, “Warga negara yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus”. Kemudian
pada pasal 12 ayat 1 ditekankan, setiap peserta
didik berhak mendapatkan pendidikan sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
Berdasarkan informasi yang ada di proposal
pembukaan program tersebut, berikut ini secara
ringkas penulis sampaikan konsepsi mengenai
Brilliant Class.
Nama BRILLIANT ditetapkan karena kelas
ini akan melahirkan lulusan yang: (1) Brill atau
berbakat intelektual tinggi; (2) I atau Iman yang
teguh kepada Tuhan; dan (3) pengabdian untuk
kemajuan Tanah Air Indonesia. Tujuannya
adalah: (1) memberikan layanan pendidikan
untuk siswa berkebutuhan khusus dan berbakat;
(2) mendorong siswa untuk mengenali
kemampuan akademis yang dimilikinya dan
dikembangkan secara optimal; (3)
mempersiapkan siswa untuk lulus dengan nilai
exellent dalam ujian nasional dan ujian berskala
internasional (Cambridge A Level); (4)
mempersiapkan siswa supaya dapat
meneruskan pendidikan ke universitas ternama
di luar negeri; dan (5) membentuk siswa menjadi
pemelajar seumur hidup yang takut akan Tuhan
serta memiliki kepedulian sosial.
Selain aspek intelektual/akademik, siswasiswa
Brilliant Class juga mendapat
pendampingan secara
individual berkaitan
dengan aspek
psikologis dan
s p i r i t u a l i t a s .
Kesehatan fisik juga
menjadi perhatian
dengan melibatkan
dokter sekolah dan
makanan bergizi yang
diatur di asrama
tempat tinggal siswa.
Agar tidak terkesan
eksklusif, siswa Brilliant Class juga bergabung
dan bergaul dengan siswa kelas reguler lainnya
di SMAK Gading Serpong BPK PENABUR.
Perubahan Kajian Psikologi Tentang
Manusia
Psikologi berasal dari kata-kata Yunani:
Psyche yang berarti jiwa, dan Logos yang berarti
ilmu. Jadi secara harafiah, psikologi berarti ilmu
jiwa. Akan tetapi arti “ilmu jiwa” masih kabur
sekali. Apa yang dimaksud dengan “jiwa”, tidak
ada seorang pun yang tahu dengan
sesungguhnya. Karena kekaburan arti itu, sering
timbul berbagai pendapat mengenai definisi
psikologi yang saling berbeda (Sarlito Wirawan,
1976). Itulah pandangan atau paradigma lama
mengenai pikologi yang berorientasi dalam
mempelajari jiwa manusia.
Akan tetapi seiring dengan perkembangan
ilmu psikologi itu sendiri, maka psikologi tidak
lagi memfokuskan diri pada jiwa manusia,
melainkan telah menyebar secara luas. Aspek
perilaku, perasaan, bakat, pikiran, intelektual,
dan lain-lain telah menjadi kajian psikologi yang
intensif. Secara esensial adalah, psikologi
... bahwa setiap tahunnya ada
sekitar 1,5 juta siswa yang
menamatkan pendidikannya dari
jenjang SMP. Dari setiap 1.000
siswa tersebut, terdapat satu
siswa yang mempunyai IQ ≥ 150.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 31
Brilliant Class dalam Perspektif Vygotsky
mempelajari perilaku manusia sebagaimana
adanya. Perilaku manusia yang dimaksud
adalah semua perilaku dapat diamati, dilihat,
dan diukur.
Para ahli psikologi modern seperti Clifford
T. Morgan mengemukakan definisi, psikologi
adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku
manusia dan hewan; Edwin G. Boring dan
Herbert S. Langfeld, psikologi adalah studi
tentang hakikat manusia; dan Garden Murphy,
psikologi adalah ilmu yang mempelajari respons
yang diberikan oleh makhluk hidup terhadap
lingkungannya (Sarlito Wirawan, 1976).
Ada beberapa aliran atau mazab dalam
psikologi, namun ada tiga mazhab yang terkenal
yang yaitu behaviorisme, intrapsikis, dan
humanisme. Ketiga mazhab itu mempunyai
pengaruh signikan terhadap praktik pendidikan
di seluruh dunia.
1. Mazhab Behaviorisme
Mashab behaviorisme berpendapat bahwa
lingkungan merupakan faktor terpenting yang
mempengaruhi perilaku manusia. Perilaku
manusia dikontrol dari luar dirinya (process of
external control). Tokoh aliran ini diantaranya
adalah John B. Watson, Ivan P. Pavlov, B.F.
Skinner, Tolman, dan Albert Bandura. John B.
Watson terkenal dengan semboyannya, “Berikan
kepadaku sepuluh orang anak akan aku bentuk
sesuai apa yang kuinginkan.” John B. Watson
menganggap bahwa lingkungan adalah faktor
terpenting yang berpengaruh dalam
pembentukan manusia.
Tokoh utama psikologi behaviorisme
lainnya adalah Ivan P. Pavlov (tahun 1904).
Eksperimen yang terkenal adalah ketika ia
melakukan percobaan dengan daging dan seekor
anjing. Ketika daging itu disodorkan maka air
liur anjing keluar. Daging disebut stimulus (S)
atau rangsangan dan air liur yang keluar adalah
respons (R). Dari semboyan ini dapat dipertegas
bahwa lingkungan adalah satu-satunya faktor
yang sangat berpengaruh terhadap
pembentukan manusia. Namun pendapat
Pavlov bahwa yang menggerakan manusia
untuk melakukan respons adalah karena adanya
stimulus ditentang oleh B.F. Skinner. Ia
mencontohkan ketika manusia merasa lapar,
maka ia akan makan. Karena makan manusia
itu kenyang. Rasa kenyang menimbulkan
kenikmatan. Rasa nikmat itulah yang
menyebabkan manusia ingin makan lagi sebagai
konsekuensinya, karena rasa nikmat merupakan
kekuatan penggerak atau reinforcement.
Reinforcement bisa jadi positif (nikmat) atau
negatif (sakit) yang mengakibatkan seseorang
mau, atau tidak mau melakukan perbuatan itu
lagi. Jadi, bukan stimulus langsung yang
menimbulkan reaksi, tapi akibat dari perilaku.
Tolman juga seorang penganut aliran
behaviorisme. Ia berpendapat bahwa tujuanlah
yang menyebabkan manusia melakukan respons
(tindakan). Pendapatnya yang terkenal adalah,
“Setiap perilaku manusia itu bertujuan.” Jadi
lingkungan dapat mengkondisikan manusia
untuk berperilaku.
Sarlito Wirawan (1976) menyebutnya,
behaviorisme sebagai “Psikologi S-R” yang lebih
mementingkan perilaku terbuka. Menurut
penganut aliran ini, proses-proses psikologi
selalu dimulai dengan adanya rangsangan
(stimulus) dan diakhiri dengan suatu reaksi
(respons) terhadap rangsangan itu. Hal lain yang
mendasar dari aliran ini adalah adanya
reinforcement atau penguat yang mendorong
seseorang melakukan sesuatu. Teori Skinner
kemudian ditentang oleh Albert Bandura. Ia
menyatakan, bukan akibat dari perbuatan
(kenikmatan) itu yang menyebabkan manusia
berperilaku, melainkan karena adanya kemauan
dari dalam dirinya (konsekuensi internal).
Bandura menyebutkan dengan model social
learning atau belajar pada orang lain.
Aliran psikologi behaviorisme sifatnya
mekanik, berorientasi pada perilaku nyata,
sangat berhasil dalam mengubah perilaku
manusia, bersifat pembiasaan, mengutamakan
reward (penghargaan) dan punishment
(hukuman), namun tidak melihat manusia secara
utuh (bakat, minat, motivasi, jiwa, intelegensi,
dll).
Berpijak dari pandangan behaviorisme itu,
maka dapat disebutkan di sini praktik-praktik
pendidikan/pembelajaran yang dipengaruhi
oleh mashab behaviorisme. Misalnya, siswa
akan belajar dan mengerjakan sungguhsungguh
soal-soal ulangan karena dinilai serta
siswa akan menunjukkan motivasi yang tinggi
jika apa yang mereka kerjakan dihargai oleh
guru.
Menurut B. Simanjuntak dan IL Pasaribu
(1987), implikasi lebih luas paham behaviorisme
dalam pendidikan adalah: Perilaku guru
mengharapkan murid menghafal secara
mekanis/otomatis;
32 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Brilliant Class dalam Perspektif Vygotsky
1. Verbalitis karena perilaku siswa bersifat
mekanis dan reflektif;
2. Siswa duduk saja, tidak ada inisiatif karena
perasaan, pikiran tidak mengarahkan ke
perilaku;
3. Guru membiasakan siswa dengan latihan;
4. Guru tidak memperhatikan perbedaan
individu;
5. Guru menggunakan “learning by parts”
sampai tak ada hubungan;
6. Guru hanya memberi tugas tanpa disadari
siswanya untuk apa tugas itu;
7. Teacher centered atau guru sangat dominan.
2. Mazhab Intrapsikis
Tokoh terpenting mashab intrapsikis adalah
Sigmund Freud. Ia mengemukan apa yang
dinamakan psikoanalisa atau teori alam
ketidaksadaran (unconsciousness). Teorinya
sangat bertolakbelakang dengan paham
behaviorisme yang sangat mendewakan perilaku
nyata, orientasinya lebih pragmatis atau
kebenaan adalah sesuatu yang diperbuat/
dinyatakan (the truth is the making).
Menurut Freud dorongan yang timbul pada
masa kanak-kanak, yang oleh karena sesuatu hal,
terpaksa ditekan sehingga tidak muncul ke alam
kesadaran (Sarlito Wirawan, 1976). Freud
berpendapat bahwa, perilaku nyata manusia itu
adalah refleksi dari keadaan mental manusia.
Jadi ada kesadaran dalam diri manusia untuk
bertindak. Manusia dapat menggali kembali
unsur-unsur ketidaksadaran (unconsciousness),
dapat menceritakan semua yang pernah dialami
secara tidak sadar. Di dalam diri manusia ada
tiga hal yang melekat, yaitu badan, kesadaran,
dan ketidaksadaran. Aliran ini lebih
menekankan bahwa proses perilaku manusia
karena ada kontrol dari dalam dirinya (process
internal control). Freud mengatakan, pengalaman
masa kecil (childhood experience) sangat
menentukan masa depan seseorang. Ilmu-ilmu
yang mempelajari pengalaman masa kecil sangat
berpengaruh terhadap perkembangan anak
selanjutnya dan usia anak-anak dikatakan
sebagai golden age atau usia emas yang sangat
menentukan kehidupan selanjutnya. Aliran
intrapsikis sangat mengakui jiwa manusia
(intuisi, kesadaran, ketidaksadaran).
3. Mazhab Humanisme
Kaum humanisme berpandangan bahwa perilaku
dan perkembangan manusia dipengaruhi oleh
faktor pembawaan atau genetika. Namun
demikian, mereka juga tidak mengesampingkan
faktor lingkungan. Jadi, pendapat para tokoh
humanisme masih dipengaruhi mashab
behaviorisme.
Tokoh aliran psikologi humanisme adalah
Carl Rogers. Ia mengetengahkan faktor-faktor
directive (langsung) dan non directive (tidak
langsung). Yang directive, berarti di luar dirinya
ada sasaran yang jelas, target yang akan dicapai,
dan secara sadar manusia akan mencapainya
dengan cara-cara sistematis. Sedangkan yang
non directive lebih mengedepankan faktor-faktor
internal (intrapsikis). Aliran psikologi
humanisme pada prinsipnya memandang
manusia baik adanya, berpusat pada manusia
seutuhnya, dan memanusiakan manusia.
Raras S (2007) dari Fakultas Kedoteran
Jurusan Psikologi Universitas Sumetera Utara
dalam artikelnya berjudul Aktualisasi Filsafat Ilmu
Dalam Perkembangan Psikologi mengungkapkan,
aliran humanisme menekankan pentingnya
seseorang untuk dapat mengenal dirinya secara
baik serta mengembangkan potensi-potensi yang
dimiliki secara maksimal. Manusia diberi
kesempatan yang luas untuk memperkaya
kehidupan secara positif. Psikologi humanisme
memandang seseorang secara utuh, tanpa
mengkotak-kotakkan ke dalam penggolongan
fungsi, seperti misalnya persepsi, belajar, dan
kepribadian.
Psikologi Belajar Jean Piaget dan Vygotsky
Supaya sampai pada pokok telaah yang penulis
maksudkan dalam artikel ini, secara khusus
penulis akan menguraikan mengenai psikologi
belajar yang di dalamnya antara lain membahas
perkembangan kognitif seseorang dan berbagai
macam teori belajar. Menurut Alexander A.
Schneider dalam Sarlito Wirawan (1975),
psikologi belajar merupakan salah satu cabang
ilmu psikologi yang kajiannya interdisipliner.
Berbicara mengenai psikologi belajar kita
tidak dapat melupakan jasa seorang yang
bernama Jean Piaget dan Vigotsky. Kedua tokoh
ini saling melengkapi. Mari kita uraikan satu
persatu.
Jean Piaget
Istilah kognitif dalam perspektif psikologi tidak
sebatas sekumpulan pengetahuan, informasi,
wawasan, dan sejenisnya yang dimiliki
seseorang, melainkan berkaitan erat dengan
peristiwa mental yang terlibat dalam
pengenalan (knowing) tentang dunia. Bahasa
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 33
Brilliant Class dalam Perspektif Vygotsky
sederhananya adalah “berpikir”. Cara berpikir
seseorang sejak masa kanak-kanak sampai
dewasa mengalami perkembangan seiring
bertambahnya usia.
Adalah Jean Piaget (Clifford T. Morgan,
1986) yang telah mempelajari intelegensi anakanak
sejak tahun 1920. Intelegensi di sini
maksudnya adalah, sebagai proses-proses
mental atau kognitif yang memungkinkan
seorang anak mengenal dunia. Teorinya yang
sangat terkenal adalah penggolongan
perkembangan kognitif atau otak seseorang
untuk berpikir ke dalam empat fase. Keempat
fase itu adalah, fase sensor motorik (0 – 2 tahun),
fase pre operasional (2 – 7 tahun), fase
operasional konkret (7 – 11 tahun); dan fase
operasional formal.
Pada fase sensor motorik, bayi tidak
membedakan dirinya sendiri dari isi dunia
lainnya, dan perilakunya terbatas pada
penggunaan pola-pola reflek. Semakin bayi itu
bertambah besar, timbul pola-pola respons baru,
dan dapat membuat gerakan-gerakan yang
disengaja. Pada akhir periode ini, bayi dapat
berpikir tentang dunia dalam hubungannya
dengan sensor motorik, yaitu yang berhubungan
dengan pengalaman-pengalaman dan tindakantindakan
sederhana. Pada fase pra operasional,
anak-anak banyak didominasi oleh cara-cara
bagaimana hal-hal atau benda-benda itu
tampak. Anak-anak sudah mampu berpikir
bahwa jumlah benda tetap sama; sekalipun
bentuk atau pengaturannya berbeda. Sedangkan
pada fase operasional konkret, anak-anak mulai
dapat berpikir logis, namun masih cenderung
konkret. Dimensi pemikirannya masih
berorientasi di sini dan kini. Akhirnya, pada fase
operasional formal anak-anak mulai dapat
mengembangkan cara-cara berpikir logis seperti
halnya pada orang dewasa. Anak-anak mulai
menggunakan aturan-aturan formal dari
pikiran-pikiran dan logika untuk memberikan
dasar kebenaran (justification) jawaban-jawaban
mereka.
Berdasarkan tahap-tahap perkembangan
kognitif seseorang di atas, maka faktor
kematangan (maturity) dan kesiapan (readiness)
menjadi kunci keberhasilan seseorang dalam
menguasai dunianya. Satu hal yang harus
dicacat adalah, Jean Piaget telah membuka
lembaran baru dalam psikologi karena
pendapatnya bahwa seorang individu pada
dasarnya dapat berkembang dan belajar dari
dalam dirinya atau from within. Jean Peaget
mengemukakan apa yang dinamakan dengan
konstruktivisme, yaitu belajar dari dalam dirinya,
memilih mana yang bermakna. Di situlah terjadi
perjumpaan antara dirinya dan lingkungan, dan
tugas lingkunganlah mengundang mereka untuk
belajar. Dengan demikian seorang individu akan
dapat memberi makna terhadap dunia luar
sehingga dapat mengkonstruksi pengalamanpengalaman
yang didapatnya.
Jean Piaget berpendapat bahwa seorang
individu memilih struktur-struktur kognitif.
Struktur kognitif itu kemudian dapat digunakan
untuk belajar (di sekolah). Sekolah harus
menerapkan sistem pembelajaran yang
dinamakan expository instruction. Dari belajar
itulah seorang individu memperoleh apa yang
dinamakan dengan “body of knowledge” atau
berbagai macam bentuk pengetahuan yang
terorganisasi. Konstruktivisme telah membuka
sejarah baru dalam psikologi. Aliran ini
membahas hal-hal yang sangat relevan dalam
masalah pembelajaran. Konstruktivisme
menekankan bagaimana seseorang menguasai
pengetahuan, bagaimana cara seseorang itu
menguasai dunianya, bukan isinya, atau bukan
apa yang dikuasainya. Menurut Jean Piaget,
human mind atau akal budi merupakan perangkat
dasar sebagai struktur kognitif dalam
menanggapi dunia. Dengan akal budi itu
seseorang mampu mengkonstruksi kembali apa
yang diamati atau dipelajari.
Teori mengenai perkembangan kognitif
seseorang yang dikemukan oleh Piaget terus
disempurnakan. Adalah Feuerstein, murid
Piaget sendiri yang menyatakan, apa yang
dimaksud oleh Piaget sebagai perubahan
kualitatif pada diri seseorang dalam mencerna
berbagai pengetahuan atau perkembangan
intelektual adalah tidak selamanya benar. Sebab
struktur kognitif seseorang tidaklah selalu tetap,
melainkan dinamis atau dapat berubah.
Perubahan/modifikasi stuktur kognitif atau
structure cognitive modification itu terjadi melalui
berbagai pengalaman belajar.
Structure Cognitive Modification (SCM) yaitu,
perubahan struktur kognitif seseorang atau
siswa dalam proses pembelajaran di mana ada
kemampuan-kemampuan atau learning potential
yang tidak muncul. Jadi, potensi-potensi yang
belum muncul itu bisa mengubah ciri struktur
mental secara substantif dengan cara belajar
yang efektif. Dengan demikian, ada intervensi
34 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Brilliant Class dalam Perspektif Vygotsky
yang efektif (effective intervension) sebagai media
belajar. Ada media untuk mendapatkan
pengalaman belajar atau Mediated Learning
Experience (MLE). Feuerstein mengambil sampel
para remaja yang mempunyai daya intelektual
rendah atau katakanlah kurang pintar. Ternyata
yang terjadi adalah potensi-potensi yang dimiliki
remaja itu tidak muncul karena memang tidak
digali. Oleh karena itu Feuerstein memperkuat
pendapatnya bahwa perkembangan intelektual
seseorang tidak semata-mata karena faktor
genetis, umur, tingkat perkembangan, dan
kematangan seperti yang dikatakan Piaget,
melainkan karena berbagai cara yang digunakan
seseorang atau lingkungan untuk menggali
seluruh potensinya. Misalnya saja, lingkungan
mengubah cara belajar yang dependent menjadi
independent, atau model pembelajaran yang tidak
bersifat instruction menjadi self study. Teori
Structure Cognitive Modification berkembang
secara positif bukan karena faktor pengulangan
dalam belajar,
melainkan karena
perubahan struktur
kognitif yang
natural. Maka apa
yang dikemukakan
oleh Piaget bahwa
hasil belajar
seseorang sesuai
dengan tahap-tahap
perkembangan
intelektual tidak
semuanya benar.
N a m u n
demikian, jasa besar
Jean Piaget terhadap dunia pendidikan tidak
terbantahkan. Sampai sekarang kurikulum atau
materi pembelajaran atau praktik-praktik
pembelajaran masih tetap mendasarkan diri
terhadap empat tahap perkembangan intelektual
di atas.
Slameto (1995) mengemukakan pendapat Jean
Piaget mengenai perkembangan proses belajar
pada anak-anak adalah sebagai berikut.
1. Anak mempunyai struktur mental yang
berbeda dengan orang dewasa. Mereka
bukan merupakan orang dewasa dalam
bentuk kecil, mereka mempunyai cara yang
khas untuk menyatakan kenyataan dan
untuk menghayati dunia sekitarnya
sehingga memerlukan pelayanan tersendiri
dalam belajar.
2. Perkembangan mental pada anak melalui
tahap-tahap tertentu menurut suatu urutan
yang sama bagi semua orang.
3. Walaupun berlangsungnya tahap-tahap
perkembangan itu melalui suatu urutan
tertentu, jangka waktu untuk berlatih dari
suatu tahap ke tahap yang lain tidaklah
selalu sama pada setiap anak.
4. Perkembangan mental anak dipengaruhi
oleh 4 faktor, yaitu: (1) kematangan, (2)
pengalaman; (3) interaksi sosial, dan (4)
equilibration (proses dari ketiga faktor di atas
bersama-sama untuk membangun dan
memperbaiki struktur mental).
Vygotsky
Vygotsky adalah seorang Rusia yang meninggal
di usia 33 tahun. Ia merupakan salah seorang
tokoh termasyur dalam bidang psikologi.
Sebelum meninggal, ia mewariskan pemikiran
yang mendobrak pemikiran psikologi saat itu.
Menurutnya, apa
yang menjadi
p e r i l a k u
manusia adalah
p r o s e s
menyesuaikan
diri dengan apa
yang sesuai/
tepat (appropriate)
dan menjadi
h a r a p a n
m a s y a r a k a t /
lingkungan. Ini
sudah mengarah
kepada faktor
lingkungan. Perkembangan kognitif pada
manusia adalah selain proses biologis, juga
karena proses transformasi. Tetapi tumbuh
kembangnya dipengaruhi oleh lingkungan.
Vigotsky menyebutnya sebagai konstruksi sosial.
Manusia bukan hanya berkembang dalam
arti sosial biologis, namun fungsi-fungsi
psikologis terus meningkat sejak dari lahir.
Fungsi-fungsi psikologis itu seperti persepsi,
perhatian, memori yang terus berkembang karena
manusia bertransformasi dalam konteks sosial
dan pendidikan. Melalui bahasa, sarana, dan
kebudayaan, hukum-hukum sosial manusia
terus berkembang sampai mencapai fungsi
psikologi kognisi tingkat tinggi. Beda dari Piaget
yang menyatakan perkembangan manusia
hanya ditentukan dari dalam diri, Vygotsky
Bila diibaratkan, kalau ada daerah
hitam dan putih, yang hitam adalah
potensi yang belum
diaktualisasikan (belum berubah
menjadi suatu kemampuan),
sementara itu daerah putih
merupakan potensi yang sudah
teraktualisasikan.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 35
Brilliant Class dalam Perspektif Vygotsky
mengatakan banyak pengaruh konstruksi sosial
yang membentuk sisi-sisi kognitif manusia
(fungsi psikologis kognisi tinggi). Kalau Piaget
mengatakan harus menunggu kematangan dan
kesiapan seseorang serta harus cocok antara
pengaruh dari luar dan perkembangan di dalam
dirinya (match). Akan tetapi Vygotsky tidak
berpendapat seperti itu. Ada sesuatu di atas
tahap perkembangan itu (plus one matching). Ada
daerah-daerah yang sangat sensitif untuk
diaktualisasikan dalam diri anak. Daerah ini
dinamakan Zone Proximal Development (ZPD).
ZPD merupakan jarak antara tingkat
perkembangan aktual seseorang dengan tingkat
perkembangan potensial. Bila diibaratkan, kalau
ada daerah hitam dan putih, yang hitam adalah
potensi yang belum diaktualisasikan (belum
berubah menjadi suatu kemampuan), sementara
itu daerah putih merupakan potensi yang sudah
teraktualisasikan. Jarak antara hitam dan putih
itulah yang dinamakan dengan ZPD. Dengan
kata lain ZPD terletak antara daerah hitam dan
daerah putih (Nur Arfah Mega, dkk, 2007). ZPD
merupakan daerah perkembangan potensial
untuk menjadi sesuatu yang kongkrit. Pengaruh
pada ZPD tak perlu menunggu tahapan-tahapan
seperti yang dikatakan Piaget. Teori Vygotsky
menjadikan seorang anak tertantang untuk
melakukan aktivitas di atas tingkat
perkembangan yang dimiliki. Persyaratannya
adalah, jangan sampai lingkungannya
terabaikan. Rumah, teman sejawat, kebudayaan,
dan sekolah harus menyertai perwujudan ini.
Jasa Vigotsky adalah membuka wawasan baru
tentang perkembangan kognitif manusia dan
proses kurtural, pendidikan bagi anak berbakat,
dan peningkatan kadar mental (eskalasi) atau
higher order thinking.
Pengertian tentang ZPD memiliki nilai
teoritis dan dihubungkan dengan permasalahan
mendasar dari psikologi anak dan psikologi
pendidikan, terutama hal-hal yang berkaitan
dengan fungsi-fungsi psikis yang lebih tinggi,
yaitu hubungan pendidikan dengan
perkembangan intelektual, dan dorongandorongan
motivasional serta mekanismemekanisme
perkembangan psikis. Fenomena
dari ZPD menekankan pada peranan pokok dari
pendidikan dalam perkembangan intelektual.
Menurut Vigotsky dalam Hendriati Agustiani
(2006) bahwa, “Pendidikan mempunyai
pengaruh hanya bila berada di depan
perkembangan”. Maksud dari pernyataan ini
adalah, bagi anak-anak yang mempunyai
kemampuan intelektual istimewa (luar biasa)
dan di dalam dirinya ada ZPD, maka praktik
pendidikan, misalnya berbagai pengalaman
belajar, stategi pembelajaran yang diterapkan,
materi pembelajaran atau kurikulum yang
diberikan harus satu tingkat di atas
perkembangan anak-anak normal.
Dengan menerapkan konsep ZPD pada
pendidikan, maka pembelajaran akan
memajukan perkembangan anak, karena isi ZPD
diubah, diperbaiki, dikembangkan, dan
ditempatkan pada tahapan perkembangan
sebenarnya yang menyebabkan pemelajar
bergerak maju ke suatu tingkat perkembangan
yang lebih tinggi.
Brilliant Class dan Teori Vygotsky
Sekali lagi, Vygotsky telah membuka wawasan
baru tentang perkembangan kognitif/intelektual
manusia/anakdan proses kultural. Salah satu
wujud konkrit implikasi dari teori Vygotsky
adalah dilaksanakannya akselerasi belajar bagi
anak berbakat, pendidikan bagi anak-anak yang
mempunyai kemampuan intelektual luar biasa
dan dalam proses pembelajaran harus selalu
meningkatkan kadar mental atau berpikir tingkat
tinggi. Dalam perspektif inilah Brilliant Class
mendapatkan pijakan yang benar-benar realistis.
Brilliant Class sebagai salah satu layanan
pendidikan yang menaruh perhatian yang besar
terhadap anak-anak yang mempunyai
kemampuan intelektual luar biasa.
Dalam pertemuan antara Yohanes Surya
dan guru-guru Brilliant Class nonsains, 29 Mei
2007 di SMAK BPK PENABUR disebutkan
Yohanes Surya mengemukakan berbagai
karakteristik anak berbakat berdasarkan
pengalamannya membina anak-anak Tim
Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI).
Karakteristik-karakteristik itu adalah: 1) rapid
learning; 2) excellent memory; 3) outstanding
problem-solving and reasoning ability; 4) persistent
intellectual curiosity; 5) ability to see subtle
relationships; 6) a wide range of interests; 7) mature
and unusual vocabulary; 8) ability to sustain
concentration; 9) responsibility and independence in
class work; 10) initiative and originality; 11) flexible
thinking; 12) ability to consider problems from
different aspects; 13) observant nature and
36 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Brilliant Class dalam Perspektif Vygotsky
responsiveness to new ideas; 14) ability to
communicate with adults in a mature way; 15)
enjoyment of intellectual challenges; dan 16) subtle,
sometimes quirky sense of humor.
Berbagai karakteristik seperti itu tentu saja
membawa konsekuensi-konsekuensi bagi guru.
Beberapa konsekuensi itu antara lain: 1) guru
harus memperhatikan karakteritik siswa tersebut
dalam pembelajaran, 2) guru harus berani dan
siap berdebat, 3) guru harus membekali diri
dengan pengetahuan yang lebih dan 4) guru
harus siap dengan berbagi argumen.
Pertanyaannya sekarang adalah di mana
letak keterkaitan antara Brilliant Class dengan
teori Vygotsky? Sebelum menguraikan jawaban
itu, sekedar mengingatkan saja, bahwa dalam
konsep Vygotsky perkembangan ZPD hanya
dapat dilakukan dan berarti jika pelaksanaan
pendidikan satu tingkat berada di atas
Tabel 1. Kurikulum Brillian Class Tahun Ke-1
No. Bidang studi/subjek Cakupan materi pembelajaran/arah pembelajaran
1. Fisika, matematika, kimia,
biologi
- Semua materi pelajaran dari kelas I sampai
dengan kelas III SMA.
2. Musik -
-
-
Fokus pada musik-musik klasik yang
membangkitkan kreativitas.
Hubungan antara seni dan sains, sejarah
musik.
Pengaruh musik dalam kehidupan sosial.
3. Budi pekerti - Etika dalam berbagai bidang, moral, perilaku,
sikap dalam berhadapan dengan orang lain,
sikap bicara, sopan santun, etika sebagai
ilmuwan.
4. Bahasa Inggris - Fokus pada conversation, reading books dan
article.
5. Bahasa Indonesia - Fokus pada bagaimana menulis karya ilmiah.
perkembangan. Dalam bahasa yang lebih
sederhana, Conny Semiawan (2007)
mengingatkan betapa penting untuk
diperhatikan pada sisi siswa berbakat (yang
mempunyai kecerdasan luar biasa) bahwa
segumpalan konten pengetahuan yang
diperolehnya tanpa mampu mengolahnya untuk
perkembangan lebih lanjut adalah pengetahuan
sesaat yang manfaatnya kurang dirasakan
sebagai pengetahuan yang siap diperlukan bagi
setiap pengembangan ilmu. Karena interes siswa
seperti itu justru berbeda, yaitu “ingin lebih tahu
lagi” (curiosity), yang bersifat konsisten.
Oleh karena itu untuk melihat keterkaitan
antara Brilliant Class dan Vygotsky maka kita
harus mengetahui seperti apa kurikulum dan
rencana pembelajaran yang akan diterapkan di
Brilliant Class dari tahun pertama sampai
dengan tahun ketiga. Tabel berikut ini akan
memberi pemahaman yang lebih spesifik.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 37
Brilliant Class dalam Perspektif Vygotsky
Tabel 2. Kurikulum Brillian Class Tahun Ke-2
No. Bidang studi/subjek Cakupan materi pembelajaran/arah pembelajaran
1. Fokus pada 1 bidang saja:
fisika, matematika, kimia,
biologi, atau komputer
- Materi ke arah olimpiade internasional.
2. Ekonomi dan sosiologi - Fokus pada pembahasan bagaimana para
ilmuwan membantu menangani masalah-
masalah ekonomi dan sosial.
3. Bahasa Inggris - Fokus pada grammar, TOEFL, SAT, dan
menulis karya ilmiah dalam bahasa Inggris.
4. Kepemimpinan - Fokus pada bagaimana bekerja dalam tim,
memimpin dalam organisasi, memimpin
diskusi, dsb.
Tabel 3. Kurikulum Brillian Class Tahun Ke-3
No. Bidang studi/subjek Cakupan materi pembelajaran/arah pembelajaran
1. Fokus pada 1 bidang saja:
fisika, matematika, kimia,
biologi, atau komputer
- Materi advanced tingkat 2 dan 3 universitas.
2. Bahasa Inggris - Fokus pada presentasi dan debat.
3. Sejarah Indonesia dan dunia -
-
Fokus pada bagaimana sejarah/politik
mempengaruhi perkembangan sains suatu
bangsa.
Belajar dari sejarah bagaimana suatu bangsa
menjadi besar.
4. Bahasa asing (optional) - Mandarin, Jepang, Perancis, Korea, atau
Jerman.
Bidang studi agama akan lebih fokus pada
masalah apologetis, seperti melawan paham
ateis, bidat, teori evolusi, dan berbagai
kecenderungan dunia yang melawan kebenaran
wahyu Tuhan; salah satu contohnya adalah Da
Vinci Code. Selain itu mempelajari berbagai
biografi para misionaris.
Melihat konsepsi pelaksanaan Brilliant
Class, secara khusus mengenai struktur
kurikulum seperti yang sudah diuraikan di
depan, penulis dapat memastikan bahwa proses
pendidikan di Brilliant Class akan menawarkan
kurikulum dan suatu model pembelajaran satu
langkah di depan atau satu tingkat di atas
perkembangan seperti yang dikemukan oleh
Vygotsky. Alasannya di antaranya adalah: (1)
siswa Brilliant Class mendapat materi
pembelajaran/kurikulum satu tingkat lebih
tinggi dibandingkan dengan siswa umumnya
(siswa di kelas reguler), (2) siswa Brilliant Class
mendapat materi pembelajaran/kurikulum yang
fokusnya sangat berbeda dari apa yang
diberikan pada siswa-siswa seusianya, atau
siswa yang selevel, (3) strategi pembelajaran
yang digunakan pun lebih berorientasi pada
belajar menemukan (dicovery learning) model
38 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Brilliant Class dalam Perspektif Vygotsky
Jerome Brunner, (4) mengedepankan strategi
pembelajaran yang menuntut kemampuan
berpikir tingkat tinggi dan 5) strategi
pembelajaran yang diterapkan memberikan
pengalaman belajar siswa yang sangat
bermakna (meaningful).
Kurikulum menjadi gemuk dan padat
(compact) materi, artinya materi kurikulum
diperluas atau diperdalam tanpa menjadi lebih
banyak dan dipadatkan. Materi seperti itu secara
kualitatif memenuhi tuntutan bakat, perilaku,
keterampilan dan pengetahuan serta sifat luar
biasa anak berbakat. Reorganisasi kurikulum
yang umum terdiferensiasikan, sehingga akan
terjadi penanjakan untuk meningkatkan “tingkat
tindakan” (level of action) melalui lompatanlompatan
berbagai tahap dan aspek
perkembangan, terutama dalam segi intelektual.
Penutup
Dari penjelasan yang sudah diuraikan di depan,
berikut ini disampaikan pokok-pokok pikiran
yang menurut penulis sangat mendasar.
1. Program Brilliant Class yang berusaha
memfasilitasi pendidikan khusus bagi siswa
yang mempunyai kecerdasan luar biasa
secara legal dijamin UU RI. No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Kekhawatiran bahwa model kelas seperti ini
akan cenderung eksklusif, menurut penulis
tidak cukup beralasan, karena mereka
berbaur dengan siswa kelas reguler.
3. Proses pendidikan di Brilliant Class yang di
dalamnya mencakup kurikulum, strategi
pembelajaran, pengalaman belajar berada
satu tingkat di atas perkembangan.
4. Model pembelajaran discovery learning,
mengedepankan dan mengasah
kemampuan intelektual, kemampuan
berpikir tingkat tinggi menjadi ciri khas
Brilliant Class.
5. Proses pendidikan di Brilliant Class seperti
itu telah mewujudnyatakan pendapat dari
Vygotsky mengenai Zone Proximal
Development (ZPD).
6. Dengan demikian, dalam perspektif
Vygotsky Brilliant Class mendapat pijakan
yang realitis.
Kitano dan Kirby dalam Conny Semiawan
(1997), bahkan memberikan penekanan khusus
terhadap pelaksanaan pendidikan bagi anak
yang berkebutuhan khusus (special educational
needs). Penekanan itu antara lain: Individu
berbakat memerlukan konsiderasi khusus dalam
pendidikannya, karena mereka secara kualitatif
berbeda dengaan individu lainnya.
1. Program pendidikan anak berbakat harus
berbeda dari perogram pendidikan untuk
anak lainnya, dengan penekanan luar biasa
pada perkembangan kreatif dan proses
berpikir tingkat tinggi.
2. Hafalan dalam pembelajaran bagi anak
berbakat harus sejauh mungkin dicegah
dengan memberikan tekanan pada teknik
yang berorientasi pada penemuan (discovery
oriented) dan pendekatan induktif.
Daftar Pustaka
Agustiani, Hendriati. (2006). Psikologi
perkembangan. Bandung: Refika Aditama
Arfah Mega, Nur dkk. (2007). Landasan teori
psikologi (makalah mata kuliah
Landasan Teknologi Pendidikan,
Program Pasca Sarjana Universitas
Negeri Jakarta)
Morgan, Clifford T. (1986). Psikologi, sebuah
pengantar. Jakarta: Pradnya Paramita
Notula pertemuan antara Yohanes Surya
dengan guru-guru Brilliant class non
sains, 29 Mei 2007 di SMAK Gading
Serpong BPK PENABUR
Semiawan, Conny. (1997). Perspektif pendidikan
anak berbakat. Jakarta: Grasindo
Semiawan, Conny. (2007). Layanan pendidikan
bagi anak yang memiliki kebutuhan
pendidikan khusus (Special education
needs). Makalah seminar di BPK
PENABUR Jakarta, tgl 5 Agustus 2006
Simanjuntak, B., dan Pasaribu, IL. (1981).
Psikologi perkembangan. Bandung:
Tarsito
Struktur Kurikulum Brilliant Class tahun 2007/
2008
Sutaminingsih, Raras. (2007). Aktualisasi filsafat
ilmu dalam perkembangan psikologi.
Fakultas Kedokteran Jurusan Psikologi
Universitas Negeri Sumatera Utara
Wirawan, Sarlito. (1976). Pengantar umum
psikologi. Jakarta: Bulan Bintang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 39
Waralaba TKK BPK PENABUR
Waralaba TKK BPK PENABUR
Chris Maryadi SB*)
*) Pengurus BPK PENABUR Jakarta
Opini
aralaba merupakan solusi untuk memperluas wilayah dan cakupan pelayanan tradisional
sekaligus mengasah daya saing dan kelemahan BPK PENABUR dalam rangka menghadapi
paradigma baru Orang Tua Siswa. Waralaba menjadi pemicu BPK PENABUR tidak saja sebagai
“pelaku pendidikan” namun sebagai perintis, pengembang dan pencipta Hak Atas Kekayaan
Intelektual dan berubah dari Service Organisation menjadi Service dan Knowledge Organization.
Kata Kunci : Waralaba, pengembangan, daya saing, penerima waralaba, pemberi waralaba
Franchise is the solution to expand the scope and territory of BPK PENABUR traditional calling whilst
at the same time improving its competitive edge and weaknesses to face Parents’ New Paradigm.
Franchise will trigger BPK PENABUR not only as Education Provider but also as pioneer, developer and
creator of Education Intellectual Proprietaries transforming itself from Service Organisation to Servise
and Knowledge Organisation.
Abstrak
W
Pendahuluan
BPK PENABUR telah memberikan pelayanan
di bidang pendidikan sejak 57 tahun yang lalu
dan mengalami perkembangan yang cukup
berarti dalam upaya mencerdaskan anak bangsa.
Sungguhpun demikian, pelayanan BPK
PENABUR belum dapat menjangkau seluruh
kawasan negara kesatuan Republik Indonesia.
Sekolah-sekolah BPK PENABUR telah
berkembang ke 16 kota di 4 propinsi. Jangkauan
tersebut relatif kecil dibandingkan dengan
jumlah kota di propinsi Indonesia.
Di samping perkembangan secara kuantatif
masih perlu ditingkatkan, kualitas dan relevansi
pendidikan di sekolah-sekolah BPK PENABUR
perlu ditingkatkan untuk memenuhi tuntutan
peserta didik, orang tua, dan masyarakat luas.
Oleh karena itu sejak 2001 BPK PENABUR
melakukan deregulasi untuk menghadapi
persaingan yang semakin ketat sehubungan
dengan bertambahnya sekolah-sekolah lain
yang juga mengutamakan peningkatan mutu
pelayanan pendidikan serta mutu hasil
pendidikan. Dewasa ini peserta didik dan
orangtua, serta masyarakat menuntut tidak
hanya sebatas Academic Excellence School namun
muncul dua orientasi baru yakni Learning
Excellence School dan Well Rounded Education
Excellence School.
Dalam hubungannya dengan isi dan mutu
pendidikan, kini terdapat tujuh alternatif
kurikulum yaitu Kurikulum Nasional KTSP,
Kurikulum Cambridge dari Inggris, Kurikulum
Cambridge dari Singapura, Kurikulum
International Baccaleureute dari Swiss serta
Kurikulum dari Australia VCE/HSC/TE.
Kurikulum Internasional ini tidak bisa dianggap
sepele karena saat ini lulusan SMA kelas tiga
dapat masuk/diterima langsung di 14
Universitas ternama di Jakarta, Bandung, Yogja,
Surabaya bila menggunakan salah satu dari
40 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Waralaba TKK BPK PENABUR
tujuh Kurikulum Internasional di atas. Ini
konsekuensi logis dari Globalisasi Pendidikan .
Industri jasa pendidikan sedang
menghadapi masa transisi besar saat ASEAN
mengintegrasikan diri menjadi pasar tunggal
seperti Uni Eropa (50 tahun lalu). Ini berarti siswa
yang saat ini duduk di kelas 3 SMP dan lulus S1
di Indonesia ditahun 2015 dapat lebih mudah
diterima bekerja di sembilan negara ASEAN
lain. Ini berarti kurikulum Indonesia harus
diakui minimal di ASEAN padahal saat ini baru
Indonesia sendiri yang mengakui Kurikulum
Nasional KTSP.
Sejak 2001, semakin banyak perorangan,
pecinta pendidikan bermutu, pengusaha yang
berhati sosial maupun berjiwa enterprenur
membuka dan berinvestasi dibidang Jasa
Pendidikan (sekolah) terutama tingkat Kelompok
Bermain dan Taman Kanak Kanak (TKK) di
Jakarta
Persentase di atas menunjukan tingkat
perkembangan yang tetap fenomenal, sekalipun
Jabodetabek sudah lama dikenal memiliki
jaringan dan jumlah sekolah negeri dan swasta
yang memadai dan lengkap untuk melayani
Program Wajar Dikdas Sembilan tahun. Tidak
heran apabila sejak 2005 Yayasan BPK
PENABUR menghadapi tingkat penurunan
dalam jumlah siswa Baru di TKK A dan B
bahkan sejumlah TKK A dan B mengalami posisi
keuangan yang semakin merosot dan rugi.
Persoalan ini diprediksi dari tahun ke tahun
akan semakin membesar dan menjadi serius bila
tidak dicarikan solusinya segera.
Investor yang masuk ke bidang pendidikan
tidak lagi investor gurem atau kelas teri. Mereka
Tingkat Pertumbuhan Sekolah
Enam Tahun Terakhir di Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi
(Jabodetabek)
Jenjang Sekolah % 2006 vs 2000
TK 38%
SD 17%
SMP 14%
SMA 12%
Sumber: PGI Cabang Jakarta dan
Force One Consultant
adalah pengusaha profesional, bertangan
dingin dengan modal kuat. MIsalnya Group
Ciputra, Lippo, Garudafood, Sahid, Kompas
Gramedia, Kalbe Farma, HM Sampoerna dan
Bakrie yang tidak bisa dianggap remeh oleh BPK
PENABUR untuk Learning Excellence dan Well
Rounded Education Excellence Schools di segment
Sekolah Internasional/National Plus. Konon
Sampoerna Foundation dalam sebuah artikel di
Kompas Minggu menyatakan bahwa mereka kini
memiliki 16 unit pendidikan sedang Group
Ciputra sudah mengoperasikan 13 unit sekolah.
Perumusan Masalah Pokok
Enam lanskap latar belakang di atas menempa
BPK PENABUR dalam mengantisipasi
tantangan masa depan. Terdapat tiga masalah
pokok :
1. Bagaimana mengasah daya saing dan
mengubah Paradigma Sekolah BPK
PENABUR mencakup empat bidang inti:
a. kurikulum yang bermutu,
b. proses pembelajaran yang hebat ,
c. kompetensi guru yang handal, dan
d. sekolah beragama,
Penguasaan empat faktor di atas tidak
otomatis menggiring siswa baru masuk BPK
PENABUR, karena sudah dianggap
sebagai prasyarat dasar atau sesuatu yang
given/normatif. Ada empat faktor strategik
lain yang harus dipelajari dan dikuasai agar
menjadi Competitive Edge BPK PENABUR di
masa mendatang.
2. Bagaimana menghentikan gejala
penurunan penerimaan siswa baru (PSB)
khususnya tingkat TKK A dan B sehingga
tidak menjadi beban bagi BPK PENABUR.
Sebanyak 40% TKK BPK PENABUR sudah
menunjukkan kemerosotan PSB sejak 2004
akibat banyak TKK Mandiri/Waralaba
lokal maupun internasional bermunculan
(lihat tabel di atas). Penurunan PSB harus
dicegah agar tidak membuat posisi
keuangan jenjang TKK menjadi defisit.
Jenjang TKK merupakan jenjang terendah/
awal sehingga semua penyempurnaan
harus bermula dari tingkat paling bawah
(TKK) agar jenjang di atasnya (SD, > SMP,
dan > SMA) akan semakin bertumbuh.
3. Bagaimana mencegah agar penurunan PSB
di tingkat TKK A dan B tidak meluas dan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 41
Waralaba TKK BPK PENABUR
mempengaruhi secara negatif PSB SD Kelas
1. Apabila 67% daya tampung SD Kelas 1
BPK PENABUR secara tradisional dari
tahun ke tahun mengandalkan Students
Intake dari TKK B BPK PENABUR. Gejala
kemerosotan murid baru sudah mulai
terdeksi di sejumlah SDK BPK PENABUR
saat ini.
Solusi Strategik Mengatasi Tiga
Masalah Pokok di atas – Waralaba
1. Dalam mengasah daya saing dan mengubah
Paradigma BPK PENABUR, manajemen
dan pengurus perlu menambah empat
kompetensi baru diluar empat prasyarat
dasar yang memang sudah dipenuhi sejak
dulu (kurikulum yang bermutu, proses
pembelajaran yang hebat, kompetensi guru
yang handal dan sekolah beragama):
a. Prasarana dan fasilitas sekolah yang
selalu diremajakan, lengkap, users
friendly. Contoh konkrit diberlakukan
ketetapan (Policy) peremajaan
prasarana dan fasilitas setiap 5 tahun.
Melakukan penetapan standard atas 25
Prasarana dan 25 fasilitas unggulan
TKK. Penggunaan prasarana yang users
friendly menyangkut prosedur
keamanan dan keselamatan dan
kenyamanan siswa.
b. Mengoptimalisasi penggunaan dan
memberdayakan teknologi sebagai alat
bantu dan alat peraga pendidikan.
Membiasakan siswa memakai
teknologi/internet sebagai acuan
informasi atau sebagai nara sumber
dalam mengambil keputusan
melengkapi teori, konsep dan kerangka
berpikir dari kurikulum yang diajarkan.
Penggunaan LCD Projector, CPU/
Laptop, akses high speed broadband
internet, LAN dan WAN, touch screen
smartboard, e.learning, users interactive
website dan digitalisasi sekolah menjadi
fasilitas standar di semua kompleks
dan unit sekolah.
c. Positioning dan orientasi sekolah yang
diperluas agar jelas, tegas dan
konsisten aplikasinya. BPK PENABUR
tidak saja menjadi Academic Excellence
School tapi juga Learning Excellence
School yang secara khusus melayani
golongan demografis elite yang
umumnya kedua orang tua siswa
berpendidikan tinggi dan bekerja.
Positioning BPK PENABUR juga
mencakup Well Rounded Education
Excellence School yang secara khusus
melayani golongan psikografis
“manusia sejati dan seutuhnya”.
Dengan demikian kelas regular dan
akselerasi berada di bawah payung
Academic Excellence School, Kelas
Internasional dan Brilliant diarahkan
untuk Learning Excellence School dan
Kelas Bilingual masuk bagian Well
Rounded Education Excellence School.
d. Melakukan mass customization ke 10
pemangku kepentingan. hal ini berarti
proses dan sistem pengelolaan dan
kepuasan pemegang kepentingan
internal (siswa, guru, karyawan,
manajemen, pengurus) dan pemegang
kepentingan external (orang tua siswa,
alumni, lembaga spesialis pengayaan
pendidikan, Depdiknas, perlu
dijenjangkan, dispesifikasi dan
didefinisikan lebih terinci dan praktis.
Budaya layanan pelanggan (customer
service culture) dijadikan sebagai etos
kerja baru.
Waralaba dapat menjawab empat
kebutuhan prasyarat dan empat
kompetensi tambahan/baru agar lebih
menggiring dan memastikan orang tua
siswa dan siswa memilih BPK
PENABUR.
2. Menghentikan gejala penurunan PSB
khususnya jenjang TKK. Hal ini secara
efektif dan ampuh dapat diatasi dengan
memperkenalkan Waralaba BPK PENABUR
jenjang Kelompok Bermain dan TKK pada
tahap awal. Sekolah Waralaba akan
mengkombinasikan keahlian dan
pengalaman memiliki dan mengelola
sekolah BPK PENABUR (Franchisor) dengan
kemahiran enterpreneurship investor
(Franchisee)
3. Mencegah agar gejala penurunan PSB
TKK tidak meluas dan berdampak negatif
ke PSB SD Kelas 1 dapat juga dilakukan
dengan melaksanakan Waralaba BPK
PENABUR. Caranya Sekolah KB dan TKK
Waralaba akan menjadi Sekolah
Pengumpan (Feeder School) bagi SDK BPK
PENABUR. Sebaliknya SDK BPK
PENABUR akan menjadi Sekolah
Pengumpul (Hub School).
42 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Waralaba TKK BPK PENABUR
Menghitung Besarnya Pasar
Sekolah KB dan TKK Waralaba
Menurut data riset yang dilakukan Force One
Consultant, 87% orang tua siswa KB dan TKK
menghendaki waktu tempuh dari rumah/tempat
tinggal ke sekolah hanya paling lama 15 menit
(1 arah) atau 30 menit (pulang- pergi) atau hanya
seluas 8 km radius. Ini berarti pasar waralaba
KB dan TKK sangat kompak, dan terukur dengan
tapal batas wilayah yang jelas (captive market).
Perhitungan Pasar Sekolah KB dan TKK
dapat dilakukan dalam dua rumusan. Versi
pertama merupakan pendekatan top down macro
berawal dari kompleks hunian dan komposisi
aktual penduduk kemudian dikaitkan dalam
konteks target pasar yang dibidik. Versi kedua
merupakan pendekatan bottom up micro yang
merupakan perhitungan kemampuan serap/
daya tampung SDK Kelas 1 BPK PENABUR serta
proyeksi student intake dari TKK Beragama vs
TKK Multi Agama.
a. Kawasan Bintaro, Cipinang, Puri Indah,
Kemayoran, Margonda Raya, Muara Karang
Jakarta bisa dihitung dengan menggunakan
metode yang serupa.
b. Setiap kawasan dihuni 3,900 - 5,800
penduduk Jadetabek dengan umur 3 – 6
tahun. Berarti nilai tengah 4,900 penduduk/
areal hunian dari golongan atas – Menengah
– bawah (semua golongan ) – 5,0% dari
jumlah penduduk semua golongan semua
umur.
c. Dari 4,900 potensi pasar (Nilai Tengah)
diprakiran hanya 28% Target Pasar yang
Versi 1 - Pendekatan Top Down Macro
Contoh Kawasan Hunian Bumi SerpongDamai
dan Kelapa Gading (BSD dan KG) Jakarta
Kawasan
Hunian dalam
8 Km Radius
Jumlah
Kelurahan
Total
Penduduk/
Kawasan
(100 %)
Penduduk 3= 6
thn (% dari
Total
Penduduk)
BSD (Kawasan
Hunian
Kurang Padat)
3 76,000 3,900 - 5,1%
Kelapa Gading
(Kawasan
Hunian Padat)
3 118,000 5,800 - 4,9%
layak dibidik oleh Pasar TKK Waralaba yakni
sebesar 1,400 penduduk Golongan Atas dan
Menengah berumur 3-6 tahun. Ini cukup untuk
mengakomodasi 17 Sekolah TKK Multi
Agama dalam radius delapan km. Asumsi
setiap 1 Sekolah TKK memiliki tiga jenjang
(KB , TKK A dan TKK B) x 1,5 kelas pararel/
jenjang x 18 siswa/kelas = rata rata 81
siswa/sekolah)
d. Dilain pihak TKK yang dimiliki dan dikelola
sendiri oleh BPK PENABUR hanya bisa
membidik 17% dari target pasar golongan atas
– menengah yakni sebesar 800 penduduk saja.
Cukup untuk mengakomodasi 10 TKK
Beragama Kristen.
e. Terdapat perbedaan besar antara market size
TKK BPK PENABUR dengan TKK
Waralaba BPK PENABUR.
Versi 2 – Pendekatan Bottom Up Mikro
Asumsi 1 :
SD Kelas 1 SDK BPK PENABUR memiliki empat
pararel kelas
dengan daya
tampung 38 orang
murid per kelas
sehingga terdapat
152 orang murid
SD Kelas 1 (empat
pararel kelas x 38
orang siswa per
kelas).
Asumsi 2
Bila SDK BPK PENABUR
mengandalkan
67% dari
daya tampung
diambil dari TKK
B BPK PENABUR.
(33% sisa Siswa
TKK B BPK PENABUR mendaftar ke SD Non
BPK PENABUR/diluar BPK PENABUR). Berarti
terdapat 50 daya tampung terbuka untuk lulusan
TKK B Non BPK PENABUR (152 x 33%).
Asumsi 3
Bila 16% dari lulusan Sekolah TKK B Non BPK
PENABUR masing masing memiliki 1,5 pararel
kelas dengan jumlah murid aktual rata rata 20
siswa TKK B per kelas berniat masuk ke SD Kelas
1 BPK PENABUR, maka ada 5 siswa TKK B per
sekolah Non Penabur (16% lulusan mendaftar ke
BPK PENABUR x 1,5 pararel kelas/TKK B x 20
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 43
Waralaba TKK BPK PENABUR
siswa = 5 siswa TKK B/Sekolah TKK Non BPK
PENABUR).
Dengan demikian, satu SDK BPK
PENABUR dapat menyerap 10 TKK Beragama
(di luar TKK BPK PENABUR) karena 152 daya
tampung sekolah x 33% = 50 jatah terbuka untuk
siswa lulusan TKK B Non BPK PENABUR/5
lulusan per satu Sekolah TKK B = 10 Sekolah
TKK B Beragama.
Kesimpulan (Versi 1 dan 2)
Dibutuhkan 10-17 sekolah pengumpan (Feeder
School) TKK B Beragama dan multi agama untuk
setiap satu sekolah pengumpul (Hub School) SD
Kelas 1 BPK PENABUR.
Pendekatan versi satu macro top bottom
dengan versi 2 micro bottom up adalah konsisten
dan sepadan berdasarkan perhitungan potensi
dan asumsi pasar. Market Size Waralaba TKK
BPK PENABUR 70% lebih besar (17) daripada
target sekolah TKK BPK PENABUR (10).
Sejarah dan Evolusi Waralaba
di Eropa dan Amerika
Dalam sebuah publikasi di Franchise Update
Magazine oleh Michael H. Seid, Founder and
Managing Director, Michael H. Seid dan
Associates - MSA sebuah Perusahaan Konsultan
Franchise terkemuka di USA menyatakan :
Albert Singer, penemu dan pencipta mesin jahit
Singer diakui oleh Federal Trade Commission
Amerika sebagai “the originator of modern
franchising in the United States” 82 tahun lalu.
Penggunaan Waralaba secara sederhana bisa
ditelusuri sejak 300 tahun Sebelum Masehi.
Waralaba dipakai sebagai metode awal
pengembangan misi kesaksian dan pendirian
gereja dan pengembangan pusat kekuasaan
Pemerintah Roma dan Inggris untuk menjawab
tantangan wilayah kekuasaan kerajaan Roma
dan Inggris Persemakmuran yang besar, serta
kurang dan sulitnya mendapat alat transportasi
yang cepat dan teknologi komunikasi yang masih
primitif.
Waralaba mampu melesat berkembang
karena wilayah daratan Amerika yang begitu
luas (3x lebih luas dari daratan Eropa) dan
memerlukan format bisnis yang mampu
memadukan kejelian lokal dan kepiawaian
entreprenurship nasional. Mobilitas penduduk
(konsumen) Amerika dengan perkembangan
teknologi transportasi kereta api dan mobil Ford
di tahun 1860 mendorong konsep usaha
waralaba semakin diterima investor. Tahun 1898
General Motor memberikan “waralaba auto
dealership” pertama ke William E. Metzger -
Detroit. Waralaba kini digunakan secara ampuh
untuk mengembangkan konsep bisnis menjadi
jaringan dan konfigurasi distribusi secara
ekstensif nasional
Setelah Perang Dunia Pertama, bisnis
waralaba berkembang pesat luar biasa. Tahun
1924 waralaba restauran A dan W dipasarkan.
Salah satu Franchisee terbesar A dan W bernama
J.W.T Marriott dan partner usahanya Hugh
Colton kemudian mengembangkan dan
menciptakan usaha waralaba baru bidang
perhotelan pertama di USA bernama JWT Mariott
(Franchisee menjadi Franchisor di bidang usaha
lain) 12 tahun kemudian. Waralaba Kentucky
Fried Chicken dipasarkan tahun 1930; Dairy
Queen, diluncurkan 1940; Dunkin Donuts,
ditawarkan 1950; waralaba Burger King,
dikembangkan 1954; McDonald’s, menyusul
tahun 1955.
Setelah perang dunia kedua tahun 1945,
Kongres Amerika menetapkan GI Bill yang
memberi modal usaha bagi dua juta veteran
perang dunia II Amerika untuk bekerja atau
berusaha sebagai imbalan jasa mereka selama
perang dunia II. Dalam periode 15 tahun (1945 –
1960) waralaba melejit pesat dan menjadi tulang
punggung perdagangan Amerika sehingga
banyak problem baru muncul. Penulis
mengklasifikasi menjadi enam kategori utama
masalah franchise.
1. Banyak Franchisor melakukan misrepresentasi
atau
2. Franchisor memberikan informasi yang
berlebihan/menyesatkan atau
3. Franchisor lebih fokus pada penjualan
Franchise daripada membantu Franchise
mengembangkan usaha mereka atau
4. Layanan purna jual waralaba yang rendah
atau
5. Konsep bisnis yang tidak dan belum layak
diwaralabakan atau
6. Inovasi dan pengembangan produk, jasa
dan sistem operasi tidak memadai.
Untuk mengatasi 6 problem utama di atas
akibat boom waralaba, pada tahun 1964 Kongres
Amerika menetapkan Trademark Act of 1946 yang
lebih dikenal sebagai The Lanham Act untuk
melindungi merek dan jasa usaha perdagangan
yang sah. Musim panas tahun 1979 Pemerintah
44 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Waralaba TKK BPK PENABUR
Federal Amerika untuk pertama kali menyusun
serangkaian perundangan dan peraturan yang
dikelola oleh Federal Trade Commission yang
menetapkan syarat minimum pemberian
informasi yang benar dan menyeluruh untuk
sebuah usaha waralaba yang bernama UFOC
(Uniformed Franchise Offer Circular) yang secara
berkala diperketat dan disempurnakan.
Sejarah dan Evolusi Waralaba
di Indonesia
Waralaba modern pertama yang beroperasi di
Indonesia adalah Coca-Cola. Jaringan pabrik
dan distribusi pertama dibangun di Jalan
Cempaka Putih Jakarta pada tahun 1958 setelah
Coca-Cola diimpor dan dijual di Indonesia sejak
tahun 1932. KFC adalah waralaba modern besar
pertama di bidang restauran/foodservice yang
diberikan ke Bapak Dick Gelael sejak tahun 1977.
Waralaba KFC dipakai untuk melengkapi konsep
One Stop Shopping Center dimana ada Gelael
Supermarket disitu pula akan ada KFC dan
Waralaba Ice Cream Swenssen dan Burger King
(bersinergi dan bekerjasama dengan penerima
waralaba lainnya) karena pada saat itu belum
ada Shopping Mall/Center besar dan terpadu
seperti saat ini. Dick Gelael diakui juga sebagai
perintis supermarket modern pertama di
Indonesia dan mewujudkan waralaba sebagai
Distribution Point dan Chained Outlets yang
ekstensif.
Sejak tahun 1980 secara perlahan namun
pasti waralaba dari Amerika berkembang 3-5%
per tahun dan terbatas untuk investor yang
memiliki dana besar. Pada masa devaluasi tahun
1986 dan krisis moneter tahun 1997 waralaba
luar negeri mengalami kemerosotan/penutupan
sebanyak 20-30% karena biaya monthly royalty
fee dalam dollar Amerika membengkak sehingga
membebankan usaha waralaba tersebut. Tahun
1997 untuk pertama kali Pemerintah RI melalui
Menteri Perindustrian dan Perdagangan mulai
menata dan mengatur usaha waralaba dengan
menerbitkan SK No.259/ MPP/7/1997
tertanggal 30 Juli 1997.
Belajar dari sejarah - waralaba
1. Waralaba yang sukses adalah waralaba
yang mensinergikan kepiawaian Franchisor
dan kehebatan Franchisee.
2. Ada empat hal konstan yang memicu
pertumbuhan Waralaba yaitu:
2.1 Keinginan untuk berkembang/
memperluas jaringan usaha
2.2 Perkembangan modal yang kurang
2.3 Mengatasi masalah jarak/jangkauan
wilayah
2.4 Tingkat pertumbuhan pesat/tinggi yang
diinginkan pemilik waralaba.
Empat hal konstan sudah merupakan
hal yang biasa terdapat di Indonesia
sehingga pasar Indonesia sangat
kondusif bagi peluncuran dan
pengembangan waralaba.
3. Setelah booming waralaba selama 5-15 tahun
(seperti yang saat ini Indonesia alami), pasti
akan terjadi ekses negatif karena para
pemanfaat dan pencari peluang usaha yang
kurang etis dan tidak bertanggung jawab
akan menawarkan aneka ragam usaha
mereka dalam kedok waralaba dan Lisensi
padahal sesungguhnya berupa Business
Opportunities.
4. Oleh karena itu Undang Undang dan
Peraturan Pemerintah tentang waralaba
dibutuhkan untuk membedakan dengan
jelas antara hak dan kewajiban pelaku,
pemilik dan pengelola Franchise vs License vs
Business Opportunities.
Tahun
Pencatatan
Waralaba
Dalam Negeri
Waralaba
Luar Negeri
Total
Waralaba % Peningkatan
Juni 2007 178 234 412 16,4%
Juni 2006 141 213 354 24,6%
Juni 2005 123 161 284 12,8%
Sumber : AFI, IFBM, WALI, Force One Consultant
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 45
Waralaba TKK BPK PENABUR
Definisi dan Penjabaran Arti Waralaba
Waralaba (Franchise) adalah perikatan di mana
salah satu pihak diberikan hak untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas
kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri
khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan
suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang
ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka
penyediaan dan atau penjualan barang dan atau
jasa.
(Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
RI: Nomor: 259/MPP/Kep/7/1997, Tanggal 30 Juli
1997. Bab 1, Pasal 1, Ayat 1).
1. Pemberi Waralaba (Franchisor) adalah badan
usaha atau perorangan yang memberikan
hak kepada pihak lain untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak
atas kekayaan intelektual atau penemuan
atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi
Waralaba.
2. Penerima Waralaba (Franchisee) adalah
badan usaha atau perorangan yang
diberikan hak untuk memanfaatkan dan
atau menggunakan hak atas kekayaan
intelektual atau penemuan atau ciri khas
usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba.
3. Penerima Waralaba Utama (Master
Franchisee) adalah Penerima Waralaba yang
melaksanakan hak membuat Perjanjian
Waralaba Lanjutan yang diperoleh dari
Pemberi Waralaba.
4. Penerima Waralaba Lanjutan (Subsequent
Franchisee) adalah badan usaha atau
perorangan yang menerima hak untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak
atas kekayaan intelektual atau penemuan
atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi
Waralaba melalui Penerima Waralaba
Utama.
5. Perjanjian Waralaba (Franchise Agreement)
adalah perjanjian secara tertulis antara
Pemberi Waralaba dengan Penerima
Waralaba.
6. Perjanjian Waralaba Lanjutan (Subsequent
Franchise Agreement) adalah perjanjian
secara tertulis antara Penerima Waralaba
Utama dengan Penerima Waralaba
Lanjutan.
(Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan RI: Nomor: 259/MPP/Kep/7/
1997, Tanggal 30 Juli 1997. Bab 1, Pasal 1,
Ayat 2-7).
Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) atau Penemuan atau Ciri
Khas Usaha Waralaba
BPK PENABUR
Ketika Depdiknas “membebaskan secara
terbatas” pelaku sekolah untuk menggarap dan
merancang kurikulum sendiri, maka peran
HAKI akan semakin menjadi kritis dan penting.
Dalam usaha waralaba BPK PENABUR,
setidaknya terdapat 12 HAKI atau penemuan
atau ciri khas yang bisa dipakai oleh penerima
warabala atas imbalan pembayaran 1x Initial
Franchise Fee, atau 1x Education Material Access
Fee atau Monthly Royalty Fee yakni :
1. Merek dan reputasi BPK PENABUR
2. Desain dan Isi Kurikulum Pendidikan
3. Penyusunan dan Penerbitan Buku Referensi
Kurikulum
4. Metode dan Pola Pengajaran
5. Proses Transformasi Terpadu Penguasaan
Teori ke Pengetahuan ke Keterampilan
6. Alat Bantu dan Peraga Pendidikan
7. Pemanfaatan dan Pemaduan Teknologi
Pendidikan
8. Sistem Evaluasi, Pelatihan dan
Pengembangan Kompetensi Guru
9. Sistem Manajemen Kelas
10. Sistem Manajemen Evaluasiasi Hasil
Pendidikan
11. Sistem Manajemen Penerimaan Siswa Baru
12. Sistem Manajemen Fungsional Terpadu
Lembaga Sekolah
Besar kecil nilai Initial Franchise Fee
ditentukan atas tiga faktor Kunci Sukses dari
keduabelas HAKI atau penemuan atau ciri khas
sebagai berikut.
1. Seberapa terinci dan aplikatif keduabelas
HAKI di atas dijabarkan dan dibakukan?
2. Seberapa inovatif dan kreatif keduabelas
HAKI di atas dibanding HAKI serupa dari
pesaing?
3. Seberapa jauh dan sinergis keduabelas
HAKI dipadukan untuk mencipta nilai
tambah baru
Penulis yakin dengan pengalaman
segudang memiliki dan mengelola banyak
sekolah BPK PENABUR mampu menyusun,
membakukan dan mendokumentasikan dengan
mudah dalam menjual HAKI yang memenuhi
46 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Waralaba TKK BPK PENABUR
tiga faktor kunci sukses di atas kepada mereka
yang membutuhkan dalam format waralaba.
Analisis Threat Opportunities
Weakness Strength (TOWS)
Ancaman Bila BPK PENABUR
Tidak Melakukan Waralaba
1. Daya tampung kelas tersisa di tingkat KB,
TKK A, TKK B pasti meningkat di atas 20%
dari kapasitas siswa yang tersedia (tingkat
yang mulai menjadi inefisien ).
2. Daya tampung kelas tersisa yang >20%
berakibat pada potensi kehilangan
pendapatan SSP dan SPP sebesar Rp 8
Milyar/tahun (sebuah nilai potensi
kehilangan pendapatan yang amat besar
dalam 1 tahun anggaran).
3. Daya tampung kelas tersisa >20% di Tingkat
KB, TKK A, TKK B bila dibiarkan terus
menerus selama lebih dari tiga tahun akan
berakibat pada daya tampung kelas tersisa
tingkat SD Kelas 1 akan meningkat drastis.
4. BPK PENABUR tidak melakukan
diversifikasi alternatif sumber pemasukan
di luar SSP dan SPP, sehingga tekanan
untuk kenaikkan SSP dan SPP menjadi
tinggi dan beban orang tua siswa menjadi
lebih berat. Ini berakibat BPK PENABUR
bisa kehilangan pangsa pasar 10%-15% per
tahun karena meng “out price” dirinya
sendiri.
5. Guru, Kepala Sekolah serta Yayasan Bidang
Pendidikan bisa menjadi “complacent” alias
terkena virus kemapanan (cepat puas diri
dan mudah terlena) dan cenderung menjadi
tertutup pada penyempurnaan dari pihak
luar karena tidak ada tolok ukur
pembanding dan tidak ada alternatif
pembanding.
Kesempatan bila BPK PENABUR
Melakukan Waralaba
1. Lebih lincah, luwes dan cekatan memeriksa
diri, menyempurnakan diri serta mengatur
diri menjadi lebih baik karena memiliki
sistem pengelolaan alternatif kedua di luar
yang saat ini dimilki dan dikelola sendiri
2. Mendapat tambahan pemasukan diluar SSP
dan SPP dalam bentuk Intial Franchise Fee
yang 1x dibayar kepada BPK PENABUR
untuk setiap 10 tahun dan Monthly Royalty
Fee yang dibayar setiap bulan berdasarkan
persentase tertentu dari jumlah SPP (uang
Sekolah). Berdasarkan perhitungan
pendapatan dari 10 Penerima Waralaba, BPK
PENABUR berpotensi mendapat di atas Rp
3 Milyar/tahun.
3. Memicu kepala sekolah, guru dan karyawan
BPK PENABUR untuk merancang,
menyusun kurikulum yang lebih efektif atau
menulis sejumlah buku referensi/acuan
atau menulis sejumlah tata cara dan metode
baru mengajar dengan bantuan alat peraga
pengajaran serta teknologi pendidikan baru.
Karya profesional dan ilmiah akan dijual
dalam satu paket/modul waralaba.
Penerimaan dari sejumlah penerbitan buku/
sistem/manual berupa pemasukan Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) menjadi
andalan alternatif ketiga penerimaan di luar
Initial Franchise Fee dan Monthly Royalty Fee.
4. Sesuai amanat dan harapan Sinode GKI SW
Jabar untuk merealisasi Pelayanan
Pendidikan dan memberikan Kesempatan
Pendidikan Bermutu berlandaskan Nilainilai
Kristiani (N2K) yang lebih luas dan
merata melebihi empat propinsi dan 16 kota
tempat BPK PENABUR sekarang berada.
Bila diwaralabakan maka investasi tanah,
gedung, peralatan terutama bisa dibagi
dengan pihak ketiga sehingga menjadi lebih
ringan.
5. KB danTKK waralaba bisa menjadi sekolah
mandiri (untuk daerah di luar 16 kota)
maupun Sekolah Pengumpan (Feeder School)
bagi SD Kelas 1 yang dimiliki dan dikelola
BPK PENABUR sendiri, sehingga jumlah
PSB Kelas 1 SD dapat ditingkatkan minimal
16,5% per tahun di semua Sekolah Dasar
dengan asumsi di setiap kompleks sekolah,
luas tanah dan fisik bangunan sekolah
masih dimungkinkan diperluas atau
ditambah lantai gedungnya.
Kelemahan Bila BPK PENABUR
Melakukan Waralaba
1. Waralaba dapat memberikan persepsi
bahwa BPK PENABUR menjadi sebuah
sekolah komersial. Apabila ini terjadi,
pendekatan hubungan masyarakat dan
komunitas harus diintensifkan. Pertama
harus diluruskan persepsi keliru bahwa
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 47
Waralaba TKK BPK PENABUR
sekolah beragama harus memberikan SSP
dan SPP yang murah, ekonomis dan
terjangkau ke seluruh lapisan masyarakat
sehingga cenderung menjadi sekolah yang
merugi. Bilamana ingin tetap bertahan
hidup dan berkembang, sekolah BPK
PENABUR harus menjadi sekolah mandiri
secara finansial yang berarti harus surplus
untuk mendanai semua kegiatan
operasional dan investasi pengembangan/
perluasan sekolah. Kedua BPK PENABUR
tidak bisa dan tidak mampu melayani
semua lapisan masyarakat disemua bidang.
Segmentasi, targeting dan positioning sekolah
yang lebih terarah, terfokus dan
terkonsentrasi perlu dilakukan. Proses
pemilahan, pemilihan dan seleksi alami
harus terjadi. Walau BPK PENABUR
membidik siswa dari kelas menengah atas,
sekian persen daya tampung kelas
diberikan khusus untuk siswa berprestasi
yang tidak mampu. Sebagai yayasan dijamin
bahwa tidak sepeser surplus rupiahpun
dinikmati dan diterima oleh pemangku
kepentingan karena semua surplus wajib
ditanam atau dibelanjakan kembali untuk
peremajaan, penambahan dan perluasan
sekolah dan segenap isi serta
organisasinya.
2. Waralaba berpotensi menurunkan mutu
pendidikan BPK PENABUR. Untuk
mengatasinya disediakan lima cheek-recheck
built-in system untuk memantau
peningkatan atau penurunan mutu
pendidikan. Cheek recheck system 1 adalah
ditahun pertama beroperasi penerima
waralaba terutama sekolah baru (new start
up) diwajibkan mempekerjakan kepala
sekolah dan seluruh/sebagian guru s
ekolah dari karyawan veteran BPK
PENABUR. Cheek recheck system ke 2, semua
karyawan yang dipekerjakan oleh Penerima
Waralaba akan melalui serangkaian proses
seleksi dan wawancara yang ketat di
samping wajib dilakukan tes teori dan micro
teaching serta uji profesi yang dilakukan oleh
sebuah team panel. BPK PENABUR berhak
menolak melatih karyawan yang tidak
lulus seleksi dan screening. Cheek recheck
system ke 3, semua karyawan Franchise akan
dilatih dan melakukan On the job training di
KB dan TKK terbaik milik BPK PENABUR
sendiri antara 2-6 bulan tergantung situasi
kondisi di tahun perdana operasi. Cheek
recheck system ke 4 mewajibkan semua
penerima waralaba tanpa kecuali
memberikan laporan mingguan dan
bulanan secara tertulis, videotape, videocam
dan photo digital kepada pemberi waralaba
mencakup aspek pendidikan, SDM,
penerimaan siswa, administrasi keuangan
dan masalah operasi lainnya. Cheek recheck
system ke 5 mewajibkan pemberi waralaba
melakukan proses audit menyeluruh
terpadu yang akan dijalankan secara
periodik 6-12 bulan 1x, inspeksi mendadak
3-6 bulan 1x serta melakukan Mysterious
shopper/orang tua siswa 3-6 bulan 1x.
3. Dikhawatirkan KB dan TKK Waralaba akan
menjadi pesaing langsung dan menekan
PSB KB dan TKK milik BPK PENABUR
sendiri. Sejak tahun 2003 sudah terlihat
gejala kemerosotan PSB KB dan TKK milik
BPK PENABUR. Ini membuktikan bahwa
waralaba bukan menjadi penyebab utama.
Penulis menganggap akar penyebab
kemerosotan terjadi akibat faktor eksternal
dengan pola pikir dan kecenderungan
mayoritas orang tua siswa yang memiliki
anak di bawah umur enam tahun akan
menyekolahkan anak mereka dalam waktu
tempuh maksimum 15 menit dari rumah
atau maksimum 8 km radius. Dengan
demikian, tentunya luas pasar KB dan TKK
menjadi lebih kecil akibat kemacetan dan
kepadatan lalu lintas serta tingkat
keamanan yang semakin tidak kondusif
dibandingkan 10-15 tahun lalu.
4. Waralaba bisa membahayakan integritas,
reputasi kredibilitas serta citra positif merek
BPK PENABUR. Kekhawatiran di atas
mungkin saja terjadi namun kita harus lebih
percaya diri. Semua pihak mengakui bahwa
integritas, reputasi, kredibilitas serta citra
positif BPK PENABUR sangat kokoh, tinggi
dan dikagumi banyak pihak. Mengapa
kekuatan citra atas merek ini tidak di spin
off ke bidang pendidikan yang lebih luas
yang masih menjadi kompetensi intinya?.
Kenapa harus disimpan dan dikelola
sendiri?. Mengapa reputasi bagus BPK
PENABUR tidak dipakai untuk menolong
banyak sekolah di luar Jawa, di luar
keempat propinsi tempat BPK PENABUR
berada yang sedang mengalami
kemorosotan jumlah siswa, kesulitan dan
48 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Waralaba TKK BPK PENABUR
kendala mengelola sekolah akibat kalah
bersaing dan kesulitan dana? Bukankah ini
justru salah satu dari komponen penting
dalam pelayanan pendidikan? Di samping
itu perlu diluruskan pengertian bahwa
Waralaba tidak menjual merek atau paten
BPK PENABUR. Waralaba hanya sebatas
memberi hak pakai menggunakan merek
“BPK PENABUR “ atau “PENABUR Prefered
Partner”
5. Ragu dan gamang bahwa program baru
waralaba akan berhasil dan
menguntungkan mengingat semakin
banyak KB dan TKK milik sendiri menderita
defisit anggaran. Resiko gagal diperkecil
dengan melakukan tiga pembedaan
mendasar antara KB dan TKK Waralaba vs
milik BPK PENABUR sendiri. Pembedaan
pertama adalah median umur guru
waralaba harus lima tahun lebih muda dari
guru BPK PENABUR sendiri. Median
pengalaman kerja sebagai guru harus juga
dibedakan empat tahun lebih singkat untuk
guru waralaba, sehingga berakibat pada
penghematan biaya remunerasi karyawan.
Pembedaan kedua adalah rasio biaya
terhadap pemasukan akan ditetapkan
secara baku dan dipantau ketat oleh Kepala
Sekolah Waralaba yang tidak wajib
dipantau oleh Kepala Sekolah milik sendiri.
Pembedaan ketiga adalah standard
kualitas/ratio operasi akan lebih
disepadankan dengan standar daya/
kemampuan bayar orang tua siswa dan
probabilitas kemauan bayar orang tua
siswa. Saat ini hal tersebut tidak pernah
dipadukan dengan ketiga standar di atas.
Sekalipun dua standar sudah dirumuskan
(Kualitas vs Daya Beli), tetapi kerap kali
tidak dijabarkan karena bidang pendidikan
dan keuangan kurang menyelaraskan
standar teknis kualitas dengan teknis
bidang socio economy dan purchasing parity
orang tua siswa. sering terjadi ada orang
tua siswa mampu tapi tidak mau alias
membiarkan atau menuntut sekolah
memberikan mutu pendidikan tinggi
dengan biaya yang ditekan sesuai kemauan
orang tua siswa yang biasanya 20-30%
lebih rendah dari kemampuan/daya beli
efektif orang tua siswa.
Kekuatan Bila BPK PENABUR
Melakukan Waralaba
1. Memberdayakan dan mengoptimalkan
reputasi, kredibilitas dan citra kuat BPK
PENABUR dalam penyediaan jasa
pendidikan bermutu agar menempatkan
organisasi ini sebagai kelompok sekolah
yang progresif dan menjadi acuan.
2. Mengakselerasi proses penyempurnaan diri
agar siap menghadapi proses
internasionalisasi dan nasionalisasi
pendidikan sehingga di tahun 2015 BPK
PENABUR bisa menjadi salah satu lembaga
terakreditasi tingkat ASEAN.
3. Mengikuti perkembangan pasar seperti
yang telah terjadi dengan trend bioskop dan
rumah makan menawarkan kapasitas
sekolah lebih kecil namun lebih merata
menyebar mendekatkan diri ke konsumen.
KB dan TKK tidak perlu lagi lebih dari
empat pararel kelas. Waralaba akan fokus
menggarap sekolah KB dan TKK dengan 2-
3 pararel kelas saja.
4. Memudahkan penerima waralaba BPK
PENABUR memadukan konsep usaha
pendidikan formal/KB dan TKK dipagi hari
(jam 8.00-12.00) dengan pendidikan
informal/kursus siang dan sore (jam 12.00-
17.00). Saat ini masing jarang KB dan TKK
memadukan lokasi usaha mereka dengan
kursus anak usia dini (6 bulan – 6 tahun).
Pemaduan ini akan meringankan tekanan
biaya karena uang sewa tempat yang
biasanya menyita 15-23% dari sehingga
pemasukan dapat ditekan 35-50% akibat
utilisasi tempat yang lebih tinggi .
5. Waralaba menjadi pemicu dan penggerak
BPK PENABUR mempercepat pembukaan
Teachers Training College atau Center atau
Fakultas Pendidikan di UKRIDA yang
menawarkan Sertifikasi Profesi Guru, Akta
Pendidikan, Program D3 dan S1. Ini
disebabkan apabila setiap tahun terdapat
10 waralaba baru maka dalam tiga tahun
kedepan BPK PENABUR diprakirakan
membutuhkan minimal 90 orang guru KB dan
TKK saja /tahun. Bila diasumsikan terjadi
teachers turnover sebesar 10% per tahun maka
dari Sekolah BPK PENABUR sendiri
membutuhkan pelatihan bagi 34 orang guru
baru KB dan TKK saja/tahun. Total mencapai
124 orang guru KB dan TKK saja/tahun.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 49
Waralaba TKK BPK PENABUR
Kesimpulan dan Saran
1. Gagasan mengembangkan dan memasarkan
waralaba pendidikan tingkat KB dan TKK
adalah sebuah gagasan progresif dan
konstruktif yang perlu diuji-coba
secepatnya.
2. Waralaba dibutuhkan untuk mencegah BPK
PENABUR menjadi lembaga pendidikan
besar yang lamban, cepat puas diri dan
mengidap virus kemapanan.
3. Usaha waralaba merupakan terobosan besar
dan fundamental bagi BPK PENABUR yang
berpotensi memicu pengembangan pesat
organisasi dan sumber daya. Sosialisasi
tidak cukup dan harus ditambah dengan
internalisasi agar gejolak dan resistensi
dapat ditekan sekecil mungkin dan masa
kurva belajar dipersingkat.
4. KB dan TKK Waralaba akan diprioritaskan
dan difokuskan di lokasi yang berjarak 8
km radius dari SDK Kelas 1 BPK PENABUR
yang sedang mengalami stagnasi/
kemerosotan.
5. Ada dua produk waralaba. KB dan TKK
Unggulan Nasional memakai kurikulum
nasional berbasis academic excellence school
dan KB dan TKK National Plus
mempersiapkan siswa memakai Cambridge
Curriculum berbasis learning excellence school.
6. Perlu dibentuk Perusahaan dan Manajemen
terpisah agar memenuhi persyaratan
undang undang dan ketentuan pemerintah
dan lebih efektif mengasah daya saing dari
kedua unit organisasi (waralaba vs milik
sendiri).
Daftar Pustaka
Keup, Erwin J. Franchise Bible. How to buy a
franchise or franchise your own business. EP
Enterprenur Press - 5th Edition
Louis T.Pirkey. (1994). The franchise trademarks
handbook. Devloping and protecting your
trademarks and servicemarks. American
Bar Association, Committee on Franchising
Mendelsohn, Martin. Franchising. Petunjuk praktis
bagi franchisor dan franchisee. Seri
Manajemen No. 147.LPPM - 2nd Edition
Seid, Michael H. & Assoicates. (2003). Where it
all began. The evolution of franchise.
Franchise Update Magazine 2003
---------- (2002). Economic impact of franchised
businesses. A study for The International
Franchise Association Educational
Foundation. Price Waterhouse Coopers
http/www. franchise. com. Franchises and
business opportunities
50 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Pemanfaatan Teknologi Informasi
dan Komunikasi dalam Pembelajaran
Muksin Wijaya*)
*) Kepala Bidang Pembinaan dan Program Pendidikan BPK PENABUR Bandung
Opini
eknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat dan dipergunakan diberbagai bidang
kehidupan manusia termasuk di bidang pendidikan. Teknologi informasi dan komunikasi
memiliki nilai tambah yang membuat proses pembelajaran lebih menarik, efisien dan efektif
untuk meningkatkan kompetensi peserta didik serta dapat memecahkan berbagai masalah
pendidikan. Keberhasilan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk keperluan
pembelajaran dipengaruhi oleh kemampuan guru menggunakannya, kesiapan siswa belajar dengan
bantuan teknologi itu, serta sikap masyarakat dan lingkungan terhadap teknologi tersebut. Tulisan ini
mengingatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk pembelajaran perlu didukung dengan
kemampuan guru mempersiapkan, menyajikan materi pelajaran serta mengelola pembelajaran secara
tepat.
Kata kunci: Teknologi informasi, teknologi komunikasi, kompetensi peserta didik, kualitas pembelajaran.
Information and Communication Technologies (ICT) has been developping so fast an it is applied in
all aspects of human life including in education. ITC has added values making the instructional
proceses more acttractive, efficient, and effective to improve the student’s competency. ICT can be
also employed to solve crucial problems in education. The effectiveness of ICT aplication, in instructional
proceses depends on the teachers ability to use. The students readines to learn with the assistance
of ITC and the characteristics of environment. It is noted that ICT for instructional purposes should
be supported with the teachers ability to desaign, present, and manage instructional activities properly.
Abstrak
T
Pendahuluan
Globalisasi dan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi telah mempercepat
terbentuknya dunia baru yang hampir
menyentuh semua bidang kehidupan manusia.
Terbentuknya dunia baru memberikan dampak
penting dalam kegiatan pembelajaran, yang
kehidupan saat ini sangat intensif mengakses
informasi yang bertumbuh secara eksponensial.
Lembaga pendidikan sebagai penyelenggara
pembelajaran dituntut untuk
mengakomodasikan penyampaian informasi
yang lebih luas dari guru kepada peserta didik
dengan memperhatikan kemutakhiran
informasi. Oleh sebab itu, pemahaman sekolah
sebagai institusi yang memelajarkan peserta
didik untuk belajar (learning to learn) semakin
penting.
Globalisasi yang memberikan dampak
perubahan pada pembelajaran menutut
kompetensi baru yang perlu dibekalkan kepada
peserta didik. Sebuah lembaga pekerja
internasional mendefinisikan kebutuhan
pendidikan pada masa globalisasi adalah “Basic
Education for All”, “Core Work Skills for All” dan
“Lifelong Learning for All”. (source : http://
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 51
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi
www.ilo.org/public, dikunjungi pada bulan
Maret 2007). Menurut definisi tersebut,
pendidikan sekarang diprioritaskan pada usaha
membentuk dan membekali peserta didik
dengan pendidikan dasar dalam segala hal,
keterampilan bekerja di semua bidang, dan
kemampuan belajar semua pengetahuan
seumur hidup. Alvin Toffler seorang tokoh
futuris memberikan proyeksi profil manusia
pada abad 21, yaitu bahwa manusia dituntut
bukan hanya bisa membaca dan menulis saja,
tetapi manusia dituntut untuk lebih dapat
“belajar dan mengulang belajar, serta terus
belajar”. (sumber: http://www.air-dc.org/
forum)
Keberadaan komputer dan internet pada
abad 21 diunggulkan sebagai alat potensial yang
memungkinkan reformasi dan akselerasi dalam
pembelajaran. Penggunaan teknologi informasi
dan komunikasi secara benar dan tepat
memberikan kontribusi memperluas akses
dalam meningkatkan kualitas pembelajaran
yang terdigitalisasi. Juga meningkatkan kualitas
pemelajaran dan pengajaran interaktif terkait
dengan kehidupan sekarang dan masa akan
datang.
Memperkenalkan dan mengimplementasikan
teknologi informasi dan komunikasi dalam
proses pembelajaran membutuhkan waktu,
karena tidak hanya menyangkut
pengintegrasian teknologi informasi dan
komunikasi saja, tetapi tantangan lain. Seperti
biaya, kurikulum dan pedagogikal,
instruksional, kompetensi guru. Meskipun
tantangan ada tapi penggunaan teknologi
informasi merupakan suatu tuntutan
pembelajaran yang tidak bisa diabaikan.
Tulisan ini disusun secara komprehensif
dalam dua bagian utama. Bagian pertama
memberikan alternatif kepada pengambil
kebijakan dan keputusan dalam merancang
kerangka pikir dan kerangka kerja (framework),
pengintegrasian teknologi informasi dan
komunikasi dalam pembelajaran agar
disesuaikan dengan sumber daya yang ada.
Bagian kedua, memunculkan empat isu
penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi dalam pembelajaran yaitu tentang
efektifitas, biaya, ekuitas, dan faktor-faktor
penopang.
Manfaat yang Diperoleh dari
Teknologi Informasi dan
Komunikasi
Teknologi informasi dan komunikasi dalam
pembelajaran dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan aksesibilitas serta
mengembangkan relevansi dan kualitas
pembelajaran. Manfaat tersebut sebagai berikut.
(The World Development Report 1998/99, New
Direction of ICT-Use in Education)
1. Memberi kemudahan dalam akuisisi dan
penyerapan ilmu pengetahuan secara tidak
terbatas. Artinya teknologi informasi dan
komunikasi memberikan peluang
pemanfaatannya agar perekaman dan
pemerosesan ilmu pengetahuan tidak
terlimitasi.
2. Memberikan peluang untuk memperkuat
sistem pendidikan. Artinya teknologi
informasi dan komunikasi memperkuat
terbentuknya seperangkat unsur pendidikan
secara teratur saling berkaitan sehingga
terjadi totalitas pendidikan yang utuh.
3. Meningkatkan kebijakan atau aturan di
dalam memformulasikan dan mengeksekusi
pendidikan. Artinya teknologi informasi
dan komunikasi menawarkan sejumlah
unsur-unsur pembentuk kebijakan dan
aturan pendidikan, sehingga saat formulasi
dan eksekusi, kebijakan dan aturan
pendidikan nilai efektifitasnya tinggi.
4. Mempersempit kesenjangan dunia
pendidikan. Artinya teknologi informasi
dan komunikasi memberi kemungkinan
semakin intensifnya diseminasi pendidikan
untuk siapa saja.
5. Membuka keterisolasian ilmu pengetahuan.
Artinya teknologi informasi dan
komunikasi memberi kemungkinan semakin
terbukanya eksistensi pengetahuan.
Dari lima manfaat tersebut di atas, berikut
ini diuraikan bagaimana teknologi informasi
dan komunikasi dapat: (1). Memperluas Akses
Pendidikan, (2) Meningkatkan Kompetensi
Peserta Didik, (3). Meningkatkan Kualitas
Pembelajaran, dan (4) Meningkatkan
Transformasi Lingkungan Belajar.
52 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Memperluas Akses Pendidikan
Belajar seumur hidup (lifelong learning) yang
adalah sebuah konsep proses belajar dilakukan
sepanjang hidup manusia, tidak ada kata
terlambat atau terlalu dini bagi seseorang untuk
belajar. Filosofi dari belajar seumur hidup
berakar pada keberbedaan yang berkembang
pada masa yang dialami pemelajar. Dalam
belajar seumur hidup kemutakhiran
kemampuan dan kompetensi seorang
pembelajar berjalan selaras dengan berbagai
aspek kontekstual kehidupan yang dijalani.
Belajar didapatkan seseorang bukan hanya
melalui pendidikan formal (sekolah, perguruan
tinggi), tetapi bisa didapatkan dari pendidikan
non formal yang disebut juga dengan
pendidikan luar
sekolah (kursus,
balai latihan
kerja, lembaga
pengembangan
keterampilan).
Pendidikan luar
sekolah menekankan
pada
pengembangan
keterampilan
individu pemelajar
yang
tidak terpenuhi
dalam jalur
pendidikan formal. Karakter pendidikan luar
sekolah sebagai pengganti pendidikan formal,
karena ada faktor yang membuat seorang
pemelajar tidak dapat mengikuti jalur
pendidikan formal.
Pembelajaran seumur hidup bila dikaitkan
dengan pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi. Diselenggarakan dalam bentuk
pembelajaran jarak jauh (distance learning atau elearning),
dan pembelajaran korespondensi
(correspondence cources). Salah satu penyebab
mengapa pembelajaran seumur hidup tetap
eksis dan semakin penting ialah perkembangan
teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan
sangat yang cepat. Di Indonesia, untuk
mengantisipasi peningkatan kualitas sumber
daya manusia, selain melalui jalur pendidikan
formal juga melalui jalur pendidikan luar
sekolah (PLS).
Eksistensi teknologi informasi dan
komunikasi merupakan alat potensial
memperluas peluang pembelajaran bagi siapa
saja, baik melalui jalur formal ataupun jalur
pendidikan luar sekolah. Teknologi informasi
dan komunikasi dapat membantu memperluas
pendidikan dan pembelajaran dengan dua cara,
yaitu:
1. Ketidakterbatasan ruang dan waktu
Ketidakterbatasan ruang dan waktu,
merupakan keunggulan teknologi
informasi dan komunikasi di bidang
pendidikan. Pada konteks teknologi
informasi dan komunikasi me-mungkinkan
terjadinya proses pembelajaran asinkronus
atau pembelajaran dengan waktu tidak
terbatas yang
d i s e s u a i k a n
dengan kebutuhan
pebelajar
(learner). Sebagai
contoh materi
p e m b e l a j a r a n
online dapat
diakses setiap
saat, belajar
secara telewicara
(teleconference),
guru dan peserta
didik berada pada
tempat atau ruang
yang berbeda.
2. Ketidakterbatasan aksesibilitas sumber
belajar
Guru dan peserta didik saat ini tidak hanya
mendapatkan ilmu pengetahuan dari
materi cetak saja, tetapi hadirnya internet
dan sumber belajar berbasis web, berbagai
materi belajar bisa didapatkan dengan umur
keterkinian tanpa batas.
Meningkatkan Kompetensi
Peserta Didik
Alasan utama pendayagunaan teknologi
informasi dan komunikasi dalam proses belajar
di kelas ialah untuk menyiapkan dan membekali
peserta didik agar mampu memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi secara
efektif dan efisien, masa digitalisasi.
Berikut beberapa kompetensi yang
dipersiapkan dan dibekalkan kepada peserta
didik dalam menyongsong masa digitalisasi.
Belajar didapatkan seseorang
bukan hanya melalui pendidikan
formal (sekolah, perguruan tinggi),
tetapi bisa didapatkan dari
pendidikan non formal yang
disebut juga pendidikan luar
sekolah (kursus, balai latihan kerja,
lembaga pengembangan
keterampilan).
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 53
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Digital Age Literacy
Functional literacy Kemampuan untuk menguraikan suatu makna dan ide
dengan berbagai media, seperti gambar, grafik, video,
dan media visual lainnya.
Scientific literacy Kemampuan dalam memahami secara teoritis dan
aplikatif dari sains dan matematika.
Technological literacy Kemampuan di dalam menggunakan teknologi informasi
dan komunikasi.
Information literacy Kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi dan
menggunakan informasi.
Cultural literacy Kemampuan untuk mengapresiasi kepelbagaian budaya.
Global awareness Kemampuan untuk memahami interrelasi nasionalisme,
kerja sama, dan komunitas lainnya yang ada di dunia ini
Inventive Thinking
Adaptability Kemampuan untuk mengadaptasikan dan mengelola
kompleksitas dunia dalam suatu keterkaitan global.
Curiosity Memiliki rasa keingintahuan yang tinggi.
Creativity Kemampuan untuk menggunakan imajinasi dalam
menciptakan sesuatu yang baru.
Risk-Taking Kemampuan untuk mengambil resiko.
Higher-Order Thinking Kemampuan untuk memunculkan solusi masalah secara
kreatif, berpikir logis.
Effective Communication
Teaming Kemampuan untuk bekerja dalam tim.
Collaboration and interpersonal
skills
Kemampuan untuk berinteraksi dengan sesama.
Personal and social responsibility Bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi
informasi dan komunikasi serta terus belajar
menggunakan teknologi informasi untuk memperkuat
tatanan masyarakat yang semakin baik.
Interactive communication Kompetensi di dalam menyampaikan dan memberikan
pemahaman informasi dengan benar.
High Productivity Kemampuan untuk memprioritaskan sesuatu, membuat
program kerja, memproyeksikan hasil yang akan dicapai
Sumber : Diadaptasikan dari North Central Regional Laboratory, http://www.learningpt.org
54 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Pencapaian kompetensi seperti yang tertera
pada tabel di atas tentu saja tidak dapat tercapai
begitu saja, perlu ada suatu proses
pengkondisian pemelajaran serta
pengkondisian pembelajaran yang berpusat
pada peserta didik. Posisi teknologi infomasi
dan komunikasi hanya sebagai alat potensial
agar terwujud suatu kompetensi.
Meningkatkan Kualitas
Pembelajaran
Meningkatkan kualitas pembelajaran menjadi
perhatian apabila dikaitkan dengan perluasan
dan pembaharuan pendidikan. Ada beberapa
kontribusi teknologi informasi dan komunikasi
dalam membantu meningkatkan kualitas
pembelajaran, yaitu a. peningkatan motivasi
belajar peserta didik; b. memfasilitasi
pencapaian kompetensi dasar, dan c.
memperkuat pelatihan bagi para guru.
a. Meningkatkan Motivasi Belajar Peserta
Didik
Teknologi informasi dan komunikasi seperti
video, televisi, dan program komputer
multimedia yang memadukan tulisan,
suara, warna, dan gambar bergerak dapat
digunakan untuk memperaktif proses
belajar mengajar. Interaktivitas berupa efek
suara, lagu, dramatisasi, sketsa yang dapat
dilihat, didengar peserta didik akan
mempertinggi keterlibatan dan hasil belajar
peserta didik. Komputer yang terkoneksi ke
saluran internet dapat mengoptimalkan
motivasi belajar peserta didik karena selain
meningkatkan aktivitas dan interaktivitas,
juga membuka peluang berdiskusi dengan
orang lain di seluruh dunia.
b. Memfasilitasi Pencapaian Kompetensi
Dasar
Penyampaian konsep dan keterampilan dasar
dalam berpikir tinggi dan kreatif dapat
difasilitasi oleh teknologi informasi dan
komunikasi melalui proses belajar dalam
bentuk latihan (drill). Contoh, program
pembelajaran melalui televisi cenderung
menggunakan proses pengulangan
(repetition) dan penguatan (reinforcement).
Lebih lanjut apabila melihat program
pembelajaran komputer, proses
pembelajaran yang dirancang adalah
penguasaan materi belajar secara tuntas
(mastery learning).
Mastery learning adalah suatu metode
pembelajaran yang berasumsi bahwa
semua pebelajar pada dasarnya dapat
belajar lebih maksimal apabila mereka
dikondisikan pada situasi belajar yang
kondusif. Belajar dikondisikan secara
bertahap dalam pengertian seorang
pebelajar tidak dapat belajar ke tahap
berikutnya apabila belum menunjukkan
hasil belajarnya pada tahap sebelumnya.
Kurikulum pada belajar tuntas umumnya
terdiri atas topik yang diskret dimana setiap
peserta didik memulai belajarnya secara
bersamaan tetapi pada proses selanjutnya
dapat menyesuaikan dengan topik yang
diminatinya. Kecepatan belajar dan tingkat
penguasaan setiap peserta didik akan
berbeda. Belajar tuntas melibatkan berbagai
komponen tutorial dan fungsi belajar
independen, karena bukan hanya terpaku
pada konten belajar saja tetapi juga pada
proses penguasaan dan peningkatan
kompetensi secara mendalam dan optimal.
c. Memperkuat Pelatihan Bagi Guru
Teknologi informasi dan komunikasi juga
dapat didayagunakan meningkatkan akses
pada kualitas pelatihan guru.
Pengembangan Cyber Teacher Training
Center (CTTC), yakni suatu sistem
pelatihan yang penyampaian materinya
melalui jalur internet. Tujuannya
meminimalkan biaya pelatihan massal dan
membuka peluang bagi para guru dimana
saja, untuk mendapatkan pelatihan secara
umum. Konsep CTTC tidak jauh berbeda
dengan pembelajaran jarak jauh (distance
learning). Agar teacher training terwujud,
dibutuhkan perangkat komputer yang
memadai untuk menerima dan
mendistribusikan materi pelatihan baik
dalam bentuk video atau teks. Dalam CTTC
setiap guru dapat meningkatkan kompetensi
profesionalnya dengan keterkinian materi
pelajaran, saling melengkapi antar guru,
termasuk dengan guru di seluruh dunia.
Cyber teacher training dapat diselenggarakan
dengan jumlah peserta dan kelas belajar
besar. Interaksi dengan instruktur terbatas
karena peserta melatih diri sendiri
berdasarkan panduan yang ditampilkan
layar monitor secara online. Untuk beberapa
pelatihan yang spesifik masih tetap
dikemas dalam tatap muka pada waktu dan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 55
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi
tempat yang ditentukan (tutorial). Berbagai
materi dapat dipertimbangkan dalam cyber
teacher training di antaranya pemberdayaan
komputer pada komunitas era informasi,
reformasi pendidikan, simulasi model
mengajar, dan lain-lain.
Meningkatkan Transformasi
Lingkungan Belajar
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
pendayagunaan teknologi informasi dan
komunikasi dapat menjadi katalis atas
perubahan paradigma dan isi pedagogis.
Aspek Tradisional Pedagogi Digital Pedagogi
Aktivitas - Aktivitas sepenuhnya pada guru - Aktivitas sepenuhnya pada
peserta didik
- Satu instruktur untuk semua
peserta didik
- Kelompok belajar kecil-kecil
- Aktivitas belajar tidak bervariasi - Aktivitas belajar bervariasi
- Dibatasi oleh program aktivitas
yang terstruktur oleh guru
- Program aktivitas disesuaikan
dengan keberadaan peserta
didik
Kolaboratif - Individual - Belajar dalam tim
- Kelompok belajar homogen - Kelompok belajar heterogen
Kreativitas - Belajar hanya untuk mengulang
yang sudah ada
- Belajar untuk menghasilkan
sesuatu yang baru
- Penerapan solusi yang sudah
ada
- Menemukan solusi baru
Integratif - Tidak ada kaitannya antara teori
dan praktik
- Integrasi antara teori dan praktik
- Hal yang dibahas terpisah-pisah - Hal yang dibahas berhubungan
- Berbasis disiplin - Tematik
- Guru individual - Tim Guru
Evaluatif - Dilakukan langsung oleh guru - Dilakukan oleh peserta didik
sendiri
- Sumatif - Diagnostik
Sumber : Diadaptasikan dari Learning Through the Web, http://www.decidenet.nl
Transformasi ini merupakan inti daripada
reformasi pendidikan di abad 21 (Bransford,
1999 : National Research Council).
Teknologi informasi dan komunikasi yang lebih
difokuskan pada teknologi komputer dan
internet dapat memberikan cara baru dalam
mengajar dan belajar. Pada prinsipnya
mendukung teori belajar dan mengubah
pedagogis yang berpusat pada guru.
Berikut rangkuman perbandingan antara
pedagogis tradisional dengan pedagogis digital
yang sudah memadukan teknologi informasi dan
komunikasi dalam proses belajar dan mengajar.
56 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Beberapa model belajar yang dapat
diintegrasikan dengan teknologi informasi dan
komunikasi dalam proses belajar mengajar,
sebagai berikut.
1. Active Learning, pengintegrasian teknologi
dan informasi sebagai alat memungkinkan
terjadinya mobilitas penilaian, kalkulasi
dan analisis informasi. Ini memberikan
tatanan baru pada peserta didik untuk
menemukan, menganalisis dan
merekonstruksi informasi baru. Peserta didik
belajar berdasarkan apa yang dilakukan.
Bekerja pada dunia nyata untuk
memecahkan masalah lebih mendalam,
sehingga apa yang dipelajari relevan
dengan situasi kehidupan yang sedang
dijalani. Belajar tidak lagi sebatas
mengingat, tetapi menuntut peserta didik
untuk beraksi dan menentukan konten
belajar yang akan dipelajari.
2. Collaborative Learning
Teknologi informasi dan komunikasi
mendukung belajar secara interaktif dan
koperatif dengan guru, teman, ataupun
nara sumber dan pakar. Hal ini membuka
peluang untuk peserta didik dapat belajar
bersama dengan peserta didik di belahan
dunia lainnya dengan keanekaragaman
budaya dan bahasa.
3. Creative Learning
Teknologi informasi dan komunikasi
mendukung manipulasi informasi dan
menciptakan sesuatu hal nyata, tidak hanya
sekedar menerima informasi secara mentahmentah
tanpa proses analisis.
4. Integrative Learning
Teknologi informasi dan komunikasi dapat
disusun untuk pembelajaran tematik,
pendekatan integrative dalam pengajaran.
Hal ini memungkinkan upaya mendekatkan
berbagai disiplin ilmu dalam suatu
keutuhan ilmu pengetahuan yang akan
dipelajari oleh peserta didik.
5. Evaluative Learning
Teknologi informasi dan komunikasi
mendukung penilaian dan diagnostik
peserta didik, karena teknologi informasi
dan komunikasi mengenal gaya belajar
setiap peserta didik yang pada umumnya
berbeda dan unik. Dengan demikian
teknologi informasi dan komunikasi yang
diintegrasikan membuka kesempatan
kepada peserta didik untuk melakukan
ekplorasi dan menemukan sesuatu tidak
hanya mendengar atau mengingat.
Uraian di atas menunjukkan bagaimana
teknologi informasi dan komunikasi bermanfaat
mengatasi masalah yang berkaitan dengan mutu
pendidikan dan pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan. Berikut ini dijelaskan
secara khusus bagaimana teknologi informasi
dan komunikasi dipergunakan dalam
pembelajaran
Pendayagunaan dalam Pembelajaran
Pengambil kebijakan dan perencana
pembelajaran harus merencanakan secara jelas
apa yang menjadi outcomes sekolah. Hal ini akan
menjadi pedoman dan acuan dalam memilih
teknologi yang akan digunakan dan bagaimana
optimalisasi pendayagunaannya. Potensi setiap
teknologi sangat bervariasi tergantung pada
bagaimana memanfaatkannya. Haddan dan
Drexler (2002) mengidentifikasikan adanya lima
tingkatan pendayagunaan teknologi di dalam
pembelajaran, yaitu presentasi, demonstrasi,
drill dan latihan, interaksi, kolaborasi.
Teknologi informasi dan komunikasi yang ada
seperti kaset audio/video, siaran radio/televisi,
komputer atau internet pada dasarnya
digunakan pada kelima tingkat tersebut. Siaran
radio dan televisi sudah digunakan sejak tahun
1920 dalam dunia pembelajaran dengan
pendekatan:
1. Direct class teaching. Materi disampaikan
dalam bentuk siaran radio atau televisi
untuk menggantikan sementara guru dalam
mengajar;
2. School broadcasting. Materi disiarkan untuk
melengkapi apa yang sudah diajarkan oleh
guru;
3. General educational programming over
community. Pemancar radio atau televisi
nasional menyiarkan program
pembelajaran umum dan pembelajaran
informal lainnya.
Perkembangan selanjutnya sekarang
dikenal dengan pembelajaran telewicara
(teleconference) yaitu mengacu pada pengertian
komunikasi elektronik diantara orang-orang
yang berada pada tempat yang berbeda (Rao, V.
Rama, Audio Teleconferencing, 2002). Ada empat
model teleconference yang didasarkan pada
interaktivitas dan terapan teknologi yang
digunakannya, yaitu : 1) audioconferencing ; 2)
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 57
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi
audio-graphic conferencing ; 3) video conferencing,
4) web-based conferencing.
Pembelajaran dengan Komputer
dan Internet
Belajar dengan teknologi berarti belajar yang
dipusatkan bagaimana teknologi memberikan
makna pada pembelajaran suatu kurikulum
yang sudah ditentukan, termasuk di dalamnya
tiga hal berikut.
1. Presentasi, demonstrasi, dan manipulasi
data.
2. Penggunaan kurikulum dalam bentuk
aplikasi yang khusus seperti permainan,
drill dan latihan, simulasi tutorial,
laboratorium virtual, visualisasi, grafik,
komposisi, dan sistem pakar.
3. Penggunaan informasi dan sumber-sumber
lainnya baik pada CD ataupun sumber
online seperti ensiklopedia, peta dan atlas
interaktif, jurnal dan referensi elektronik
lainnya.
Belajar melalui komputer dan internet pada
dasarnya memadukan proses belajar dengan
bentuk teknologi yang digunakannya. Dalam hal
ini melibatkan pemberdayaan kurikulum
dengan aktivitas-aktivitas yang terkait dan
mendukung kurikulum tersebut.
Isu dan Tantangan
Implementasi Teknologi Informasi dan
Komunikasi dalam pembelajaran tidak terlepas
dari kekurangan dan keterbatasan. Pada aras
luas, masalah pemahaman masyarakat awam
terhadap teknologi informasi dan komunikasi
dalam pembelajaran masih pro dan kontra. Pada
aras lebih sempit masih terdapat perdebatan
positif dan negatif terhadap human touch. Masih
dianggap penting kehadiran seorang guru
membimbing siswa secara manusiawi dalam arti
adanya kontak mata dan kontak perasaan.
Semua perdebatan ini tidak akan pernah tuntas,
tetapi akan menjadi pelengkap atas eksistensi
teknologi informasi dan komunikasi khususnya
dalam pembelajaran.
Terlepas dari adanya kekurangan dan
keterbatasan serta perdebatan, terdapat empat
isu yang perlu dipertimbangkan sebelum
memutuskan pendayagunaan teknologi
informasi dan komunikasi dalam pembelajaran,
yaitu 1. efektifitas; 2. biaya; 3. ekuitas dan 4.
faktor-faktor penopang.
1. Efektifitas, mengacu pada pertanyaan
apakah kualitas pembelajaran akan
meningkat dengan didayagunakannya
teknologi informasi dan komunikasi.
Keefektifan sangat bergantung pada tujuan
serta bagaimana menggunakan teknologi
informasi dan komunikasi terpilih dalam
pembelajaran. Dapat terjadi teknologi
informasi dan komunikasi yang dipilih
tidak sesuai untuk setiap tempat, semua
orang dan semua cara. Potensi teknologi
informasi dan komunikasi yang ditawarkan
berkaitan dengan masalah efektifitas,
penggunaannya dapat dipertimbangkan
berdasarkan:
a. Enhancing access, yaitu kemampuan
untuk mempertinggi dan
mengoptimalkan aksesibilitas atas
sumber-sumber ilmu pengetahuan
yang ada tanpa batas waktu dan ruang
serta ketersediaan informasi itu sendiri.
b. Raising quality, yaitu intervensi
teknologi informasi dan komunikasi
dapat memberikan peningkatan
kualitas atas instruksional di kelas.
2. Biaya, secara umum integrasi teknologi
informasi dan komunikasi dalam
pembelajaran membutuhkan biaya yang
tidak sedikit. Namun yang perlu
dipertimbangkan adalah outcomes dari
pendidikan. Secara umum biaya terlihat
relatif besar karena melihatnya terpusat
pada pertimbangan biaya tetap (fixed costs),
misalnya biaya untuk membeli peralatan,
atau fasilitas fisik lainnya. Meskipun pada
awalnya diperlukan investasi cukup besar,
dalam perjalanan waktu hal tersebut akan
terakumulasi dalam bentuk hasil proses
pembelajaran yang didapatkan.
3. Ekuitas, adalah keadilan bagi semua orang,
semua golongan, semua gender untuk
dapat menerima pendidikan dalam arti
luas. Semua orang memiliki kesempatan
yang sama dan setara dalam mendapatkan
pendidikan yang layak. Teknologi
informasi dan komunikasi memiliki potensi
memberikan semua hal yang diperlukan
dalam pembelajaran tanpa memandang
batasan-batasan tertentu. Apabila
diberdayakan dengan benar, maka
teknologi informasi dan komunikasi
memiliki potensi untuk mengakomodasikan
58 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi
pengaksesan informasi dan sumber-sumber
pembelajaran yang diperlukan peserta
didik.
4. Faktor-faktor penopang, untuk mencapai
tujuan pendayagunaan teknologi informasi
dan komunikasi, yaitu:
a. Faktor Ekonomi, mengacu pada
kemampuan pihak sekolah dan
komunitas sekolah dalam hal
pendanaan. Efektivitas biaya adalah
kunci dari faktor ekonomi.
b. Faktor Sosial, mengacu pada fungsi
dan keterlibatan lingkungan
komunitas sekolah. Program ini perlu
mendapat respon positif dari orang tua
siswa, pengambil kebijakan, pengurus
yayasan, dan pihak shareholder
sekolah.
c. Faktor Politik, mengacu pada
kebijakan dan kepemimpinan. Salah
satu hal yang membuat komitmen gagal
adalah resitensi komunitas pada
perubahan, misalnya bagi beberapa
guru pendayagunaan teknologi
informasi dan komunikasi dirasakan
sangat memberatkan bahkan dianggap
tidak berguna sama sekali. Oleh sebab
itu perlu ditumbuhkan itikad adoptif,
keharmonisan rencana dalam
menghadapi perubahan dengan
tindakan terpadu serta terarah.
d. Faktor Teknologi, mengacu pada
pemilihan teknologi yang
diproyeksikan efektif dalam waktu
yang cukup rasional, termasuk
mempertimbangan teknikal
pendukung.
Beberapa tantangan yang perlu kita
perhatikan adalah:
1. Implikasi pendayagunaan teknologi
informasi dan komunikasi terhadap
rencana dan kebijakan sekolah atau
yayasan.
Artinya sebelum komitmen pemanfaatan
teknologi dan informasi dinyatakan dalam
kegiatan, perlu dipastikan terlebih dahulu
kebijakan sekolah atau yayasan sebagai
payung dari pelaksanaan komitmen agar
terpadu dan terarah. Masalah efisiensi dan
efektifitas perlu dipertimbangakan.
2. Infrastruktur perlu disiapkan agar harapan
pendayagunaan teknologi informasi dan
komunikasi dapat dijalani dan dicapai
dengan lancar.
3. Membangun kapabilitas dan komunitas
yang lebih baik terutama untuk para guru,
administrator sekolah, serta pengembang
konten pendidikan. Dalam pelaksanaannya
sumber daya manusia merupakan
pemegang kunci keberhasilan. Akan sukar
suatu komitmen diraih apabila tidak
diawali dengan membangun komunitas
manusianya dengan kapasitas dan
kapabilitas yang andal.
Kesimpulan
Saat ini perlu melakukan perencanaan matang
apabila sekolah memiliki komitmen untuk
meraih peluang pendidikan, khususnya dalam
upaya meningkatkan pembelajaran yang
mengintegrasikan teknologi informasi dan
komunikasi. Untuk itu perlu mengidentifikasi
posisi bila diharapkan pada komitmen
mengimplementasikan teknologi informasi dan
komunikasi dalam pembelajaran. Kelemahan
dan kekuatan yang dimiliki, segera
ditindaklanjuti secara terpadu dan terarah.
Keberadaan dan ketersediaan sumber daya
manusia yang terlibat untuk menggapai
peluang yang ditawarkan teknologi informasi
dan komunikasi dalam pembelajaran
merupakan elemen penting terjadinya akselerasi
dan proses pembelajaran yang baru.
Kesadaran akan munculnya peluangpeluang
baru, khususnya dengan
perkembangan pesat dunia digital haruslah
diantisipasi sejak sekarang agar dapat
diselaraskan dengan kebutuhan dan tuntutan
perkembangan pendidikan.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 59
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Daftar Pustaka
Bates, A.W. (2000). Managing technological change:
Strategies for university and college leader.
San Francisco: Jossey Bass
Bransford , J. (ed). (1999). How people learn : Brain,
mind, experience, and school. Washington
DC: National Research Council
Collis, B. & Moonen. J. (2001). Flexible learning in
a digital world: Experiences and expectations.
London: Kogan Page
Cuban, L. (2002). Oversold and underused:
Computer in the classroom. Cambridge MA:
Harvard University Press.
Dirckinck-Holmfeld, L. & Fibiger , B. (2002).
Learning on virtual environments.
Fredriksberg Denmark: Samfunds
litteratur
Goldman, G. & Newman, J.B. (1988). Empowering
students to transform school. Thousand
Oaks, CA: Corwin Press
Haddad, Wadi D. & Alexandra Drexler. (2002).
The dynamics of technologies for education.
Washington DC: Academy for Educational
Development and Paris: UNESCO, p.9
Hernes, G. (2002), Emerging trends in ICT and
challenges to educational planning.
Technology for Education: Potentials,
parameters, and prospects. Washington DC:
Academy for Educational Development and
Paris: UNESCO
International Labor Organization. Learning and
training for work in the knowledge society.
http://www.ilo.org/public dikunjungi
pada bulan Maret 2007
US Department of Labor, Future work – Trend
and challenges for work in the 21st century,
North Central Regional Educational
Laboratory, http://www.learningpt.org,
dikunjungi pada bulan Maret 2007
60 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Scaffolding pada Program Pendidikan Anak Usia Dini
Scaffolding pada Program Pendidikan
Anak Usia Dini
Upi Isabella*)
*) Staf Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (P4) BPK PENABUR Jakarta
Opini
eori belajar konstruktivisme khususnya pada pendidikan anak usia dini antara lain menyebutkan
pentingnya pemberian scaffolding (Vygotsky, 1962) yang tepat waktu dan dapat ditarik kembali
secara bertahap setelah anak menunjukkan keberhasilan terhadap pencapaian suatu indikator
dalam aspek perkembangan anak (child development). Anak membutuhkan scaffolding untuk
menuju ke tingkat perkembangan potensial (level of potential development). Implemetasi scaffolding
sebagai bagian dari proses belajar konstruktivisme perlu dikenali dengan baik sehingga tidak perlu
berubah menjadi interferensi yang justru akan menghilangkan kesempatan belajar anak untuk
menguasai proses penyelesaian masalah. Desain kurikulum, instruksi pembelajaran dan proses
asesmen pendidikan usia dini merupakan faktor-faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap
proses belajar konstruktivisme pendidikan anak usia dini. Scaffolding pada pendidikan usia dini dapat
terjadi dimana saja tempat lingkungan anak. Scaffolding dapat dilakukan oleh orang dewasa (adult/
care giver/parent/teachers), atau orang yang lebih dahulu tahu (knowledgeable person/siblings)
atau teman sebaya (peer).
Kata kunci: Scaffolding, anak, pendidikan usia dini, guru.
This article discusses scaffolding as one of the theories in constructivism learning theories. Scaffolding
is effective in achieving the level of potential development and it can be implemented for early
age children. In the implementation, the teacher should well recognize the children and know
properly. Scaffolding wich is based on constructivism can be used by parents, teachers or eare
givers to assist. The early age children to develop their abulity.
Abstrak
T
Bila kita pernah memperhatikan proses
pembangunan suatu gedung atau renovasi
rumah, maka kita tentu pernah melihat suatu alat
semacam tangga atau rangka menara sederhana
yang kokoh dengan 4 kaki yang sering disebut
sebagai steger atau scaffolding. Scaffolding
berfungsi sebagai alat bantu untuk menggapai
sisi bangunan yang tinggi. Bila sudah tidak
diperlukan lagi, maka scaffolding dapat dilepas
atau ditarik atau dipindahkan dari posisinya.
Tukang bangunan menggunakan scaffolding
misalnya pada waktu memasang rangka untuk
dak bangunan lantai atas, untuk mengaci semen
pada dinding langit-langit rumah atau sewaktu
memasang papan gypsum atau eternit dan lainlain.
Intinya, scaffolding merupakan suatu alat
bantu yang dapat dipasang dan dilepas kembali
dalam proses menyelesaikan suatu pekerjaan
konstruksi.
Sebetulnya, scaffolding adalah suatu istilah
dalam dunia pendidikan yang merupakan
pengembangan teori belajar konstruktivisme
modern. Scaffolding pertamakali disebut sebagai
istilah dalam dunia pendidikan, khususnya
pendidikan anak usia dini oleh Vygotsky (1846).
Dalam pendidikan usia dini, scaffolding
mengambil peran yang sangat penting dalam
Pendahuluan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 61
Scaffolding pada Program Pendidikan Anak Usia Dini
proses pembelajaran di setiap aspek menuju
pada pencapaian tahap perkembangan anak
(child development). Setiap kali seorang anak
mencapai tahap perkembangan yang ditandai
dengan terpenuhinya indikator dalam aspek
tertentu, maka anak membutuhkan scaffolding.
Vygotsky (1962) menuliskan bahwa scaffolding
merupakan bentuk bantuan yang tepat waktu
yang juga harus ditarik tepat waktu ketika
interaksi belajar sedang terjadi saat anak-anak
mengerjakan puzzle, membangun miniatur
bangunan, mencocokkan gambar dan tugastugas
pelajaran lainnya. Saat interaksi belajar
berlangsung, scaffolding kadang dibutuhkan
secara bersamaan dan terintegrasi dalam aspek
fisik, intelektual, seni dan emosional.
Kebalikan dari scaffolding adalah
interferensi. Seringkali langsung muncul
keinginan orang dewasa baik guru maupun
orangtua untuk datang
membantu anak
menyelesaikan tugas
p e r k e m b a n g a n n y a .
Akibatnya, bantuan malah
menginterferensi proses
pembelajaran anak.
Keinginan tersebut
sesungguhnya wajar dan
natural, karena selain
ungkapan kasih sayang,
juga merupakan ungkapan
kekhawatiran orang dewasa terhadap
anak. Namun, dengan porsi yang tepat, tidak
akan menjadi interferensi dan tidak akan
merebut peran scaffolding yang lebih dibutuhkan
anak.
Scaffolding Sebagai Bagian dari Teori
Konstruktivisme Modern
Telah kita ketahui bahwa teori belajar
konstruktivisme modern secara umum
menyatakan bahwa siswa harus secara pribadi
menemukan dan menerapkan informasi yang
kompleks kemudian mengecek informasi baru
dibandingkan dengan aturan lama dan
memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi.
Dengan demikian guru tidak dapat hanya
semata-mata memberikan pengetahuan kepada
siswa, melainkan siswa harus membangun
pengetahuan ini di dalam benaknya sendiri.
Guru hanya membantu proses ini dengan caracara
mengajar yang membuat informasi menjadi
sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa;
sedemikian hingga siswa mampu menarik
kesimpulan untuk menerapkan sendiri ide-ide.
Khusus terhadap pendidikan anak usia dini
teori konstruktivisme modern oleh Vygotksy
dibagi dalam tiga tahap yaitu:
1. Tahap Zona Perkembangan Terdekat
Zona perkembangan terdekat atau Zone of
Proximal Development (ZPD) yaitu suatu ide
bahwa anak usia dini belajar konsep paling
baik apabila konsep itu berada dalam zona
perkembangan terdekat mereka. A range tasks
too difficult for the child to do alone but possible
with help of adults and more skilled peers (Berk,
2006). The zone of proximal development is the
Vygotskian concept that defines development as
the space between the child’s level of independent
performance and the child’s level of maximally
assisted performance (Bodrova &Leong, 1996;
Vygotsky, 1978). Artinya, suatu jarak antara
keterampilan yang sudah
dimiliki oleh anak
dengan keterampilan
baru yang diperoleh
dengan bantuan dari
orang dewasa (adult/care
giver/parents/teacher) atau
orang yang terlebih
dahulu menguasai
keterampilan tersebut
(knowledgeable person/
peer/siblings).
Zona ini hadir di tengah
lingkungan dengan fitur yang sekaya
mungkin sehingga memberikan kesempatan
melimpah bagi anak untuk membangun
konsep dan internalisasi pemahaman dalam
dirinya tentang berbagai hal. Artinya, bila
lingkungan di sekitar anak mampu
menghadirkan sekaya mungkin fitur tentang
berbagai hal, maka anak memperoleh
rangsangan yang kuat untuk mempelajari
suatu konsep bagi pemahamannya dengan
cara terbaik.
2. Tahap Pemagangan Kognitif
Pemagangan kognitif atau cognitive
apprenticeship adalah suatu istilah untuk
proses pembelajaran dimana guru
menyediakan dukungan kepada anak usia
dini dalam bentuk scaffold hingga anak usia
dini berhasil membentuk pemahaman
kognitifnya. Pemagangan kognitif atau
cognitive apprenticeship juga merupakan
suatu budaya belajar dari dan di antara
teman sebaya melalui interaksi satu sama
...scaffolding merupakan
bentuk bantuan yang tepat
waktu yang juga harus
ditarik tepat waktu ketika
interaksi belajar sedang
terjadi...
62 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Scaffolding pada Program Pendidikan Anak Usia Dini
lain sehingga membentuk suatu konsep
tentang sesuatu pengalaman umum dan
kemudian membagikan pengalaman
membentuk konsep tersebut di antara teman
sebayanya (Collins, Brown, and Newman
1989). Wilson and Cole (1994)
mendeskripsikan ciri khas pemagangan
kognitif yaitu “ heuristic content, situated
learning, modeling, coaching, articulation,
reflection, exploration, and order in increasing
complexity”.
3. Scaffolding atau mediated learning
Yaitu dukungan tahap demi tahap untuk
belajar dan pemecahan masalah sebagai
suatu hal yang
penting dalam
p e m i k i r a n
konstruktivisme
modern. Scaffolding
is adjusting the
support offered
during a teaching
session to fit the
child’s current level of
p e r f o r m a n c e ” .
S c a f f o l d i n g
sebagian besar
ditemukan dilakukan oleh orang dewasa
(adult/care giver/parent/teacher) atau orang
yang lebih dahulu tahu (knowledgeable person/
siblings/peer) tentang suatu keterampilan
yang seharusnya dicapai oleh anak usia
dini.
Implikasi Scaffolding pada
Kurikulum Pendidikan
Anak Usia Dini
Dengan demikian, teori Vygotsky tersebut
memberikan pengaruh besar pada desain
kurikulum, instruksi pembelajaran dan proses
asesmen pendidikan anak usia dini. Karena anak
belajar banyak dari interaksi, maka desain
kurikulum harus menempatkan mereka untuk
mengalami banyak interaksi dengan anak
lainnya dan tugas belajar bersama. Bentuk
kegiatan belajar mengajar yang bisa dilakukan
di antaranya konsep pembelajar mandiri (learner
utonomy), belajar kelompok (cooperative learning).
Lingkungan belajar anak menjadi zona
perkembangan terdekat yang menghadirkan
sebanyak mungkin kesempatan untuk
mempelajari sesuatu, baik itu melalui orangorang
di sekitar anak maupun alat pelajaran
dan sumber belajar. Guru hanya sebagai
mediator selanjutnya anak usia dini secara
sendiri atau kelompok aktif untuk memecahkan
persoalan yang diberikan guru sehingga mereka
dapat membangun pengetahuan. Instruksi
pembelajaran yang tepat dari orang dewasa dapat
membuat anak menunjukkan keberhasilan
terhadap tugas yang belum mampu diselesaikan
sendiri. Disini orang dewasa secara terus
menerus mengevaluasi level bantuan yang
diberikan kepada anak dengan
mempertimbangkan
tingkat kemajuan hasil
belajar anak, sehingga
dapat terbentuk
mengajar-belajar yang
efektif. Dengan
memberikan “takaran”
scaffolding yang tepat,
hasil belajar anak akan
segera terlihat bahkan
anak memperoleh
k e t e r a m p i l a n -
keterampilan yang
menetap yang dibutuhkan dalam penyelesaian
masalah kelak. “Takaran” karena sepanjang
tinjauan penulis tidak ditemukan sumber ilmiah
yang berhasil merumuskan dosis scaffolding yang
tepat. Hal ini karena setiap anak, dalam setiap
situasi membutuhkan scaffolding yang berbedabeda.
Namun, penulis menemukan banyak sekali
literatur ilmiah yang menyatakan dengan tegas
pentingnya scaffolding untuk membangun
konsep pemahaman anak usia dini. Proses
assessment juga berpengaruh yaitu dengan
melihat zona perkembangan terdekat. Bila anak
dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan
ini disebut tingkat perkembangan riil (level of
actual development), sementara bila anak dapat
melakukan sesuatu dengan bantuan maka hal
ini disebut tingkat perkembangan yang potensial
(level of potential development). Dua orang anak
dapat saja memiliki tingkat perkembangan riil
yang sama; tetapi dengan bantuan yang tepat
dari orang dewasa, anak yang satu dapat
melakukan penyelesaian terhadap masalah
yang lebih rumit dan lebih baik daripada yang
lainnya. Metode penilaian harus dapat
menangkap kedua tingkat perkembangan yang
dimiliki tiap anak; yaitu tingkat perkembangaan
riil dan tingkat perkembangan potensial.
Instruksi pembelajaran yang
tepat dari orang dewasa dapat
membuat anak menunjukkan
keberhasilan terhadap tugas
yang belum mampu
diselesaikan sendiri.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 63
Scaffolding pada Program Pendidikan Anak Usia Dini
Dengan demikian, pada pendidikan anak
usia dini terjadi pergeseran dari “teacher centered”
menjadi “student centered” yang mewujud dalam
pemberian scaffolds tepat waktu ketika
dibutuhkan oleh anak; juga tepat waktu untuk
ditarik kembali. Dengan demikian prinsipprinsip
konstruktivisme yang banyak diambil
antara lain:
1. Pengetahuan dibangun oleh anak usia dini
secara aktif
2. Tekanan proses belajar mengajar terletak
pada anak usia dini
3. Mengajar adalah membantu anak usia dini
belajar
4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada
proses bukan pada hasil belajar
5. Kurikulum menekankan pada parisipasi
anak usia dini
6. Guru adalah fasilitator
Dengan memahami teori di atas, maka yang
menjadi masalah adalah bagaimana bentuk
implementasi konkrit scaffolding sebagai bagian
dari teori konstruktivisme pada setiap aspek
pendidikan anak usia dini.
Implementasi Scaffolding pada
Pendidikan Anak Usia Dini
Kita memahami bahwa tahap perkembangan
anak usia dini terbagi dalam beberapa aspek
yang berintegrasi satu dengan yang lain; yaitu:
aspek fisik, intelektual, seni dan emosional.
Setiap anak usia dini memiliki ciri
perkembangan berdasarkan usia. Pencapaian
tahap perkembangan aspek fisik pada anak usia
2 tahun misalnya berbeda dengan tahap
perkembangan fisik anak usia 3 tahun. Para ahli
pendidikan anak usia dini telah melakukan
pengamatan dan mencatat tahap-tahap
perkembangan anak setiap aspek berdasarkan
usia. Tahap-tahap perkembangan anak usia dini
(Child Development) menjadi dasar untuk melihat
keberhasilan dan kemajuan perkembangan
anak.
Aspek-aspek perkembangan anak
merupakan satu bagian yang terintegrasi satu
dengan yang lain. Karena itu bentuk scaffolding
di dalam suatu saat dapat saja terintegrasi
namun terdapat juga saat dimana scaffolding
hanya dibutuhkan oleh aspek tertentu.
Contoh implementasi scaffolding dalam
pendidikan anak usia dini penulis ambil dari
salah satu daily plan kurikulum play group
bilingual. Tema belajar adalah “My Vegetables”
dengan sub tema “Cauliflower”. Desain tema
dalam kurikulum seperti ini membuka banyak
peluang terjadinya interaksi belajar; anak belajar
mengenal sayur-sayuran; sesuatu hal yang dekat
dengan kehidupan sehari-hari. Pada aspek
Small Motor Skill, anak melatih kelenturan otot
jari tangan dengan memetik kuntum bunga kol.
Sementara setiap anak memegang bunga kol,
guru mencontohkan cara memetik kuntum bunga
kol di hadapan mereka (zona perkembangan
terdekat). Timbul dalam benak anak, bahwa
memetik kuntum bunga kol adalah sesuatu
pekerjaan dapat dilakukannya sendiri. Anak
mengamati bentuk bunga kol yang ada di
tangannya (menjadi pembelajar mandiri/learner
utonomy); dan memperhatikan cara guru atau
teman lainnya memetik kuntum bunga kol
(menjadi pembelajar kelompok/cooperative
learning).
Dalam hal memetik kuntum bunga kol,
pemagangan kognitif tampil dengan ciri khasnya
yaitu modeling oleh guru, penekanan; yaitu
tekanan proses belajar pada latihan
keterampilan otot jari, explorasi; yaitu mengenai
manfaat, habitat dan pengolahan sayur bunga
kol dan petunjuk yang meningkat
kompleksitasnya; yaitu mulai dari mengenggam
- memetik – mengelompokkan – menghitung
kuntum bunga kol. Instruksi pelajaran; yang
menuntun anak melakukan sesuatu dengan
perintah yang jelas - meminta anak memetik
kuntum bunga kol yang ada di gengaman
tangannya sampai selesai; dapat
menumbuhkan ketekunan dalam diri anak
untuk mencapai keberhasilan (aspek emosional).
Guru melakukan proses assessment dengan
sebelumnya sudah mengetahui level of actual
development; yaitu belum tentu semua anak telah
dapat memetik kuntum bunga kol (menurut Table
Child Development). Sedangkan level of potential
development yang akan diobservasi adalah anak
mampu memetik kuntum bunga kol paling
sedikit 8 kuntum.
Dalam 5 – 10 menit pertama, dapat
diprediksi bahwa anak akan mengalami
kesulitan karena jari-jari tangan belum terbiasa
memetik kuntum bunga kol. Di saat ini, guru
perlu menahan diri dan memberikan
kesempatan pada anak untuk mengalami
kesulitan; guru perlu tahu saat yang tepat untuk
memberikan bantuan. Hindari bentuk-bentuk
interferensi yang berpotensi menggangu proses
64 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Scaffolding pada Program Pendidikan Anak Usia Dini
belajar anak. Anak akan menyerukan
permintaan bantuan. Di sinilah, guru
menerapkan scaffolding; yaitu berupa memegang
jari anak dan memberi kekuatan tertentu untuk
memetik kuntum bunga kol bersama. Setelah itu,
berilah kesempatan anak untuk kembali
mencoba sendiri; tariklah scaffolding secara
bertahap. Setelah paling sedikit 8 kuntum bunga
kol berhasil dipetik oleh jari tangan anak sendiri,
maka anak telah mencapai level of potential
development. Kadang kala sangat menarik dan
lucu, saat terjadi anak berusaha menolong teman
untuk memetik kuntum bunga kol; membagikan
keterampilan yang baru saja dikuasainya; yang
sebetulnya merupakan suatu bentuk
internalisasi konsep pengetahuan baru ke dalam
dirinya. Kejadian seperti ini dapat menjadi
sumber tulisan narasi yang kreatif untuk
dicatatkan dalam laporan perkembangan anak.
Implementasi scaffolding lainnya juga
terlihat dalam contoh lebih sederhana sebagai
berikut: seorang anak perempuan yang berumur
2,5 tahun dengan gembira memilih dan
berusaha mengenakan sendiri baju yang akan
dipakainya dan tidak mengijinkan ibunya
membantu. Pada usia 2,5 tahun menurut tabel
Perkembangan Anak (Child Development); tingkat
perkembangan riil (level of actual development)
pada aspek intelektual antara lain adalah anak
memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi; dan
pada aspek fisik sedang ingin mencoba
melenturkan otot jemari tangannya. Anak belum
dapat mengenakan baju sendiri, tetapi
membutuhkan bantuan; berarti anak berada
pada tingkat perkembangan potensial (level of
potential development).
Pada waktu ini potret pembelajaran
konstruktivisme sedang berlangsung; yaitu
pengetahuan dibangun sendiri oleh anak secara
aktif; tekanan proses belajar adalah pada anak
dan bukan pada hasil belajar. Saat sang ibu
mengamati anak sedang berusaha dengan
sungguh-sungguh mengenakan baju, timbul
keinginan yang sangat besar untuk segera
membantu; tetapi anak belum merasa perlu
adanya scaffolds. Bila scaffolds tidak tepat waktu,
akan terjadi interferensi; anak tidak merasakan
keberhasilan pencapaian suatu indikator;
bantuan ibu akan menyelesaikan semua proses
mengenakan baju.
Beberapa saat kemudian anak menyerukan
perlunya bantuan; ini menunjukkan aspek emosi
yang sesuai yaitu anak segera mencari
pertolongan untuk mendapatkan bantuan. Saat
anak telah membuka diri terhadap bantuan,
scaffolding dibutuhkan. Ibu berperan sebagai
fasilitator; mencontohkan cara mengancing satu
mata kancing baju. Pada waktu ini, ibu berbicara
mengenai cara mengancing baju dan akan
menjadi kosa kata baru bagi anak (aspek bahasa).
Komunikasi dan penggunaan bahasa menjadi
suatu media yang baik untuk melancarkan
internalisasi konsep ke dalam diri anak. Anak
mengendapkan konsep itu ke dalam pikirannya;
biasanya muncul dalam bentuk self talk anak
kepada dirinya.
Setelah mendapatkan scaffolds, anak akan
mencoba lagi mengenakan bajunya. Disini,
bentuk scaffolding telah cukup dan perlu
dihentikan secara bertahap. Anak telah
menguasai keterampilan mengenakan baju lebih
baik dari sebelumnya. Anak merasakan
keberhasilan mencapai suatu indikator.
Dari dua contoh sederhana di atas dapatlah
disepakati bahwa suatu pemberian scaffolding
yang efektif adalah tepat waktu dan setelah itu
ditarik kembali secara bertahap setelah ditandai
dengan diperolehnya keterampilan baru yang
lebih baik dari sebelumnya yang berhasil
dilakukan sendiri oleh anak pada tingkat
perkembangan potensialnya. Dengan demikian,
penilaian terhadap anak mencakup tingkat
perkembangan riil; yaitu ketika anak
mendemonstrasikan suatu keterampilan tanpa
bantuan; sampai dengan tingkat perkembangan
potensial (level of potential development). Bentuk
assessment dapat berupa laporan narasi yang
menyebutkan perbandingan dan bentuk
keberhasilan kedua level perkembangan tersebut.
Penutup
Implementasi scaffolding dapat dengan mudah
kita temukan dan terapkan dalam kehidupan
sehari-hari anak usia dini. Faktor-faktor yang
sederhana namun penting untuk diingat dalam
implementasi scaffolding adalah bahwa pertama,
kebutuhan terhadap scaffloding datang dari
inisiatif anak; karena kalau bukan datang dari
anak, scaffolding akan berubah menjadi suatu
interferensi terhadap proses belajar anak. Suatu
interferensi terhadap proses belajar anak
disadari atau tidak akan menyemaikan sifat
ketergantungan yang akan menimbulkan
kesulitan yang lebih besar lagi di masa depan.
Yang kedua, scaffolding sesuai dengan pesan
pendidikan Vygotsky adalah menyediakan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 65
Scaffolding pada Program Pendidikan Anak Usia Dini
lingkungan sosial yang kaya dengan aktifitas
yang berada dalam zona perkembangan terdekat
anak dan kesempatan yang melimpah untuk
bermain peran (make-believe play). Situasi belajar
yang baik akan mereduksi peran guru (teacher
centered) dan meningkatkan kemandirian belajar
anak (student centered); sedemikian hingga
muncul suasana yang merangsang tumbuhnya
sifat pembelajaran dengan disiplin diri tinggi
untuk tingkat pendidikan yang lebih lanjut
kelak.
Daftar Pustaka
Berk, Laura E. (2006). Child development 7th
Edition. USA: Pearson International
Edition
Collins, A., Brown, J. S., & Newman, S. (1989).
Cognitive apprenticeship: Teaching the craft
of reading, writing, and mathematics. In L.
B. Resnick (Ed.). Knowing, learning, and
instruction: Essays in honor of Robert Glaser.
Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum
Associates, Inc
Rogoff, Barbara (1995,1998,2003). Observing
sociocultural activity on three planes:
Participatory appropriation, guided
participation, and apprenticeship. In J.V.
Wertsch, P. del Rio, & A. Alvarez (Eds.),
Sociocultural studies of the mind (pp. 139-
164). New York, NY: Cambridge
University Press
Vygotsky, L.S. (1962). Thought and language.
Cambridge, MA: MIT Press. (Original
work published 1934)
Vygotsky, L.S. (1978). Mind in society: The
development of higher psychological
processes. Cambridge, MA: Harvard
University Press
Wilson, B., & Cole, P. (1994, April). An
instructional-design review of cognitive
teaching models. Paper presented at the
meeting of the American Educational
Research Association, Chicago, IL
www.edb.utexas.edu/csclstudent/dhsiao/
theories.html#apprentice (pembacaan
tanggal 15 Mei 2007)
66 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Pembentukan Konsep Diri Siswa
Pembentukan Konsep Diri Siswa
melalui Pembelajaran Partisipatif
(Sebuah Alternatif Pendekatan Pembelajaran di Sekolah Dasar)
Melanie D. Murmanto*)
*) Guru SDK 1 BPK PENABUR Jakarta
Opini
emahaman konsep diri yang positif pada siswa perlu dilaksanakan oleh orang tua maupun
guru dengan penuh tanggungjawab sehingga siswa dapat meraih masa depan yang lebih
baik. Untuk mencapai konsep diri yang positif pada diri siswa, belajar dinamik serta
pembelajaran partisipatif adalah metode dan teknik yang sangat sesuai diterapkan di sekolah,
karena siswa ikut terlibat langsung dalam proses pembelajaran sejak awal perencanaan, strategi
pelaksanaan hingga evaluasi pembelajaran. Belajar dinamik dan pembelajaran partisipatif menjadi
lebih mudah dilaksanakan karena didukung Kurikulum Berbasis Kompetensi yang lebih menekankan
pada proses dan keaktifan siswa dalam kegiatan belajar di sekolah, antara lain: siswa diberi
kesempatan mengkomunikasikan gagasan, menunjukkan kemampuan berpikir kritis serta menunjukkan
motivasi dan percaya diri dalam belajar secara mandiri maupun bekerjasama dalam kelompok.
Dengan terlibatnya siswa dalam seluruh proses kegiatan belajar, berarti siswa menjadi lebih menguasai
materi pelajaran dan siswapun akan mendapat pengalaman berharga saat berinteraksi dengan guru
dan teman-temannya, sehingga sosialisasi dan konsep diri siswa dapat terbentuk secara positif.
Kata kunci : Siswa, guru, konsep diri positif, belajar dinamik, pembelajaran partisipatif, Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK)
Both parents and teachers should develop students self conceptualization to strengt hen their motivation
and self confidence. This article discusses dynamic learning and participative learning as appropriate
methods to be applied at school. These methods enable the students to participate in planning,
implementation, and evaluation process. Students involement in the whole instructional process will
enforce learning experience and improve their learning achievement.
Abstrak
P
Pendahuluan
Aspek fisik setiap anak akan mengalami
pertumbuhan dan perkembangan sejalan
bertambahnya usia mereka. Kemudian terjadi
peningkatan fungsi dari berbagai aspek fisik
tersebut. Bersamaan itu terjadi perkembangan
yang bersifat psikis yang meliputi aspek
psikologis dan sosial. Indikatornya adalah,
mereka lebih bertanggung jawab, mandiri,
mampu beradaptasi, keinginan berkreasi,
mengembangkan kemampuan diri hingga
kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri serta
keinginan untuk dihargai. Aktualisasi diri dan
keinginan dihargai biasanya diperoleh dengan
melakukan berbagai kegiatan yang
menghasilkan suatu jasa atau karya sehingga
mendapatkan suatu prestasi atau prestise yang
memuaskan. Untuk mencapai itu semua, orang
tua, guru dan lingkungan sangat berperan
menumbuhkan kematangan setiap anak (siswa)
sehingga ia dapat menemukan konsep diri yang
mantap. Lingkungan harus mampu menyulut atau
memicu suatu perubahan agar anak mampu
menemukan dan mengembangkan konsep
dirinya.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 67
Pembentukan Konsep Diri Siswa
Soetjipto dan Raflis K (1999) dalam
bukunya “Profesi Keguruan” mengemukakan,
guru merupakan jabatan yang melibatkan
kegiatan intelektual. Artinya di dalamnya terjadi
proses pembelajaran berbagai aktivitas yang
dilakukan untuk daya intelektual siswa. Jabatan
guru lebih mementingkan sisi pelayanan. Dalam
perspektif ini, aktivitas mengajar mengandung
nilai sosial yang tinggi sehingga dapat
mempengaruhi kehidupan siswa untuk meraih
masa depan yang lebih baik.
Mengingat peran guru dalam proses
pembelajaran sangat berpengaruh pada
intelektual, emosional dan spiritual anak
sehingga akhirnya menentukan kualitas masa
depan anak, maka sangatlah bijak apabila guru
mengenal perkembangan anak sesuai dengan
usianya. Dengan demikian guru dapat
melakukan proses pembelajaran dengan
mengikuti kebutuhan
siswanya.
Elizabeth B. Hurlock
(1980) dalam bukunya
“ P s i k o l o g i
P e r k e m b a n g a n ” ,
menegaskan bahwa,
kematangan dan belajar
memainkan peran
penting dalam
p e r k e m b a n g a n .
Kematangan atau
maturity adalah
terbukanya sifat-sifat bawaan individu.
Kematangan memberikan bahan dasar untuk
belajar dan menentukan pola-pola umum dan
urutan-urutan perilaku yang lebih umum.
Belajar adalah perkembangan yang berasal dari
latihan dan usaha pada pihak individu.
Konsep diri terbentuk secara positif apabila
orang tua dan guru banyak memberi
penghargaan terhadap usaha yang telah
dilaksanakan sesuai tugas yang diterima anak.
Dengan melibatkan dalam pelaksanaan proses
pembelajaran akan membuat anak merasa
dihargai, dapat mengaktualisasikan dirinya dan
pasti akan membentuk konsep diri yang baik.
Singgih D. Gunarso (2002), mengemukakan
untuk membentuk konsep diri siswa yang baik
perlu dipersiapkan sebuah kurikulum yang
meliputi aspek kognitif, psikomotorik dan afektif.
Siswa harus dibiasakan belajar dengan aktivitas
sendiri dan bukan secara pasif mengharapkan
“hasil kunyahan” dari guru
Untuk itulah artikel ini mencoba memberi
gagasan-gagasan konstruktif agar konsep diri
siswa dapat dibentuk melalui sebuah
pendekatan pembelajaran partisipatif.
1. Pengertian Konsep Diri
Menurut Adi W. Gunawan (2005), yang
menyebut dirinya seorang Re-Educator dan Mind
Navigator mengatakan konsep diri diibaratkan
sebagai sebuah sistem yang menjalankan
komputer mental yang mempengaruhi
kemampuan berpikir seseorang. Konsep diri
yang telah ter-install akan masuk ke pikiran
bawah sadar dan mempunyai bobot pengaruh
sebesar 88% terhadap level kesadaran seseorang.
Semakin baik konsep diri maka akan semakin
mudah seseorang untuk berhasil.
Konsep diri seseorang dapat dilihat dari
sikap mereka. Konsep diri yang jelek akan
mengakibatkan rasa
tidak percaya diri, tidak
berani mencoba hal-hal
baru, tidak berani
mencoba hal-hal yang
menantang, takut gagal,
takut sukses, merasa diri
bodoh, rendah diri,
merasa tidak berharga,
merasa tidak layak untuk
sukses, pesimis, dan
masih banyak perilaku
inferior lainnya.
Sebaliknya orang yang konsep dirinya baik akan
selalu optimis, berani mencoba hal-hal baru,
berani sukses, berani gagal, percaya diri,
antusias, merasa diri berharga, berani
menetapkan tujuan hidup, bersikap dan berpikir
positif, dan dapat menjadi seorang pemimpin
yang handal.
Sedangkan Jacinta F. Rini (2002),
mengartikan konsep diri secara umum sebagai
keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang
terhadap dirinya. Seseorang dikatakan
mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini
dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak
berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak
kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak
disukai dan kehilangan daya tarik terhadap
hidup. Sebaliknya seseorang dengan konsep diri
positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya
diri dan selalu bersikap positif terhadap segala
sesuatu, juga terhadap kegagalan yang
dialaminya.
...untuk membentuk
konsep diri siswa yang baik
perlu dipersiapkan sebuah
kurikulum yang meliputi
aspek kognitif, psikomotorik
dan afektif.
68 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Pembentukan Konsep Diri Siswa
2. Proses Pembentukan Konsep Diri
Proses pembentukan konsep diri dimulai sejak
masih kecil. Masa kristis pembentukan konsep
diri adalah saat anak masuk sekolah dasar.
Mengutip pendapat Glasser, seorang pakar
pendidikan dari Amerika, Adi Gunawan
menyatakan bahwa lima tahun pertama di SD
akan menentukan “nasib” anak selanjutnya.
Pendapat ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan Jacinta F. Rini. Ia berpendapat,
konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak
masa pertumbuhan seseorang manusia dari kecil
hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan
pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap konsep diri yang
terbentuk. Sikap atau respon orang tua dan
lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi
anak untuk menilai siapa dirinya.
Oleh sebab itu, seringkali anak-anak yang
tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang
keliru dan negatif atau pun lingkungan yang
kurang mendukung, cenderung mempunyai
konsep diri negatif. Jadi, anak menilai dirinya
berdasarkan apa yang dialami dan apa yang
diperoleh dari lingkungan. Jika lingkungan
memberikan sikap yang baik dan positif, maka
anak akan merasa dirinya cukup berharga
sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif.
3. Belajar dinamik
Melibatkan siswa dalam aktivitas pembelajaran
bukan hanya sekedar siswa mendengarkan,
melaksanakan tugas, dan berakhir dengan
penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa
dalam penguasaan materi. Namun lebih dari itu
dinamakan dengan belajar dinamik.
Belajar dinamik sifatnya sangat kompleks,
karena menyangkut lahirnya sumber-sumber
energi psikis, yang seolah-olah merupakan
bahan bakar yang memberikan kekuatan dan
dorongan kepada orang untuk melakukan
berbagai aktivitas, di antaranya kegiatan belajar.
Sumber-sumber energi psikis itu adalah
kemauan, sikap, motif dan perasaan. Di dalam
belajar dinamik, dibentuk kemauan, sikap, motif
dan modalitas perasaan, yang semuanya
mengambil bagian dalam pembentukan watak.
Jika konsepsi dari WS. Winkel ini benar-benar
dihayati, maka sepertinya ada titik temu dengan
orientasi dari kurikulum 2004 atau Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) yang lebih
menekankan pada proses dan keaktifan siswa.
Dengan demikian aktivitas pembelajaran dapat
dipersiapkan bersama-sama (guru dan siswa),
mulai dari penentuan materi pelajaran, aktivitas
yang sesuai untuk mencapai tujuan sampai pada
tahapan evaluasi. Semua kegiatan ini
diharapkan dapat membangkitkan semangat
belajar siswa. Ketika terjadi interaksi dengan
guru serta teman-temannya dapat menjadi
sebuah pengalaman berharga dalam upaya
membentuk perilaku, watak, kepribadian,
konsep diri yang baik.
Di dalam Kurikulum 2004 dirumuskan
suatu standar kompetensi lintas kurikulum.
Kompetensi-kompetensi itu siswa dapat: (1)
menggunakan bahasa untuk memahami,
mengembangkan dan mengkomunikasikan
gagasaan serta informasi sehingga dapat
berinteraksi dengan orang lain; (2) menunjukkan
kemampuan berpikir konsekuen, berpikir lateral,
berpikir kritis, memperhitungkan peluang dan
potensi, serta siap untuk menghadapi berbagai
kemungkinan; dan (3) menunjukkan motivasi
dan percaya diri dalam belajar, mampu bekerja
mandiri, dan mampu bekerja sama dengan orang
lain.
4. Pembelajaran Partisisipatif
Pembelajaran partisipatif memiliki prinsip
tersendiri dalam kegiatan belajar mengajar.
Prinsip utama adalah siswa atau peserta didik
memiliki kebutuhan belajar, memahami teknikteknik
belajar, dan berperilaku belajar. Dari sisi
guru, ia harus menguasai metode dan teknik
pembelajaran, memahami materi, berperilaku
membelajarkan anak didik. Sudjana (2001)
dalam bukunya “Metode dan Teknik
Pembelajaran Partisipatif” memaparkan enam
tahapan kegiatan yang berurutan dalam
pelaksanaan pembelajaran partisipatif, yaitu
pembinaan keakraban; identifikasi kebutuhan
dan sumber serta kemungkinan hambatan;
perumusan tujuan belajar; penyusunan
program kegiatan belajar; pelaksanaan kegiatan
pembelajaran; dan evaluasi.
a. Tahap pembinaan keakraban
Tahap ini bertujuan membangun sebuah
kondisi agar peserta didik siap melakukan
kegiatan pembelajaran. Terciptanya
suasana yang akrab di antara peserta didik
memungkinkan dikembangkan sikap
terbuka, saling mempercayai, dan saling
menghargai. Dalam kegiatan belajar
(diskusi), siswa diberi kesempatan untuk
mengeluarkan pendapat, bertanya dan
menjawab pertanyaan sehingga ia merasa
kehadirannya dihargai.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 69
Pembentukan Konsep Diri Siswa
Apabila langkah ini berjalan dengan baik,
siswa akan merasa bahwa keberadaan
dirinya tidak sia-sia. Penulis yakin dalam
diri siswa akan tertanam konsep diri positif.
Dengan demikian ia siap untuk terlibat
secara aktif dalam proses pembelajaran.
b. Tahap Identifikasi Kebutuhan, Sumber dan
Hambatan
Tahap ini pendidik melibatkan siswa
mengenali, menyatakan, dan merumuskan
kebutuhan belajar, sumber-sumber yang
tersedia dan hambatan yang mungkin
dihadapi dalam kegiatan belajar. Tujuan
adalah memotivasi peserta didik agar
kegiatan belajar itu dirasakan menjadi
miliknya. Siswa harus didorong untuk
menyatakan kebutuhan belajar,
pengalaman belajar seperti apa yang
mereka inginkan.
Jika langkah ini berjalan dengan baik, siswa
akan merasa bahwa apa yang menjadi
kebutuhannya bisa terpenuhi. Dengan
demikian dalam siswa ada sense of belonging
terhadap apa yang akan dilaksanakan
dalam pembelajaran. Rasa memiliki
merupakan salah satu indikator bahwa
seseorang mempunyai konsep diri positif.
c. Tahap Perumusan Tujuan Belajar
Kegiatan dalam tahap ini ditandai oleh
keikutsertaan peserta didik dalam
menentukan tujuan belajar yang akan
dicapai. Perumusan tujuan belajar atau
hasil belajar untuk memotivasi peserta
didik. Tujuan belajar berfungsi pula sebagai
pengarah kegiatan belajar dan sebagai tolok
ukur efektivitas pembelajaran.
Dalam kurikulum 2004 dinamakan dengan
kompetensi, sedangkan menurut
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
dinamakan dengan indikator.
Melalui tujuan belajar yang jelas dan
terarah, apalagi siswa juga dilibatkan
dalam merumuskan tujuan itu, maka siswa
merasa bahwa semua aktifitas yang akan
dilaksanakan adalah dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditentukan
sendiri. Dalam tataran yang lebih luas,
siswa akan mampu menentukan tujuan
hidup yang akan dicapai.
d. Tahap Penyusunan Program Kegiatan
Belajar
Tujuan yang terkandung dalam tahap
kegitan ini adalah supaya peserta didik
dapat memiliki pengalaman bersama dalam
menyatakan, memilih, menyusun, dan
menetapkan program kegiatan belajar yang
akan mereka tempuh. Penyusunan program
kegiatan belajar dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik-teknik pembelajaran
seperti diskusi kelompok, analisis tugas,
simulasi, presentasi.
Konsep diri yang terbentuk dalam tahap ini
adalah, siswa bertanggung jawab atas
pilihan berbagai program dan kegiatan
yang telah ditentukan bersama.
e. Tahap Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran
Tahap pelaksanaan kegiatan pembelajaran
ditandai oleh keikutsertaan peserta didik
dalam pengelolaan kagiatan pembelajaran.
Keiikutsertaannya diindikasikan melalui
tugas dan tanggung jawab. Tugas peserta
didik adalah belajar, sedangkan tanggung
jawabnya melibatkan diri secara intens
dalam proses pembelajaran sesuai
kesepakatan bersama pada saat
penyusunan program.
Teknik-teknik pembelajaran yang dapat
digunakan dalam tahap ini misalnya
dengan tanya jawab, diskusi, analisis
masalah, studi kasus, kunjungan studi,
simulasi, bermain peran.
Konsep diri yang terbentuk melalui tahap
ini adalah, siswa mengerti dan
menginternalisasikan dalam dirinya apa
yang menjadi tugas dan
tanggungjawabnya. Siswa tahu apa yang
harus diperbuat.
f. Tahap Evaluasi
Kegiatan pembelajaran pada tahap ini
ditandai dengan keterlibatan peserta didik
dalam penilaian. Penilaian merupakan
upaya mengumpulkan, mengolah, dan
menyajikan data atau informasi mengenai
kegiatan pembelajaran sebagai masukan
untuk mengambil keputusan. Aspek
kegiatan yang dinilai meliputi proses, hasil,
dan pengaruh kegiatan pembelajaran.
Penilaian terhadap proses bertujuan untuk
mengetahui tingkat kesesuaian antara
pelaksanaan kegiatan pembelajaran
dengan rencana yang telah ditetapkan.
Penilaian hasil mencakup perubahan
tingkah laku seperti pengetahuan,
keterampilan, sikap, dan nilai yang telah
diperoleh perserta didik. Penilaian
pengaruh untuk mengetahui sejauh mana
hasil belajar mempunyai dampak terhadap
kehidupan peserta didik.
70 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Pembentukan Konsep Diri Siswa
Konsep diri yang terbentuk melalui
kegiatan evaluasi adalah, siswa tahu
kelebihan dan kekurangan yang ada pada
dirinya. Kelebihan yang ada terus
dipertahankan dan kekurangannya harus
dicari jalan pemecahannya. Berpijak dari
pemahaman ini siswa akan mampu
menemukan serangkaian langkah konkret
supaya kelebihan yang ada dapat
dipertahankan, sedangkan kekurangannya
dapat dihilangkan. Misalnya, mencoba halhal
baru, berani sukses, dan juga berani
gagal.
Oleh karena itu, guru hendaknya kreatif
untuk mendesain sebuah proses pembelajaran
yang mampu mencapai kompetensi lintas
kurikulum tersebut. Secara konkrit penulis
mencoba memberi gagasan aplikatif
pembelajaran partisipatif di sekolah dasar
seperti berikut.
Aplikasi Pembelajaran Partisipartif di Sekolah
Dasar
1. Kelas : 5 Sekolah Dasar
2. Bidang Studi : Ilmu Pengetahuan Sosial
3. Kompetensi : Siswa mampu mendeskripsikan
kerajaan dan peninggalan
masa Hindu, Budha, dan Islam
di Indonesia
4. Hasil Belajar :
a. Siswa dapat mengidentifikasi kerajaan dan
peninggalan Hindu di Indonesia
b. Siswa dapat mengidentifikasi kerajaan dan
peninggalan Budha di Indonesia
c. Siswa dapat mengidentifikasi kerajaan dan
peninggalan Islam di Indonesia
5. Pokok Bahasan: Kerajaan Hindu, Budha, dan
Islam di Indonesia
6. Waktu : 2 x 40 menit
Kegiatan Perencanaan Pembelajaran
1. Guru harus memahami terlebih dahulu
kompetensi dasar dan hasil belajar yang
harus dikuasai oleh siswa.
2. Guru menyiapkan sumber belajar.
Dari kompetensi dan hasil belajar yang
harus dikuasi siswa tersebut, guru memilih
sumber belajar. Sumber belajar yang dipilih
adalah Buku Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas
5 Sekolah Dasar, terbitan Grasindo, Jakarta.
3. Guru menentukan materi esensial.
Dari pokok bahasan tersebut di atas, guru
harus menentukan materi-materi esensial
yang memang mendukung penguasaan
kompetensi dan hasil belajar siswa. Materi
esensial itu seperti berikut.
a. Kerajaan Hindu di Indonesia
Kutai di Kalimantan Timur, pendirinya
Kudunga, rajanya yang terkenal
Mulawarman.
Tarumanegara di Jawa Barat, dipengaruhi
oleh Purnawarman.
Kediri di Jawa Timur, rajanya Jayabaya
dan Kertajaya.
Singasari di Jawa Timur, rajanya Ken
Arok dan Kertanegara.
Majapahit di Jawa Timur, rajanya Raden
Wijaya, Hayam Wuruk
Peninggalan Hindu
Seni Bangunan : Candi Prambanan,
Candi Jago, Singasari, Jawi, Kidal
Seni ukir : Ukiran arca (patung)
Siwa, Durga, Ganesha.
Karya Sastra : Kitab Smaradhabara
karangan Empu Dharmaja.
Kitab Negarakertagama karangan Empu
Prapanca.
Kitab Sutasoma karangan Empu Tantular.
b. Kerajaan Budha di Indonesia, uraian
seperti poin a dengan materi berbeda.
c. Kerajaan Islam di Indonesia, uraian
seperti poin a dengan materi berbeda.
Reni, Akbar Hawadi (2003) mengemukakan,
belajar dari berbagai sumber memperkaya
pengetahuan, menambah pemahaman serta
penguasaan siswa terhadap suatu materi.
Berpijak dari pendapat tersebut maka guru harus
mencari sumber-sumber lain untuk memperkaya
materi. Bisa juga sumber materi berasal dari siswa
sendiri yang dibawa dari rumah atau
perpustakaan. Dengan kegiatan ini siswa
bertanggung jawab terhadap tugasnya. Karena
mampu melaksanakan tugasnya, dalam diri
siswa ada rasa dipercaya karena apa yang
mereka cari dimanfaatkan oleh seluruh kelas.
Strategi Pelaksanaan
Pembelajaran
a. Siswa Melaksanakan Tugas Kelompok
Siswa membentuk kelompok, setiap kelompok
terdiri atas 5 siswa. Tugas kelompok adalah
mencari informasi tentang Kerajaan Hindu,
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 71
Pembentukan Konsep Diri Siswa
Budha, dan Islam di Indonesia dari buku sumber
yang dibawa dari rumah atau yang telah
disediakan oleh guru. Dari buku sumber tersebut
siswa merangkum materi yang dianggap
penting dan menuliskannya pada selembar
kertas. Dapat juga masing-masing siswa
merangkum materi dari rumah, kemudian
dibawa ke sekolah dan mendiskusikan dalam
kelompoknya sehingga tersusun menjadi suatu
rangkuman materi untuk kelompok tersebut.
Jika dalam satu kelas ada 6 kelompok, maka
sudah terkumpul 6 proyek berupa rangkuman
singkat. Kemungkinan ada rangkuman materi
yang sama antara kelompok yang satu dengan
yang lain. Maka perlu ditentukan materi yang
dianggap lengkap dan menambah informasi
baru dari pokok materi yang sedang dibahas
dengan persetujuan seluruh kelompok melalui
pembahasan bersama-sama di dalam kelas.
Untuk menentukan kelompok yang lengkap dan
kaya informasi baru dapat ditempuh dengan
cara: (1) Setiap kelompok yang diwakili oleh
seorang siswa mempresentasikan rangkuman
kelompoknya di depan kelas; (2) Setelah semua
kelompok selesai presentasi, siswa dalam kelas
langsung membahas bersama dan menentukan
rangkuman dari kelompok mana yang akan
diambil sebagai materi tambahan. Usahakan
penentuan tersebut dilakukan secara demokratis
dengan alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan; (3) Berdasarkan 6
rangkuman yang telah dibahas bersama,
terkumpullah sebuah rangkuman yang
digunakan sebagai materi tambahan yang akan
disatukan dengan materi yang diberikan oleh
guru sehingga menjadi sebuah materi yang
wajib dipelajari dan sesuai dengan kurikulum
dan silabus serta tema semester/bulan tersebut.
Contoh materi tambahan dari siswa dapat
dilihat seperti ini.
Peninggalan sejarah bercorak Hindu.
1. Nenek moyang kita mempunyai kepercayaan
Animisme dan Dinamisme, kemudian
menjadi Politeisme.
2. Patung Trimurti adalah tiga dewa utama:
Dewa Brahma (pencipta), Wisnu
(pemelihara) dan Syiwa (perusak).
3. Prasasti batu yang bertuliskan catatan
kejadian sejarah, dituliskan dengan huruf
Pallawa dalam bahasa Sansekerta.
Konsep diri yang terbentuk melalui kerja
kelompok adalah, bahwa setiap siswa
bertanggung jawab terhadap keberhasilan
kelompok. Bukan berpikir untuk keberhasilan
dirinya. Yang sangat penting adalah, jika materi
tambahan yang dibahas dalam tugas kelompok
itu menjadi bagian dari materi utama, siswa
merasa bahwa jerih payahnya dihargai.
b. Presentasi Materi dari Guru dan Siswa
Materi yang telah disiapkan oleh guru dan materi
tambahan yang telah disiapkan siswa adalah
materi wajib untuk dipelajari bersama. Semua
materi tersebut diketik oleh guru dan
diperbanyak, kemudian dibagikan kepada
semua siswa. Strategi pembelajaran yang dapat
dilakukan, materi yang dipersiapkan guru
dijelaskan oleh guru sendiri dan materi dari hasil
kontribusi siswa dijelaskan oleh siswa atau yang
ditunjuk untuk mewakilinya.
Supaya lebih jelas lagi, guru mengulangi
seluruh materinya sampai siswa mengerti benar.
Dalam sesi ini dapat dilakukan tanya jawab atau
diskusi. Pastikan guru menggunakan berbagai
alat peraga atau media untuk memperkuat daya
ingat siswa.
Konsep diri yang dapat terbentuk melalui
kegiatan presentasi ini adalah siswa memiliki
rasa percaya diri yang tinggi. Mengapa? Karena
materi tambahan digunakan sebagai materi
wajib, dan siswa diberi kesempatan untuk
mempresentasikannya.
c. Evaluasi Pembelajaran
Dari materi wajib yang telah ditentukan, setiap
kelompok berkumpul untuk membuat
pertanyaan-pertanyaan tertulis dengan soal
pilihan, isian, dan uraian). Setiap kelompok
diberi batasan materi sehingga pertanyaan tidak
keluar dari konteks. Misalnya kelompok 1 – 2
pertanyaannya tentang kerajaan Hindu,
kelompok 3 – 4 kerajaan Budha dan kelompok 5
– 6 kerajaan Islam. Semua pertanyaan yang telah
dibuat oleh setiap kelompok dikumpulkan dan
kembali dibahas secara demokratis untuk
menentukan soal-soal yang akan dipakai dalam
evaluasi.
Terkumpullah soal evaluasi, misalnya:
1. Kerajaan Kutai dipimpin raja bernama ....
A. Jayabaya B. Ken Arok C. Mulawarman.
2. Mahapatih Gajah Mada berasal dari kerajaan
....
A. Kediri B. Majapahit C. Singasari
3. Kepercayaan yang dianut oleh nenek
moyang kita adalah ....
72 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Pembentukan Konsep Diri Siswa
A. Animisme B. Islam C. Hindu
4. Dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa adalah 3
dewa utama yang disebut ….
A. Trisakti B. Triwarna C. Trimurti
5. Dan seterusnya
Soal evaluasi yang telah dibuat oleh siswa
(± 25%) digabung dengan soal evaluasi yang
disusun guru (± 75%) menjadi sebuah “bank
soal” kecil-kecilan. Diharapkan saat ulangan
siswa dapat mengerjakan dengan antusias dan
percaya diri karena sebagian materi dan soal
evaluasi merupakan kontribusi dari siswa
sendiri.
Dengan percaya diri maka akan membentuk
konsep diri yang positif pada siswa. Dalam
dirinya ada keyakinan bahwa ia dapat
menyelesaikan soal-soal evaluasi karena ia
sendiri yang membuatnya.
d. Tempat, Waktu dan Metode
Ketika melaksanakan tugas kelompok atau
diskusi untuk menentukan materi/evaluasi;
tempat dapat dipilih di dalam kelas,
perpustakaan, halaman sekolah yang nyaman
atau di bawah pohon yang teduh. Alokasi waktu
penyampaian tergantung banyak dan sedikitnya
materi yang akan disampaikan kepada siswa.
Biasanya jumlah tatap muka atau pertemuan
dengan siswa untuk sebuah pokok bahasan
telah ditentukan dalam struktur kurikulum/
silabus. Namun demikian harus juga
disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan
serta kemampuan siswa.
Metode yang digunakan sangat variatif. Di
sini ada kerja kelompok, diskusi, pemberian
tugas belajar dan resitasi; khususnya saat
membuat rangkuman materi dan soal evaluasi.
Berbagai metode tersebut digunakan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan,
memupuk inisiatif dengan kegiatan yang
berguna dan konstruktif.
Dalam artikel ini penulis mengembangkan
metode tersebut dengan lebih menitikberatkan
sasaran pembelajaran pada pembentukan rasa
percaya diri dan rasa dihargai melalui kerja
kelompok. Ini semua akan membentuk konsep
diri yang positif karena siswa sanggup
melaksanakan tugasnya. Guru harus
mempunyai asumsi positif bahwa setiap anak
pada dasarnya mampu mengerjakan tugas yang
menjadi tanggungjawabnya.
e. Diversifikasi Sasaran
Selain aplikasi yang sudah penulis paparkan di
atas, kegiatan pembelajaran dapat didesain
dengan kegiatan tambahan yang lebih menarik
dengan tujuan menguatkan daya ingat siswa
terhadap materi pelajaran yang sedang
dipelajari, sekaligus menyalurkan beberapa
bakat siswa. Konsep ini oleh penulis disebut
dengan diversifikasi sasaran. Misalnya aspek
bahasa; siswa dapat membuat puisi, aspek
apresiasi seni musik; siswa dapat mengubah syair
lagu, bisa lagu daerah atau lagu-lagu yang
sedangkan populer; aspek grafis; dapat
menggambar. Pengembangan sasaran tersebut
tetap berada pada kerangka atau frame materi
yang dibahas.
Diversifikasi sasaran itu sangat sesuai
dengan apa yang dinamakan dengan quantum
teaching. Oleh De Porter (2003) mengartikan
quantum teaching sebagai orkestrasi bermacammacam
interaksi yang ada di dalam dan di
sekitar momen belajar. Interaksi-interaksi ini
mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif
yang mempengaruhi kesuksesan siswa.
Interaksi-interaksi ini mengubah kemampuan
dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang
akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi
orang lain. Bakat yang teraktualisasi dapat
menjadi sugesti yang ampuh bagi siswa. Prinsip
semacam ini tergambar jelas dalam quantum
learning. Quantum learning prinsipnya adalah
bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi
hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun
memberikan sugesti positif dan juga negatif.
Aktivitas membuat puisi, mengubah syair lagu
dan menggambar yang berkaitan dengan materi
yang sedang dipelajari merupakan bagian dari
momen belajar. Dengan bakat yang dimiliki
siswa, dapat menjadi faktor pendukung
keberhasilan menguasai materi pelajaran. Ia bisa
memberi sugesti pada setiap siswa bahwa
dirinya mampu melakukannya. Lagi-lagi konsep
dirinya akan kemampuannya yang beragam
dalam belajar terbentuk. Siswa mampu membuat
puisi, syair, bahkan menggambar.
Berikut ini penulis berikan contoh puisi,
syair lagu, dan gambar sebagai wujud dari
tahapan diversifikasi sasaran tersebut di atas.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 73
Pembentukan Konsep Diri Siswa
1) Puisi
2) Syair lagu
Syair lagu Lenggang-Lenggang
Kangkung dapat diubah syairnya sesuai
dengan materi pelajaran. Di sinilah
kompetensi guru untuk membawa siswa
menghubungkan suatu lagu dengan
materi pelajaran sangat diperlukan.
3) Gambar
Melalui kegiatan menggambar yang
berkaitan dengan materi pelajaran,
misalnya siswa menggambar tokoh
Sidharta Budha Gautama dan Sultan
Agung, siswa mendapat kepuasan
tersendiri dalam menyalurkan
bakatnya, sekaligus menimbulkan rasa
bangga terhadap kemampuan yang
dimilikinya. Pada akhirnya, membentuk
konsep diri yang
positip, bahwa
dirinya mampu
m e l a k u k a n
kegiatan kreatif
dalam kaitannya
dengan pelajaran.
Selain itu
siswa dapat
belajar akan nilainilai
hidup yang
ada dari ke dua
tokoh masyhur
itu. Nilai-nilai
k e b e r a n i a n ,
kebenaran, sosial,
kedamaian yang ada di kedua tokoh itu
bisa menjadi tambahan yang berguna
untuk membentuk konsep diri siswa
yang positif.
Menampilkan ekspresi dari bakat siswa
dengan mengkaitkan materi pelajaran akan
memberi beberapa keuntungan, antara lain: (l)
secara umum siswa memiliki keterampilan
tambahan pada saat melakukan eksperimen
membuat puisi, syair lagu dan menggambar; (2)
secara khusus siswa yang memang telah bakat
di bidang tersebut akan mendapat kepuasan
batin saat menuangkan ekspresinya; (3) memori
siswa bertambah dan semakin kuat karena terus
berhubungan dengan materi tersebut.
Lenggang-Lenggang Kangkung
Lenggang-lenggang kang kung kang kung di ke bon pa la
De wa brah ma de wa wis nu dan de wa syi wa 2x
Se mu a di ke nal de ngan pa tung tri mur ti
Na sib sung guh ber untung punya ke ka sih su ka ter ta wa
Can di pram ba nan ja wi se ni ba ngu nan a ga ma hin du 2x
Pa tung si wa ga ne sha dur ga di se but se ni u kir nya
Lenggang-lenggang kang kung kang kung da ri se ma rang
Ki tab su ta so ma o leh em pu tan tu lar 2x
Ne ga ra ker ta gama o leh em pu pra pan ca
Na sib ti dak ber un tung pu nya ke ka sih di re but o rang
Ha yam wu ruk ra ja nya dan ga jah ma da ma ha pa tih nya 2x
Ba ha sa san se ker ta hu ruf pa la wa ba tu pra sas ti
Kerajaan di Indonesia
Pedagang India ke Indonesia sebarkan agama Hindu
Majapahit kerajaan bercorak Hindu
Gajah Mada mahapatih dan Raden Wijaya, Hayam Wuruk rajanya
Agama Buddha dari India, pengajarnya Sidharta Gautama
Candi Borobudur warisan yang dibangun Samaratungga
Sriwijaya kerajaan bercorak Budha
Penyebar Islam di Indonesia para wali sanga
Nabi Muhammad sumber pengajarannya
Kerajaannya Samudra Pasai, Mataram, Demak, dan Banten
74 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Pembentukan Konsep Diri Siswa
Aplikasi pendekatan pembelajaran yang
sudah penulis uraikan di atas tidak hanya
terbatas pada materi pengetahuan sosial,
melainkan dapat diterapkan pada berbagai
pelajaran lainnya seperti IPA, PKn, Agama.
Penutup
Sudah disebutkan di atas bahwa pembentukan
konsep diri anak dimulai sejak masa kecil. Dan
lingkungan sekolah memberi kontribusi yang
sangat besar. Karena itulah lingkungan sekolah
khususnya lingkungan kelas harus
menyediakan serangkaian suasana belajar yang
membantu pembentukan konsep diri anak.
Suasana belajar yang dimaksud adalah berbagai
pendekatan pembelajaran yang dapat
merangsang pembentukan konsep diri.
Pendekatan pembelajaran itu salah satunya
adalah pembelajaran partisipatif. Dengan
melibatkan siswa dalam sebuah aktivitas
pembelajaran jauh lebih baik dan
menguntungkan daripada hanya sekedar
melaksanakan instruksi guru untuk melihat,
mengamati, membaca, mempelajari atau
mengambil kesimpulan, karena dengan
keterlibatan siswa secara langsung akan
menghasilkan pengalaman yang berharga.
Keterampilan dan kematangan berpikir, sikap
terhadap sesama terutama saat berinteraksi
semakin terbentuk.
Dengan bersama-sama bekerja, membahas
materi pelajaran yang akan digumuli terasa lebih
dinamis. Dalam diri siswa akan timbul pancaran
semangat secara jasmani maupun psikis (jiwa).
Dalam diri siswa ada totalitas keterikatan yang
massif. Anak-anak berkembang karena jaringan
kerja antarmanusia, benda-benda dan peristiwa
yang mewarnai kehidupan mereka.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional (2004).
Kurikulum 2004 Standar Kompetensi.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
De Porter, dkk (2000). Quantum learning.
Bandung: Kaifa
De Porter, dkk. (2003). Quantum teaching.
Bandung: Kaifa
Dunne R. (1996). Pembelajaran efektif. Jakarta:
Grasindo
Gardner, Howard. (1993). Multiple intelligence.
New York: Basic Books
Gunarsa, Singgih. (2002). Psikologi untuk
membimbing. Jakarta: Gunung Mulia
Gunawan, Adi W. (2005). Konsep diri positif:
Kunci keberhasilan hidup. (http:/
www.tempakul.com)
Jacinta, Rini F. (2002). Konsep diri. http://
www.e-psikologi.com/
Hawadi, Akbar, Reni. (2003). Psikologi
perkembangan Anak. Jakarta: Grasindo
Hurlock B. Elizabeth. (1980). Perkembangan
psikologi. Jakarta: Erlangga
Raflis K , dan Soetjipto. (1999). Profesi keguruan.
Jakarta: Rineka Cipta
Sujana. (2001). Metode dan teknik pembelajaran
partisipatif. Bandung: Rosdakarya
Stein, Steven J, dkk. (2002). Ledakan EQ. Bandung:
Kaifa
Winkel, W.S. (1997). Bimbingan dan konseling di
Institusi Pendidikan. Jakarta: Grasindo
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 75
Telaah Kritis Terhadap Tugas dan Tanggung Jawab Jabatan Pendeta Sekolah
Telaah Kritis Terhadap Tugas dan Tanggung Jawab
Jabatan Pendeta Sekolah di Lingkungan BPK PENABUR
Djudjun Djaenuddin Supriadi*)
*) Kepala Bidang Kerohanian BPK PENABUR Jakarta
Opini
ehadiran seorang Pendeta di lingkungan BPK PENABUR telah menjadi kerinduan sejak
lama. Kehadiran tersebut dimungkinkan karena telah menjadi keputusan dalam tingkat
Sinodal pada tahun 1984. Keputusan tersebut juga telah dilengkapi dengan tata laksana
tugas pendeta sekolah. Seiring dengan perjalanan waktu ternyata Tata Laksana tersebut
perlu ditelaah lebih dalam. Tulisan ini merupakan telaah terhadap tugas dan tanggung jawab
jabatan Pendeta Sekolah. Penelaahan pertama-tama dilakukan dengan melihat dokumen-dokumen
yang ada, kemudian penulis mencoba melakukan penelaahan secara kritis terhadap tugas tersebut.
Kata kunci : Pendeta Sekolah, Tata Laksana GKI SW Jabar, Pendidikan Agama Kristen.
The presence of chaplain in BPK PENABUR society has become a longing for long time. This presence could
happen as a result of the decision in the church synod in 1984. The decision is supplemented with the
guidelines of the chaplain role. As the time has been passing by, the guidelines seem need to be analysed in
depth. Based on the document study this article presents some critical review and suggestion on the functions,
tasks, and responsibility of the chaplain.
Abstrak
K
Pendahuluan
Jabatan Pendeta Sekolah di lingkungan BPK
PENABUR sebenarnya telah dimungkinkan
sejak dikeluarkannya keputusan persidangan
Majelis Sinode ke-44 Gereja Kristen Indonesia
Sinode Wilayah (GKI SW) Jabar yang
dilaksanakan di Linggar Jati pada tahun 1986.
Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah
mengapa jabatan yang menurut penulis strategis
dan penuh bermakna tersebut sampai sekarang
kurang diminati oleh para lulusan teologia
utusan Sinode GKI SW Jabar ataupun pendetapendeta
dilingkungan Sinode GKI SW Jabar.
Pertanyaan inilah yang menggelitik penulis
untuk menelusuri dokumen-dokumen yang ada
tentang jabatan pendeta sekolah di lingkungan
GKI SW Jabar khususnya dalam bidang
pelayanan pendidikan melalui Yayasan BPK
PENABUR. Alasan lain adalah untuk
mengetahui bagaimana sejarah Jabatan Pendeta
Sekolah di lingkungan GKI SW Jabar, apa tugas
dan tanggungjawab Pendeta Sekolah. Penulis
lebih menekanan penulisan sejarah, tugas dan
tanggungjawab Pendeta Sekolah di lingkungan
GKI SW Jabar. Penulis juga mencoba untuk
menguraikan sejak kapan gereja terlibat dalam
dunia pendidikan dan juga GKI SW Jabar terlibat
dalam dunia pendidikan. Tulisan ini diakhiri
dengan telaah kritis terhadap jabatan tersebut.
Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah (GKI
SW) Jabar dan Pendidikan
Telah diuraikan oleh penulis dalam Jurnal
Pendidikan: PENABUR No. 04/IV/Juli 2005
dalam judul tulisan Pendidikan Kristiani:
Konsep dan Aplikasinya, bahwa keterlibatan
76 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Telaah Kritis Terhadap Tugas dan Tanggung Jawab Jabatan Pendeta Sekolah
GKI SW Jabar dalam bidang pendidikan secara
lebih serius dan terencana dimulai ketika pada
tanggal 28 Mei 1948 Sinode GKI SW Jabar (masih
memakai nama Sinode Tionghoa Kie Tok Kauw
Hwee Khoe Hwee (THKTKHKH) yang pada waktu
itu berkedudukan di Bandung mengambil
keputusan untuk membentuk suatu panitia yang
pada akhirnya terbentuk Yayasan BPK
PENABUR dengan tujuan:
1. Bekerja di lapangan pendidikan Kristen
Protestan dalam arti seluas-luasnya, di
daerah pekerjaan GKI SW Jabar.
2. Melakukan pekerjaan tersebut terutama
antara bangsa Tionghoa, akan tetapi
bilamana ternyata perlu dan mungkin
bangsa lain pun terhisap dalam tujuannya.
3. Akan mendirikan dan mengurus sekolahsekolah,
kursus-kursus dan sebagainya.
S e d a n g k a n
motivasi dan tujuan
pendirian sekolah
berdasarkan uraian
tulisan yang lalu
adalah sekolah
merupakan selain
tempat pembibitan,
juga tempat
p e m b i n a a n ,
pelayanan dan
kesaksian dan
pemberitaan Injil
dalam bentuk
konkrit dan praktis. Sekolah Kristen bukan
sekedar nama tapi dimaksud sungguh untuk
menghembuskan nafas Kristiani pada segala
tindakan kegiatan pelayanannya.
Bagi gereja, sekolah bukan sekedar menambah
orang-orang Kristen, tetapi menitik-beratkan
kesadaran akan tugas-panggilannya. Gereja
mempunyai tanggungjawab membangun
manusia yang utuh melalui bidang pendidikan.
Bahkan gereja punya tanggungjawab untuk
membentuk manusia yang berkualitas tinggi.
Dengan demikian gereja pun secara langsung
punya peran – serta membina dan membangun
bangsa yang tinggi ilmu dan tinggi moral.
Sejarah Jabatan Pendeta Sekolah di GKI SW
Jabar
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
motivasi dan tujuan GKI SW Jabar mendirikan
sekolah adalah untuk merealisasikan
panggilannya secara konkrit dalam dunia
tempat gereja berada dan ditempatkan
khususnya dalam dunia pendidikan. Motivasi
dan tujuan ini kemudian dinyatakan dalam
bentuk tindakan nyata yaitu membentuk
Yayasan yang mengelola sekolah-sekolah yang
ada dan juga membicarakan masalah
pendidikan dalam setiap Persidangan Majelis
Sinode GKI SW Jabar. Dalam persidangan
tersebut, pendidikan dibicarakan dengan
dibentuknya Sidang Seksi Edukasi. Yang menjadi
pertanyaan adakah masalah-masalah dalam
perealisasian tersebut? Bagaimana jalan
pemecahan dari masalah-masalah tersebut?
Berdasarkan dokumen-dokumen yang ada,
terdapat beberapa hambatan, misalnya yang
muncul dari waktu ke waktu adalah masalah
yang secara singkat disebut sebagai masalah
“nafas Kristen” di
sekolah-sekolah
yang berada di
bawah naungan
GKI SW Jabar.
Banyak orang
turut mempersoalkan
dan
melemparkan
kritik bahwa
m e s k i p u n
sekolah-sekolah
kita mencantum
nama “Kristen”
tetapi pada penyelenggaraan sehari-hari
nampaknya “isi” kekristenan yang sebenarnya
tidak terlalu jelas, tidak nampak bahkan tidak
sesuai. Dan tentu saja untuk menangani masalah
ini perlu penanganan yang serius dan
berkelanjutan.
Masalah lain yang muncul dalam rangka
perealisasian tersebut adalah pandangan yang
tidak seragam tentang Pendidikan Agama
Kristen (PAK) di sekolah. Terhadap
penyelenggaraan PAK, gereja belum mampu
untuk ikut memikirkan masalah perencanaan
maupun pelaksanaan pengajaran agama di
sekolah-sekolah dalam bentuk program yang
menyeluruh dan lengkap. Penanganan gereja
hanya tambal sulam, asal jalan dan tanpa
konsep berkesinambungan dan menyeluruh.
PAK yang seharusnya menjadi tugas dan
tanggung-jawab gereja, namun karena banyak
faktor, di antaranya tidak adanya tenaga khusus
Terhadap penyelenggaraan PAK,
gereja belum mampu untuk ikut
memikirkan masalah perencanaan
maupun pelaksanaan pengajaran
agama di sekolah-sekolah dalam
bentuk program yang menyeluruh
dan lengkap.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 77
Telaah Kritis Terhadap Tugas dan Tanggung Jawab Jabatan Pendeta Sekolah
yang dipersiapkan untuk menangani hal itu,
ternyata tidak dapat dilakukan dengan baik.
Pendeta Sekolah
Untuk menjawab kedua masalah tersebut dalam
persidangan Majelis Sinode GKI SW Jabar yang
diselenggarakan di Binawarga, Cipayung pada
tanggal 19 –22 November 1984, Pdt. Lukito
Handoyo selaku ketua BPMS (Badan Pekerja
Majelis Sinode) melontarkan gagasan agar
adanya jabatan “chaplain” atau “Pendeta
Sekolah”. Secara lengkap dalam persidangan
itu ia mengatakan :
“Dalam hal kita memikirkan hal ini lebih
mendalam, baik secara struktural maupun
fungsional, hal ini menyangkut pula
penempatan tenaga khusus untuk Badan
Pendidikan Kristen Jabar (BPK) guna
mengembangkan pemikiran tersebut
secara khusus pula. Dan untuk itu harus
juga ada perencanaan yang lebih
konsepsional dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Maka sudah
waktunya juga bagi kita memikirkan
menetapkan fungsi “chaplain” atau
“Pendeta Sekolah” dengan pengertian
tidak sempit”.
Gagasan dari Lukito Handoyo ini kemudian
dibahas dalam sidang kelompok dalam
persidangan Majelis Sinode ke- 44 GKI SW Jabar
dan menjadi keputusan persidangan tersebut.
Dari hasil keputusan tersebut dikatakan bahwa:
“Persidangan melihat bahwa Pendeta
Sekolah dibutuhkan di tingkat daerah”
(stilah yang digunakan adalah BPK KPS)
yang berhubungan langsung dengan guruguru
agama, pastoral bagi guru –guru dan
murid-murid, pelaksanaan kebaktian,
kegiatan persekutuan dan pembinaan
mental rohani.
Sungguh pun dalam persidangan ini telah
diputuskan tentang adanya Pendeta Sekolah
tetapi Tata Laksana dari Pendeta sekolah yang
mengatur segi-segi pelayanan Pendeta Sekolah
sehubungan dengan tugasnya di bidang
pendidikan dalam kaitannya dengan gereja,
baru diputuskan dalam Persidangan Majelis
Sinode ke- 44, tanggal 17 – 19 November 1986, di
Linggarjati.
Tugas Pendeta Sekolah dalam
Penggembalaan, Pendidikan Agama
Kristen dan Peribadahan/Pembinaan
Telah diuraikan di atas bahwa dalam
Persidangan Majelis Sinode ke- 44, tanggal 17–
19 November 1986, di Linggarjati telah
diputuskan Tata Laksana Pendeta Sekolah.
Dalam tata laksana tersebut diatur antara lain
apa yang dimaksudkan dengan Pendeta
Sekolah, Bidang Pelayanan Pendeta Sekolah,
Kedudukan Pendeta Sekolah, Kewajiban
Pendeta Sekolah, Masa pelayanan Pendeta
Sekolah, Jaminan Pendeta Sekolah, Persyaratan
Pendeta Sekolah, Pemanggilan Pendeta Sekolah
dan hal-hal lain.
Tulisan ini hanya akan menguraikan
bidang Pelayanan Pendeta Sekolah (lampiran
keputusan PMS GKI (SW) JABAR tahun 1986).
Menurut tata laksana Pendeta Sekolah maka
bidang pelayanan pendeta sekolah terbagi
menjadi empat bagian yaitu :
1. Penggembalaan
Pelayanan Pendeta Sekolah terutama
mengarah pada penggembalaan, yaitu
upaya menerangi persoalan-persoalan
kehidupan dari subjek-subjek yang terlibat
dalam lingkungan sekolah, dengan Terang
Firman Tuhan.
Dalam rangka penggembalaan itu, Pendeta
Sekolah juga memperhatikan segi-segi
kesehatan/kesejahteraan dari subjek-subjek
yang dilayaninya yaitu siswa dan orang
tuanya, guru, karyawan dan pengurus.
Tugas utama Pendeta Sekolah ini
menempatkan ia pada posisi dan fungsi
sebagai gembala dalam lingkungan sekolah
dimana ia melayani, yang bekerjasama
dengan lembaga Bimbingan dan
Penyuluhan Siswa.
2. Pendidikan Agama Kristen.
Pendeta Sekolah bertanggungjawab atas
Pendidikan Agama Kristen (PAK), yaitu
upaya mengajak siswa memahami dan
menghayati nilai-nilai dan iman Kristen.
Dalam rangka Pendidikan Agama Kristen
itu, Pendeta Sekolah memperhatikan segisegi
ajaran, bahan, kurikulum, metode serta
Guru Agama yang melaksanakannya.
Tugas PAK ini menempatkan Pendeta Sekolah
pada posisi dan fungsi selaku
78 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Telaah Kritis Terhadap Tugas dan Tanggung Jawab Jabatan Pendeta Sekolah
koordinator PAK dan Guru Agama di
sekolah-sekolah yang dilayaninya.
3. Falsafah Pendidikan Kristen
Pelayanan Pendeta Sekolah yang lebih luas
di lingkungan BPK Jabar dan Sinode GKI
SW Jabar, mencakup tugas mengembangkan
falsafah pendidikan Kristen, yaitu upaya
memahami pertanyaan-pertanyaan dan
jawaban-jawaban essensial sekitar realitas
kemanusiaan, keilmuan, keagamaan dan
kelembagaan pendidikan, serta upaya
menanamkan dan menumbuhkan nafas
iman Kristen dalam lingkungan BPK Jabar.
Dalam rangka pengembangan falsafah
pendidikan Kristen itu, Pendeta Sekolah
memperhatikan segi-segi makna realitas,
makna pengetahuan dan makna kekristenan
guna memupuk nilai-nilai kekristenan
dalam bangunan falsafah pendidikan
Kristen tersebut.
Tugas filosofis ini menempatkan Pendeta
Sekolah pada posisi selaku fungsionaris
yang bekerja sama dengan orang-orang dan
ahli-ahli lain dalam membangun dan
memberlakukan Falsafah Pendidikan
Kristen itu.
4. Peribadahan dan Pembinaan
Pendeta Sekolah bertugas menyelenggarakan
dan mengkoordinasikan kegiatan
peribadahan sekolah bagi siswa, guru, dan
karyawan sesuai dengan kalender sekolah,
kalender gerejawi, maupun peristiwa
khusus lainnya.
Pendeta Sekolah bertugas menyelenggarakan
pembinaan bagi siswa dalam
kegiatan ekstra kurikuler seperti misalnya
perkemahan, retret dan sejenisnya yang diisi
dengan pembinaan nilai-nilai kehidupan
Kristen serta kecakapan memberlakukannya.
Telaah Kritis
Dari seluruh uraian di atas, ada beberapa hal
yang dapat ditelaah ketika GKI SW Jabar
memutuskan untuk terlibat dalam bidang
pendidikan dengan mendirikan sekolah,
yayasan yang mengelola sekolah dan juga
menempatkan “Pendeta Sekolah”. Pertama-tama
yang ditelaah adalah seluruh uraian tugas
Pendeta berdasarkan Tata Gereja Kristen
Indonesia yang baru, mulai berlaku sejak tahun
2003, dan setelah itu dilakukan penelaahan
terhadap tugas Pendeta Sekolah yang
mencakup penggembalaan, Pendidikan Agama
Kristen, Falsafah Pendidikan, Peribadahan dan
pembinaan berdasarkan Tata Laksana Tugas
Pendeta Sekolah.
Tugas Pendeta Berdasarkan
Tata GKI SW Jabar
1. Pendeta sekolah sebagai pemangku jabatan
gerejawi
Di dalam Tata Dasar GKI, yang merupakan
bagian dari Tata Gereja GKI pasal 9 tentang
kepemimpinan dikatakan: “Jabatan gerejawi
GKI terdiri dari penatua dan pendeta.” Khusus
untuk jabatan pendeta, dilingkungan GKI
dikenal Pendeta Tugas Khusus seperti diatur
dalam Tata Laksana BAB XX Jabatan Gereja
pasal 69 ayat 6., yang berbunyi :
“Jemaat, Klasis, Sinode Wilayah dan Sinode
dapat mempunyai bidang-bidang
pelayanan khusus seperti misalnya
pelayanan dalam bidang keorganisasian
gerejawi, pendidikan, pendidikan theologi,
pembinaan, kesehatan, sosial, dan TNIPOLRI.
Jika dipandang perlu untuk
melaksanakan tugas tersebut dapat
diangkat pendeta tugas khusus.”
Penulis dapat menyimpulkan bahwa
adanya Pendeta Sekolah adalah merupakan
perwujudan dari keperluan Sinode Wilayah.
Pendeta sekolah disini adalah jabatan gerejawi
sebagai pendeta tugas khusus. Yang menjadi
masalah kemudian, gereja dan sekolah adalah
dua institusi yang mempunyai perbedaan.
Gereja ada, karena Kristuslah yang
mendirikannya. Oleh sebab itu Gereja sering
disebut sebagai Tubuh Kristus, tanpa Kristus
tidaklah mungkin Gereja ada dan berdiri.
Sedangkan sekolah sebagai institusi karena
manusialah yang mendirikannya. Memang
harus diakui ketika mendirikan sekolah, Gereja
seharusnya melandasi dengan landasanlandasan
teologis seperti yang dikatakan oleh
Pazmino (1988). Akan tetapi apakah ketika
mendirikan sekolah, GKI SW Jabar telah
melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Pertanyaan yang lain dapatkah dengan adanya
perbedaan tersebut tugas pendeta seperti yang
diatur dalam Tata Laksana pasal 69 ayat 1 yang
mengatur tugas seorang pendeta dapat
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 79
Telaah Kritis Terhadap Tugas dan Tanggung Jawab Jabatan Pendeta Sekolah
dilaksanakan dengan sepenuhnya? Di sinilah
pentingnya peninjauan ulang terhadap Tata
Laksana Pendeta Sekolah. Sebab menurut
penulis Tata Laksana yang ada harus
disesuaikan dengan perkembangan yang ada
pada saat ini. Misalnya apakah kehadiran
pendeta hanya sebagai konseptor atau ia juga
merangkap seorang praktisi (misalnya: menjadi
koodinator guru PAK).
2. Tugas pendeta sekolah.
Di dalam Tata Dasar Tata Gereja GKI pasal 9
ayat 3 Penatua dan Pendeta berfungsi sebagai
pemimpin untuk mewujudkan pembangunan
jemaat. Sedangkan mengenai pembangunan
jemaat dalam pasal 7 Tata Dasar tersebut
dikatakan demikian :
1. Pengertian Dasar.
a. Pembangunan gereja adalah
keseluruhan upaya yang dilakukan oleh
GKI untuk merencanakan dan
melakukan proses-proses perubahan
secara menyeluruh, terpadu, terarah dan
bersinambung pada semua lingkupnya,
yaitu Jemaat, Klasis, Sinode Wilayah
dan Sinode, dalam hubungan timbal
balik dengan masyarakat dimana GKI
hidup dan berkarya.
b. Pembangunan gereja bertujuan agar
jemaat, Klasis Sinode Wilayah dan
Sinode GKI, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama mampu
mewujudkan persekutuan serta
melaksanakan kesaksian dan
pelayanan sesuai dengan kehendak
Allah di dalam Kristus di
lingkungannya masing-masing.
Dari uraian diatas maka jika didalam poin
enam tugas pendeta sekolah melakukan
penggembalaan, Pendidikan Agama Kristen,
mengembangkan Falsafah Pendidikan Kristen,
dan mengembangkan peribadahan dan
pembinaan maka menurut penulis tugas tersebut
adalah dalam rangka perwujudan persekutuan
serta melaksanakan kesaksian dan pelayanan
sesuai dengan kehendak Allah di dalam Kristus
di lingkungan pendidikan (sekolah).
Penelaahan Tugas Pendeta
Berdasarkan Tata Laksana Tugas
Pendeta Sekolah
1. Penggembalaan
Di dalam Tata Laksana Bab XII tentang
Penggembalaan pasal 33 tentang pengertian
pengembalaan dikatakan :
1. Penggembalaan adalah pelayanan yang
dilakukan di dalam kasih untuk
mendukung, membimbing,
menyembuhkan, dan mendamaikan
agar anggota baik secara individual
maupun komunal, hidup dalam damai
sejahtera dan taat kepada Allah.
2. Penggembalaan dilakukan dalam
hubungan-hubungan interaktif antar
individu, antara individu dan
kelompok-lembaga serta antar
kelompok-antar lembaga, dalam
lingkup Jemaat, Klasis, Sinode Wilayah,
dan Sinode.
3. Penggembalaan pada dasarnya merupakan
tanggungjawab setiap anggota
baik individual maupun komunal.
Jika ketiga uraian tentang pengertian
penggembalaan, diperhadapkan kepada
tugas pendeta sekolah yang di dalamnya
melakukan penggembalaan makna pasal
tersebut (pasal 33 ayat 3) menjadi kabur.
Kekaburan ini: Apakah sekolah dan
lembaga (baca: yayasan) dapat disebut
sebuah komunal yang identik dengan
gereja. Jika Pendeta Sekolah melakukan
penggembalaan terhadap anggota keluarga
BPK PENABUR, sejauh mana
penggembalaan itu dilakukan? Kalau
anggota keluarga BPK PENABUR itu juga
anggota jemaat GKI, siapa yang melakukan
penggembalaan Pendeta Sekolah atau
Pendeta dari anggota dimana anggota itu
tercatat sebagai anggota jemaat?
2. Pendidikan Agama Kristen
Dalam Tata Laksana Pendeta Sekolah
dikatakan bahwa tugas Pendeta Sekolah
di bidang PAK adalah: bertanggungjawab
atas Pendidikan Agama Kristen (PAK),
yaitu upaya mengajak siswa memahami dan
menghayati nilai-nilai dan iman Kristen
dengan memperhatikan segi-segi ajaran,
bahan, kurikulum, metode serta Guru
Agama yang melaksanakannya. Tugas PAK
80 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Telaah Kritis Terhadap Tugas dan Tanggung Jawab Jabatan Pendeta Sekolah
ini menempatkan Pendeta Sekolah pada
posisi dan fungsi selaku koordinator PAK
dan Guru Agama di sekolah-sekolah yang
dilayaninya.
Jika tugas ini akan dilakukan maka jelas
kualifikasi seorang Pendeta Sekolah sangat
berat. Ia bukan hanya harus menguasai halhal
yang prinsipil (memperhatikan segi
ajaran) tetapi juga menangani masalahmasalah
yang praktis (mengkoordinir).
Tugas ini harus dipilah sehingga seorang
Pendeta Sekolah lebih fokus kepada hal-hal
prinsipil. Untuk menjaga apakah hal-hal
prinsipil itu terealisasi, maka bisa ditunjuk
semacam staf atau unit yang lain yang
dikoordinir oleh pendeta yang bersangkutan.
3. Falasafah Pen-didikan Kristen
Uraian di atas
juga mencakup
tugas mengembangkan
Falsafah
Pendidikan
Kristen,
yaitu upaya
m e m a h a m i
pertanyaan-pertanyaan
dan
j a w a b a n -
j a w a b a n
essensial sekitar
r e a l i t a s
kemanusiaan,
keilmuan, keagamaan dan kelembagaan
pendidikan, serta upaya menanamkan dan
menumbuhkan nafas iman Kristen dalam
lingkungan BPK PENABUR. Memberikan
falsafah Pendidikan Kristen inilah menjadi
tugas yang sangat penting dan esensial
yang harus dilakukan.
Karena selama ini ada asumsi yang
mengatakan bahwa Yayasan-Yayasan
Kristen yang bergerak di bidang Pendidikan
(mungkin juga BPK PENABUR) hanya
menjadikan nama “Kristen” sebagai
tempelan dan tidak menjadi jiwa serta nafas
dalam kehidupan sehari-hari. Bagi BPK
PENABUR sendiri usaha-usaha untuk tidak
menjadian nama “Kristen” bukan hanya
sebagai tempelan, salah satunya telah
nampak dalam perumusan Visi dan Misi.
Dengan kehadiran seorang Pendeta Sekolah
diharapkan nama “Kristen” nampak secara
nyata dalam seluruh kebijakan dan
peraturan serta sikap sehari-hari seluruh
anggota Keluarga Besar BPK PENABUR
(Pengurus, Guru, Karyawan,dan Siswa).
4. Peribadahan dan Pembinaan
Sama seperti tugas Pendeta Sekolah dalam
PAK, keberadaan Pendeta Sekolah dalam
peribadahan dan pembinaan cenderung
kepada hal-hal praktis bukan prinsipil. Jika
hal ini dilakukan maka seluruh waktu akan
tersita kepada hal-hal yang praktis. Ada
baiknya tugas pokok Pendeta Sekolah jika
ingin fokus maka dalam per-ibadahan dan
pembinaan adalah meng-ejawantahkan
k e p u t u s a n -
k e p u t u s a n
tingkat Sinodal
yang menyangkut
kedua
aspek peribadahan
dan
p e m b i n a a n
untuk bisa
dioprasionalkan
di bawah
( s e k o l a h ,
k a r y a w a n ,
p e n g u r u s ) .
M i s a l n y a
Pendeta Sekolah membuat konsep yang
mendasar tentang bentuk liturgi yang
kreatif dan dapat diterima oleh siswa
dengan tidak kehilangan ciri ke-GKI-annya.
Sedangkan pelaksanaan dalam tingkat
oprasional bisa diserahkan kepada pihak
sekolah. Pendeta Sekolah hanya
memonitoring bagaimana keputusankeputusan
itu dilaksanakan. Tentu saja
untuk mendapat dan mendengar hal yang
terjadi sekali-sekali Pendeta Sekolah bisa
melakukan pembinaan dan memimpin
peribadahan secara langsung tetapi tidak
menjadi tugas pokok dalam bentuk
oprasional.
Kesimpulan
Dengan kehadiran seorang Pendeta
Sekolah diharapkan nama
“Kristen” nampak secara nyata
dalam seluruh kebijakan dan
peraturan serta sikap sehari-hari
seluruh anggota Keluarga Besar
BPK PENABUR (Pengurus, Guru,
Karyawan,dan Siswa).
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 81
Telaah Kritis Terhadap Tugas dan Tanggung Jawab Jabatan Pendeta Sekolah
1. Dari perjalanan sejarah, jelas GKI SW Jabar
telah menyadari bahwa kehadiran seorang
Pendeta di bidang pendidikan dalam
yayasan yang dibuatnya sangatlah penting.
Pentingnya kehadiran seorang Pendeta
dalam bidang pendidikan yang sering
disebut dengan Pendeta Sekolah telah
dibuktikan dengan dibicarakannya hal
tersebut dalam persidangan tingkat Sinodal
dan berhasilnya diputuskan Tata Laksana
Pendeta Sekolah.
2. Tata Laksana bisa dikatakan tidak sesuai
lagi atau tidak dapat dengan serta merta
dilaksanakan, tetapi harus ada
penyesusaian-penyesuaian khususnya
dalam tugas dan tanggung jawab Pendeta
Sekolah. Penyesuaian ini perlu dilakukan
karena di lingkungan GKI telah dihasilkan
Tata Gereja GKI yang baru.
3. Perlu juga dipikirkan apakah tugas Pendeta
Sekolah itu menyangkut: Pengggembalan,
PAK, falasafah pendidikan serta
peribadahan dan pembinaan, atau tugas
Pendeta Sekolah lebih fokus kepada hal-hal
yang prinsipil berupa konsep-konsep dan
tidak kepada hal-hal yang praktis dan
oprasional.
4. Salah satu cara untuk menghindari agar
Pendeta Sekolah tidak hanya mengerjakan
hal-hal yang prinsipil dan mengabaikan
masalah-masalah praktis dan operasional
ialah dengan menunjuk staf dan melakukan
koordinasi, kunjungan (visitasi) ke sekolah,
ataupun percakapan informal.
5. Tugas penggembalaan perlu juga diatur
sedemikian rupa sehingga makna
penggembalaan seperti yang diatur dalam
Tata Laksana Bab XII tentang
Penggembalaan pasal 33 dapat terlaksana
dengan baik dan tidak terjadi tumpang
tindih dengan tugas Pendeta yang lain jika
anggota BPK PENABUR tersebut juga
anggota jemaat GKI SW Jabar.
Daftar Pustaka
_____ Akta Persidangan Majelis Sinode ke- 44
GKI JABAR, Linggarjati, 17 – 19 November
1986
____ (1986). Tata Laksana Pendeta Sekolah
(lampiran keputusan PMS GKI SW Jabar
_____ BPMS GKI. (2003). Tata Gereja Kristen Indonesia.
Jakarta: PT Rama Prado Kriya
Purwanto, Hendro Lazarus, Dr., Indonesian
Chruch Orders Under Scrutiny, Thesis (doctoral),
Theologische Universiteit Van de
Gereformeerde Kerk in Nederland te Kampen,
1997, Kampen van de Berg.
Pazmino, Robert W. (1988). Foundational issues in
christian education- an introduction in evangelical
Perspective. Michigan: Baker Book
House
_____ Tata Gereja GKI – Tata Laksana Bab XX
Jabatan Gerejawi, pasal 69, hal. 104-105
82 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Analisis Kebijakan tentang Penutupan Sekolah
Analisis Kebijakan tentang Penutupan
Sekolah Menengah Kejuruan Kristen
BPK PENABUR Jakarta
Elika Dwi Murwani*)
*) Kepala Jenjang SMA BPK PENABUR Jakarta
Opini
ebijakan Penutupan Sekolah Menengah Kejuruan Kristen (SMKK) merupakan fenomena yang
perlu dicermati sebagai sebuah pembelajaran organisasi. Analisis kebijakan tersebut
didasarkan pada teori tentang kebijakan, analisis kebijakan dan pengambilan keputusan.
Pengambilan keputusan untuk menutup SMKK1 dan SMKK 2 didasari oleh hasil pengkajian
yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (P4) BPK PENABUR Jakarta dan
ditetapkan dengan surat keputusan nomor 02/Skr/SK/03/2005, yang dikeluarkan pada tanggal 2
Maret 2005 oleh pengurus BPK PENABUR Jakarta. Analisis kebijakan ini dilakukan dengan mempelajari
isi kebijakan, mempelajari proses kebijakan dan mempelajari hasil kebijakan serta mengevaluasi
kebijakan berdasarkan pemahaman tentang sistem pendidikan BPK PENABUR dan peraturan tentang
penutupan sebuah satuan pendidikan di lingkungan Yayasan. Hasil analisis menunjukkan bahwa
kebijakan tentang penutupan SMK BPK PENABUR kurang sesuai dengan misi dan peraturan Yayasan
BPK PENABUR.
Kata Kunci : Kebijakan, penutupan, SMKK, SMEA, STMK.
Closing Sekolah Menengah Kejuruan Kristen (SMKK) is a phenomenon which should be regarded as
an organizational learning. The analysis of this policy decision is based on some theories of policy,
policy analysis and decision making. The decision to close SMKK 1 and SMKK 2 is based on the result
of the analysis done by Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (P4) BPK PENABUR Jakarta
for years and then the policy is legally decided through the letter of Number 02/skr/sk/03/2005,
dated on 2nd March 2005 by the Director of Board of BPK PENABUR Jakarta. The following analysis
is conducted by studying the policy content, the policy making process, and the policy implementation.
Comments are given on the basis of BPK PENABUR vision and mission, education system, and the
rugalations of BPK PENBAUR in closing a school. This analysis concludes that that the policy to close
SMKK does not perfectly match the mission and regulations of BPK PENABUR Foundation.
Abstrak
K
Pendahuluan
Sekolah Menengah Kejuruan Kristen 1 (SMKK
1) dan Sekolah Menengah Kejuruan Kristen 2
(SMKK 2) atau yang lebih dikenal dengan
SMEAK dan STMK BPK PENABUR Jakarta,
berlokasi di Jalan Tanjung Duren Raya no 4,
Jakarta Barat. Sebagaimana diungkapkan dalam
buku BPK PENABUR KPS Jakarta, Kelahiran,
Perkembangan, Sasaran (1992) disebutkan
tentang sekolah kejuruan SMEAK berdiri sejak
tahun 1971 di Jalan Pembangunan III/1A,
Jakarta Pusat, disusul kemudian STMK pada
tahun 1975 di Jalan Gunung Sahari nomor 90A,
Jakarta Pusat. Sejak tahun 1985 SMEAK dan
STMK berada di kompleks sekolah BPK
PENABUR Jakarta di Jalan Tanjung Duren Raya
menempati gedung C. Selain kedua sekolah
kejuruan tersebut BPK PENABUR Jakarta juga
memiliki SMFK (Sekolah Menengah Farmasi
Kristen) selain sekolah umum dari tingkat TK
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 83
Analisis Kebijakan tentang Penutupan Sekolah
sampai dengan SMA. SMFK berdiri pada tahun
1968 di Jalan Pintu Air Raya no 11 Jakarta Pusat
bersama dengan SMAK 2 pada sore hari setelah
selesai dipakai SMAK 1 pada pagi harinya,
kemudian dipindahkan ke komplek Tanjung
Duren Raya pada tahun 1992 di gedung E.
SMEAK (Sekolah Menengah Ekonomi Atas
Kristen) merupakan sekolah kejuruan untuk
Perkembangan Siswa SMK/Jurusan
Sekolah/Jurusan/Kls
1999/2000 2000/2001 2001/2002 2002/2003 2004/2005 2005/2006
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
SMEA Sekretaris 32 34 34 37 30 34
69
35 27
46
31 33
47
20 26 41 22 19
Akuntansi 35 40 39 40 33 40 42 29 32 39 25 32 28 22
Jlh Kls 6 6 6 6
Kls 1 67 77 69 46 47 41
Total Siswa 214 214 202 181 150 132
STM Bangunan = 16 13 = = 16 = = = = = = = = = = = =
Mesin 32 50 38 12 24 49 27 14 21 = 23 11 = = 19 = = =
Elektro 58 36 33 42 51 36 39 35 49 13 30 35 17 11 29 = 17 11
Otomotif 39 = = 53 35 = 29 53 32 49 20 46 55 34 18 39 44 32
Imformatika = = = = = = 28 = = 17 25 = 22 14 25 40 21 14
Jlh Kelas 11 13 13 12 11 9
Kls 1 Mesin 32 13 27 = = =
Kls 1 Elektro 58 42 39 13 17 =
Kls Otomotif 39 53 29 49 55 39
Kls 1 Infr'tika = = 28 17 22 40
Total Siswa 314 319 327 269 244 218
SMF Jmlh Kls 3 3 3 3 3 3
Kls 40 40 40 34 35 41
Total Siswa 107 119 110 102 93
Analisis : Trend jumlah siswa yang memilih jurusan sekretaris cenderung rendah
dibandingkan jumlah siswa yang memilih jurusan akuntansi, dan ditambah
dengan informasi dari Diknas yang menyatakan bahwa jurusan sekretaris
merupakan jurusan yang jenuh dan tidak diizinkan pembukaan sekolah baru
dengan rumpun sekretaris.
ekonomi yang memiliki dua jurusan yaitu
akuntansi dan sekretaris, sedangkan STMK
(Sekolah Teknik Menengah Kristen) dulu
memiliki tiga jurusan yaitu bangunan, mesin,
dan elektro, pada tahun pelajaran 1999-2000
jurusan bangunan ditutup karena kekurangan
siswa, tetapi pada tahun yang sama dibuka
jurusan otomotif, pada tahun pelajaran 2001-
84 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Analisis Kebijakan tentang Penutupan Sekolah
2002 dibuka jurusan informatika, dan tahun
berikutnya giliran jurusan mesin ditutup dengan
alasan yang sama. Tahun pelajaran 2004 – 2005
jurusan elektro ditutup, sehingga pada tahun
ketika diputuskan STM tidak lagi menerima
siswa baru pada tahun pelajaran 2005-2006
masih ada tiga jurusan yaitu otomotif,
informatika dan elektro di kelas II dan III.
Secara terperinci perkembangan siswa SMK
(SMEAK dan STMK) tampak pada tabel di atas,
yang dibuat oleh Tim Pengkajian SMK dari Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (P4)
BPK PENABUR Jakarta.
Dari tabel di atas juga dapat terlihat total
jumlah siswa SMEA dan STM dari tahun
pelajaran 1999-2000 hingga 2004-2005, menurun
cukup berarti, untuk SMEA dari 214 menjadi 132
(38%), dan STM dari 314 menjadi 218 (32%).
Sementara itu untuk SMF dari 107 menjadi 93
(13%), relatif lebih stabil daripada SMEA dan
STM.
Secara prestasi sekolah-sekolah ini termasuk
peringkat atas di antara sekolah menengah
kejuruan di DKI.
Lulusannyapun
diakui oleh
lapangan kerja
sebagai tenaga
kerja siap pakai
yang cukup
handal, bisa
d i k a t a k a n
bahwa lulusan
s e k o l a h
kejuruan ini
mampu diserap
oleh lapangan
usaha, meskipun
demikian 70% lulusan SMEA dan STM
melanjutkan kuliah, sedangkan SMF 90%
bekerja.
Beberapa tahun terakhir ini sekolah
kejuruan mengalami defisit untuk biaya
operasional yang tak sedikit, pada tahun 2003-
2004 defisit untuk SMK sebesar 1,9 milyar rupiah.
Pada akhirnya pengurus memutuskan
“Terhitung mulai tahun ajaran 2005-2006,
Sekolah Menengah Kejuruan (SMEA dan STM)
tidak menerima siswa/siswi baru” seperti
tertuang dalam surat keputusan nomor 02/Skr/
SK/03/2005, yang dikeluarkan pada tanggal 2
Maret 2005 oleh pengurus BPK PENABUR
Jakarta. Dengan mengingat pada rapat Pengurus
Harian (PH) tertanggal 22 November 2004 dan
rapat pleno BPK PENABUR Jakarta tertanggal
26 November 2004.
Dari uraian di atas penulis ingin
menganalisis tentang kebijakan terhadap
penutupan Sekolah Menengah Kejuruan Kristen
BPK PENABUR Jakarta, yang dikenal dengan
SMEAK dan STMK. Analisis terhadap proses
pengambilan keputusan ini sebagai
pembelajaran organisasi ditinjau dari teori-teori
tentang pengambilan keputusan dan analisis
kebijakan, bukan sebagai pernyataan setuju atau
tidak terhadap kebijakan Yayasan.
Dalam melakukan analisis kebijakan itu,
berikut ini dikemukakan berbagai teori sebagai
acuan. Pengertian, ciri-ciri dan tata cara
pengambilan keputusan kebijakan perlu
diperjelas terlebih dahulu untuk mendasari
pembahasan dari analisis tentang kebijakan
tersebut.
A. Kebijakan
Dengan sudut pandang yang berbeda sejumlah
ahli mengartikan kebijakan secara berbeda.
Berikut ini adalah
b e r b a g a i
pandangan yang
disarikan dari
bahan kuliah
M a n a j e m e n
Kebijakan dan
P e n g a m b i l a n
Keputusan oleh
Prof. Aris
Pongtuluran dan
Dr. BP. Sitepu,
serta buku
K e b i j a k a n
Organisasi dan Pengambilan Keputusan Manajerial
oleh Aris Pongtuluran (1995, hal 5-6): Thomson
dan Strickland (1978) mengemukakan bahwa
kebijakan berkaitan dengan metode, prosedur
dan tata cara melaksanakan strategi dan
kebijakan mengatur bagaimana suatu organisasi
dilaksanakan. Sementara Terry dan Franklin
(1982) berpendapat kebijakan adalah sesuatu
ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk
umum tentang ruang lingkup yang memberi
batas-batas dan arah umum kepada manajer
untuk bergerak. Kebijakan memberi ketetapan
dengan sangsi tentang kawasan dan arah yang
harus diikuti. Melihat kebijakan sebagai
keputusan Broom (1969) menyatakan bahwa
kebijakan adalah suatu keputusan yang luas,
Lulusannyapun diakui oleh dunia kerja
sebagai tenaga kerja siap pakai yang
cukup handal, bisa dikatakan bahwa
lulusan sekolah kejuruan ini mampu
diserap oleh dunia usaha, meskipun
demikian 70% lulusan SMEA dan STM
melanjutkan kuliah, sedangkan SMF
90% bekerja.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 85
Analisis Kebijakan tentang Penutupan Sekolah
yang ditetapkan sebelumnya untuk menjadi
patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen
serta membimbing keputusan manajemen
selanjutnya. Tidak jauh berbeda dengan
pendapat-pendapat lain Klein dan Murphy
(1976) berpendapat kebijakan adalah
seperangkat tujuan-tujuan, prinsip-prinsip serta
peraturan-peraturan yang membimbing
organisasi; kebijakan dengan demikian
mencakup keseluruhan petunjuk organisasi.
Sungguhpun pengertian kebijakan dirumuskan
secara berbeda namun kebijakan merupakan
konsep holistik, sinergistik, dan global, dan
dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan
adalah pedoman untuk bertindak untuk
organisasi dan seluruh anggotanya dan
membatasi perilaku serta merupakan bantuan
terhadap pengambilan keputusan. Dengan
demikian kebijakan memiliki dua dasar yaitu 1)
prinsip-prinsip yang memerintah; dan 2) aturanaturan
yang menunjuk jalan bagaimana prisipprinsip
dasar digunakan. (Aris Pongtuluran,
1995 hal 7-8)
B. Analisis Kebijakan
Untuk memahami suatu kebijakan atau
mengevaluasi sejauh mana mutu kebijakan
dapat mencapai tujuan dibuatnya kebijakan itu,
perlu dilakukan analisis. Dari materi kuliah
Manajemen Kebijakan dan Pengambilan
Keputusan dipahami berbagai pandangan
tentang analisis kebijakan seperti menurut
Hogwood dan Gun (1988) analisis kebijakan
dimaksudkan untuk menguraikan dan
menjelaskan latar belakang, alasan, serta akibat
tindakan-tindakan yang dilakukan organisasi.
Hasil analisis kebijakan itu bermanfaat bagi
pengambil keputusan sehingga kebijakan yang
diambil sungguh-sungguh rasional, bermutu
dan mencapai tujuan yang dikehendaki.
Aris Pongtuluran (1995, hal 24) mengatakan
bahwa analisis kebijakan pada hakekatnya
merupakan proses pengkajian untuk dapat lebih
memahami dengan baik sehingga dapat
memberikan penjelasan dan saran untuk
melaksanakan kebijakan itu sehingga mencapai
tujuan yang diharapkan. Jadi sebuah analisis
kebijakan dapat dipakai untuk melaksanakan
atau mengevaluasi kebijakan sehingga lebih
menjamin tercapainya tujuan dari dibuatnya
kebijakan tersebut.
Analisis kebijakan dapat dilaksanakan pada
tahap awal perencanaan kebijakan, tahap
pelaksanaan, dan tahap sesudah pelaksanaan
(Mayer dan Greenwood, 1984). Tahap
perencanaan meliputi kegiatan-kegiatan
identifikasi masalah, alternatif kebijakan dan
pemilihan alternatif kebijakan. Dalam hal
demikian hasil analisis kebijakan itu bersifat
deskriptif. Akan tetapi analisis kebijakan itu
dapat juga disertai petunjuk-petunjuk cara
pelaksanaan kebijakan itu, sehingga di samping
bersifat deskriptif hasil analisis kebijakan itu
bersifat preskriptif. Lebih jauh lagi analisis
kebijakan dapat diperkaya dengan
menggambarkan kemungkinan yang akan
terjadi sebagai akibat dilaksanakannya
kebijakan itu. Prakiraan yang diuraikan
demikian membuat hasil analisis kebijakan itu
bersifat prediktif (Patton dan Sawicki, 1986).
Analisis kebijakan pada tahap pelaksanaan
meliputi kegiatan penelitian dan pengkajian
latar belakang, alasan, tujuan, bagaimana
kegiatan itu dilaksanakan, serta sejauh mana
kegiatan itu sesuai dengan kebijakan dan tujuan
yang ditetapkan. Analisis kebijakan pada tahap
ini menekankan aspek kebijakan, perangkat
kegiatan, dan tujuan serta hubungan antara
ketiga aspek itu (Mayer dan Greenwood, 1984)
Seperti halnya pada tahap perencanaan, tahap
pelaksanaan juga dapat bersifat deskriptif,
preskriptif dan prediktif .
Thomson, Jr dan A.J. Stricland (1978)
menunjukkan kebijakan sebagai penjabaran dari
visi, misi, tujuan dan strategi organisasi. Dalam
bentuk diagaram Thomson dan Stricland
menunjukkan hubungan komponen-komponen
tersebut seperti dalam gambar berikut.
Purpose
(Mission)
Objectives
(the desired longrun
result)
Goals
(the desired shortrun
result)
86 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Analisis Kebijakan tentang Penutupan Sekolah
Diagram tersebut menunjukkan, kebijakan
(policy), merupakan implementasi dari strategi
yang menjabarkan struktur, prosedur, metode
dari organisasi dan yang membatasi aktivitas.
Strategi, merupakan master plan organisasi untuk
mencapai hasil yang diinginkan sedangkan
tujuan (misi) organisasi dijabarkan dalam
sasaran jangka panjang (objectives) dan sasaran
jangka pendek (goals). Skema diagram di atas
jelas menunjukkan bahwa kebijakan harus
bermuara pada tujuan/misi oranisasi dan
merupakan implementasi dari strategi
organisasi. Kebijakan harus sesuai dan selaras
dengan tujuan organisasi.
C. Pengambilan Keputusan
Setiap kebijakan ditetapkan melalui proses
pengambilan keputusan. Kelemahan dan
kekuatan kebijakan dipengaruhi oleh kualitas
proses pengambilan keputusan, termasuk premispremis
yang dipakai dalam pengambilan
keputusan kebijakan itu. Marimin (2004,hal 12)
mengemukakan pengambilan keputusan tidak
lepas dari sistem yang ada dalam organisasi, karena
itu pengambilan keputusan tidak boleh lepas dari
pencapaian tujuan dari organisasi. Sedangkan
Salusu (1996, hal 47) mengingatkan bahwa
kebijakan yang ditetapkan merupakan hasil
pemilihan alternatif dengan metode yang efisien
sesuai situasi. Pendapat Salusu tersebut selaras
dengan pendapat Janis dan Mann (1979) bahwa
pengambilan keputusan adalah memilih diantara
alternatif suatu tindakan. Oleh karena merupakan
hasil pemilihan maka Aris Pongtuluran (1995, hal
47) berpendapat pengambilan keputusan adalah
pilihan rasional dari antara alternatif.
Dari definisi-definisi di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa pengambilan keputusan (PK)
merupakan proses memilih secara rasional
diantara alternatif-alternatif yang ada.
Pengambilan keputusan yang baik harus
mempertimbangkan baik buruk, tepat atau tidak,
untung rugi akibat dari pengambilan keputusan
bagi tercapainya tujuan organisasi. Kebijakan
menjadi acuan perilaku individu dalam organisasi.
Oleh karena itu kebijakan seharusnya ditetapkan
oleh organisasi melalui prosedur dan mekanisme
yang tepat.
Churchman mengartikan “pembuat
keputusan” sebagai orang yang mempunyai
kemampuan, tanggung jawab dan kewenangan
untuk mengubah sistem. Chankong dan Haimes
mengidentifikasi “pembuat keputusan” sebagai
kelompok individu yang langsung atau tidak
langsung melengkapi penilaian akhir yang dapat
digunakan untuk membuat peringkat dari
alternatif-alternatif strategik yang tersedia,
sehingga pilihan strategik terbaik dapat
diidentifikasi.
Jadi pembuat keputusan adalah orang/
kelompok orang yang memiliki kewenangan dan
tanggung jawab terhadap dampak dari diambilnya
keputusan.
Marimin (2004) menggambarkan proses
pengambilan keputusan seperti terlihat pada
gambar berikut.
Money
Informasi
Aksi
Data
SOP
SIM
Keterangan:
SIM : Sistem Informasi Manajemen
DSS : Decision Support System
SOP : Standart Operational Procedur
Money : Monitoring dan Evaluasi
Gambar : Siklus Data, informasi, keputusan dan aksi ( Marimin, M.Sc, 2004: hal 13).
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 87
Analisis Kebijakan tentang Penutupan Sekolah
Mengambil keputusan adalah suatu proses
yang dilaksanakan orang berdasarkan
pengetahuan dan informasi yang ada padanya
saat tersebut dengan prediksi/harapan bahwa
sesuatu akan terjadi. Keputusan dapat diambil
dari alternatif-alternatif yang ada , alternatif
didapat dari informasi yang diolah dan
disajikan dengan dukungan sistem penunjang
keputusan (DSS – Decision Support System),
sedangkan informasi dapat terbentuk dari
adanya data yang diolah dan disajikan dengan
dukungan Sistem Informasi Manajemen (SIM).
Kemudian keputusan yang diambil perlu
ditindaklanjuti dengan aksi yang dalam
pelaksanaannya mengacu pada Standard
Operatingal Prosedure (SOP) dan akan membentuk
kembali data. Demikian seterusnya siklus
berjalan. Monitoring dan Evaluasi berfungsi
untuk selalu memonitor dan mengevaluasi
kualitas, kelancaran operasi dan pemanfaatan
dari komponen siklus. Melalui monitoring dan
evaluasi diharapkan dinamika proses dalam
siklus dapat diikuti dan pemanfaatan sistem
optimal.
Ada dua basis dalam pengambilan
keputusan, yaitu pengambilan keputusan
berdasarkan intuisi dan pengambilan
keputusan rasional (Mangkusubroto dan
Trisnadi, 1985) seperti diungkapkan oleh
Marimin (2004, hal 13). Pengambilan keputusan
berdasarkan intuisi tergantung dari intuisi
seseorang, logika bahwa suatu keputusan telah
dipilih/diambil tidak dapat diperiksa secara
logis, sedangkan pengambilan keputusan
rasional, memberikan alasan yang jelas
mengapa suatu alternatif terpilih.
Dalam keadaan normal, keputusan diambil
secara rasional dengan memperhatikan masalah
yang dihadapi, alternatif-alternatif keputusan
memecahkan masalah, menilai setiap alternatif
dengan memperhatikan konsekuensikonsekuensinya,
serta terakhir ialah memilih
alternatif sebagai keputusan. Makna keputusan
terlihat pada pelaksanaan keputusan itu.
Menurut Heller (2005, hal 65), implementasi
keputusan mencakup membuat rencana aksi,
mendelegasikan aksi, menyusun
proyek,mempertahankan keputusan, membahas
kemajuan pengambilan keputusan, dan
memantau kemajuan
Hasil Pengkajian Pusat Pengkajian
dan Perkembangan Pendidikan
Keputusan BPK PENABUR Jakarta tentang
penutupan SMKK didasari sejumlah masalah
yang dihadapi sekolah tersebut. Masalah itu
diidentifikasi melalui kajian yang dilakukan
oleh Pusat Pengkajian dan Perkembangan
Pendidikan (P4) BPK PENABUR Jakarta.
Temuan P4 itu adalah sebagai berikut.
1. Total defisit SMKK makin lama makin besar.
Pada tahun 2003-2004 mencapai 1,9 miliar.
2. Prediksi uang sekolah untuk memenuhi
biaya operasional jika siswa disubsidi pada
tahun ajaran 2004-2005 lebih dari 3 juta
rupiah dan makin lama akan makin besar
sedangkan pada kenyataannya mereka
hanya membayar rata-rata Rp. 588.750.
3. Biaya operasional terbesar adalah untuk gaji
guru dan karyawan (rata-rata 62,5%).
4. Defisit terendah di SMF, dengan jumlah
siswa paling sedikit dan jumlah guru paling
sedikit, ini diperkirakan karena guru di SMF
kebanyakan bukan guru tetap atau
bergabung dengan sekolah lain, sehingga
beban terbesar pada gaji guru tidak terlalu
mempengaruhi biaya operasional.
5. Lebih dari 70% siswa SMEA dan STM
melanjutkan ke perguruan tinggi setelah
lulus, tetapi untuk SMF 90% bekerja selelah
lulus dari SMF.
Usulan dari hasil kajian P4 di atas adalah :
Berdasarkan Analisis SWOT yang dibuat oleh
P4 diusulkan alternatif pemecahan masalah
sebagai berikut.
1. Re-enginering SMK
a. Menggabungkan SMEA, STM dan SMF
menjadi satu atap yaitu SMK dengan
jurusan sekretaris, akuntansi, IT,
otomotif dan farmasi. Kendalanya SMF
masih di bawah Departemen Kesehatan
sedangkan SMK di bawah Departemen
Pendidikan.
b. Menggabungkan SMK dengan sekolah
menengah umum (direncanakan SMAK
2, yang pada saat itu juga mengalami
penurunanan jumlah siswa) agar
mendapat nilai tambah dan dijadikan
sebagai sekolah menengah terpadu.
88 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Analisis Kebijakan tentang Penutupan Sekolah
2. Re-lokasi SMK
Memindahkan SMK ke Cikarang – Bekasi
sehingga dapat berkembang karena di
daerah industri sehingga dapat bekerja sama
dengan dunia usaha dan industri.
3. Penutupan SMK
Penutupan SMK sebenarnya merupakan
usulan yang paling tidak dikehendaki
karena diyakini SMK merupakan saluran
bagi BPK PENABUR untuk melayani
masyarakat yang kurang mampu yang
membutuhkan layanan pendidikan
kejuruan sehingga dapat cepat bekerja.
Pembahasan
Mengutip surat keputusan yang dikeluarkan
oleh BPK PENABUR Jakarta, nomor 02/Skr/SK/
03/2005, tertanggal 2 Maret 2005, demikian :
Memperhatikan tentang : Sekolah Menengah
Kejuruan (SMEA dan STM) BPK PENABUR
Jakarta
Menimbang :
a. Penurunan minat orang tua untuk
memasukkan anaknya ke sekolah SMEA/
STM.
b. Finance dan besarnya subsidi tidak sesuai
dengan tujuannya.
c. Adanya ketidaksesuaian dengan misi BPK
PENABUR semula yaitu:
1). Lulusan dari SMEA/STM langsung
bekerja, dalam kenyataannya banyak
yang meneruskan ke jenjang yang lebih
tinggi.
2). Diutamakan bagi mereka yang tidak
mampu menyekolahkan anaknya ke
SMA BPK PENABUR
Mengingat :
a. Keputusan Rapat Pengurus Harian BPK
PENABUR Jakarta tanggal 22 November
2004.
b. Keputusan Rapat Pleno BPK PENABUR
Jakarta tanggal 26 November 2004.
Memutuskan :
Terhitung mulai tahun ajaran 2005-2006,
Sekolah Menengah Kejuruan (SMEA dan STM)
tidak menerima siswa/siswi baru.
Kajian tentang isi kebijakan (Study of Policy
Content)
Memperhatikan landasan teori dari diagram
yang dibuat oleh A.A. Thomson, Jr dan A.J
Stricland, 1978, dasar dari pembuatan kebijakan
adalah misi (tujuan) dan merupakan
implementasi dari strategi.
Tujuan dari Yayasan BPK PENABUR
menyelenggarakan SMK dapat ditelusuri dalam
Sistem Pendidikan BPK PENABUR dan
Peraturan BPK PENABUR tentang Sekolah
Menengah Kejuruan.
Sistem Pendidikan BPK PENABUR.
Misi – Visi BPK PENABUR
a. Misi : Mengembangkan potensi peserta
didik secara optimal melalui pendidikan
dan pengajaran bermutu berdasarkan nilainilai
kristiani.
b. Visi : Menjadi lembaga pendidikan Kristen
unggul dalam iman, ilmu dan pelayanan.
Pendidikan di BPK PENABUR bertujuan
membantu masyarakat agar :
a. memperoleh kesempatan pendidikan;
b. menyiapkan manusia berkualitas;
c. meningkatkan kualitas kehidupan.
Bab VIII : Jenjang Pendidikan, pasal 17 :
a. Ayat 1 : Jenjang pendidikan menengah
dapat berbentuk sekolah menengah atas
(SMA) dan atau sekolah menengah
kejuruan (SMK).
b. ayat 2 : Pendidikan menengah bertujuan
memfasilitasi peserta didik agar
bertumbuh-kembang berdasarkan nilainilai
kristiani dan mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni, untuk diamalkan
dalam masyarakat dan alam
lingkungannya; serta mempersiapkan
peserta didik melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi.
Dari Sistem Pendidikan ini tidak ada
bedanya antara SMK dan SMA, keduanya
sebagai jenjang pendidikan menengah, tidak ada
spesifikasi mengenai tujuan antara SMK dan
SMA.
Peraturan BPK PENABUR, No 7 tahun 2005
tentang Sekolah Menengah Kejuruan, Penjelasan
atas Peraturan Sekolah Menengah Kejuruan,
Bab I : Umum
Alinea 1 : Sekolah menengah kejuruan
merupakan satuan pendidikan pada jenjang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 89
Analisis Kebijakan tentang Penutupan Sekolah
pendidikan menengah yang mengutamakan
pengembangan kemampuan peserta didik
menjadi manusia produktif yang dapat
mengisi kebutuhan akan tenaga terampil di
dunia usaha/ dunia industri.
Bab II : Penyelenggaraan Sekolah
Tujuan Sekolah Menengah Kejuruan, pasal 2
Pendidikan di SMK bertujuan membantu
peserta didik sesuai dengan
perkembangannya untuk :
a. Menumbuh kembangkan Nilai-Nilai
Kristiani dalam perbuatan.
b. Belajar dan berlatih untuk :
1) Menumbuhkembangkan berbagai
aspek kecerdasan.
2) Menguasai konsep dasar ilmu
pengetahuan dan teknologi serta
penerapannya.
3) Mengembangkan bakat, minat dan
kemampuan lebih lanjut.
4) Mengembangkan potensi diri dalam
seni dan budaya.
5) Menerapkan hidup sehat dan
mandiri
6) Menerapkan kepedulian sosial
7) Mengamalkan ketrampilan hidup
sebagai manusia produktif dalam
dunia usaha dan dunia industri.
c. Melanjutkan pendidikan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi
Seperti tampak pada kutipan di atas baik
dalam Sistem Pendidikan BPK PENABUR
maupun dalam Peraturan tentang Sekolah
Menengah Kejuruan, dapat diambil kesimpulan
secara spesifik tujuan dari pendirian SMK BPK
PENABUR adalah :
1. Untuk menumbuh kembangkan nilai-nilai
kristiani pada peserta didik
2. Untuk mempersiapkan peserta didik
menjadi manusia produktif sehingga dapat
mengisi tenaga terampil di dunia usaha /
dunia industri
3. Memberi kesempatan agar peserta didik
dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi.
Ditinjau dari keputusan dan alasan
pertimbangan terhadap keputusan BPK
PENABUR Jakarta untuk SMEA dan STM tidak
menerima siswa/siswi baru, yaitu :
1. Keputusan : “…tidak menerima siswa
baru…”, dalam peraturan tidak ada istilah
“tidak menerima siswa baru”, sehingga
perlu kejelasan sikap dari BPK PENABUR
Jakarta maksud dari pernyataan tersebut di
atas, apakah maksudnya sama dengan
menutup satuan pendidikan? Implikasi dari
“tidak menerima siswa baru” adalah bisa
sementara atau permanen (yang berarti
ditutup). Dari keputusan ini dapat diambil
kesimpulan bahwa bisa berarti nanti suatu
saat SMK dapat dibuka kembali atau
dinyatakan menerima siswa baru.
2. “Penurunan minat orang tua
menyekolahkan anaknya ke SMEA / STM”.
Isi pertimbangan ini sesuai dengan data
Perkembangan Siswa SMK/Jurusan dari
tahun 1999 – 2004 (lihat tabel di atas)
3. “Finance dan besarnya subsidi tidak sesuai
dengan tujuannya” (kalimat ini kurang jelas
karena mengandung tiga hal yaitu finance,
subsidi dan tujuan yang masing-masing
tidak jelas hubungannya). Barangkali yang
dimaksudkan adalah antara keadaan
finansial dan subsidi yang diberikan oleh
Yayasan tidak sesuai dengan tujuan
Yayasan untuk sekolah kejuruan. Namun isi
pertimbangan ini diperkirakan mengacu
pada data subsidi Yayasan untuk
operasional SMK sebesar 1,9 Milyar pada
tahun ajaran 2004-2005. Nilai ini cukup
besar mengingat bahwa seluruh biaya
operasional Yayasan ditanggung oleh orang
tua siswa dari seluruh sekolah di bawah
naungan Yayasan BPK PENABUR Jakarta,
karena Yayasan tidak memiliki pemasukan
lain selain dari uang sekolah dan
sumbangan sarana pendidikan yang
asalnya dari orang tua, sehingga dianggap
memberatkan bagi sekolah lain.
4. “Adanya ketidaksesuaian dengan misi BPK
PENABUR semula yaitu: lulusan dari
SMEA/STM langsung bekerja, dalam
kenyataannya banyak yang meneruskan ke
jenjang yang lebih tinggi”. Isi pertimbangan
ini tidak sesuai dengan tujuan dari
pendirian sekolah menengah kejuruan
seperti tertulis dalam Sistem Pendidikan
BPK PENABUR dan Peraturan tentang
Sekolah Menengah Kejuruan BPK
PENABUR, yaitu tujuan pendirian SMK
selain untuk mempersiapkan peserta didik
menjadi manusia produktif sehingga dapat
mengisi tenaga terampil di dunia usaha /
dunia industri juga memberi kesempatan
agar peserta didik dapat melanjutkan
90 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Analisis Kebijakan tentang Penutupan Sekolah
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jadi
pertimbangan ini tidak tepat.
5. “Diutamakan bagi mereka yang tidak mampu
menyekolahkan anaknya ke SMA BPK
PENABUR”. Isi pertimbangan tidak pernah
muncul dalam tujuan pendirian SMK
sehingga pertimbangan ini tidak tepat.
Kajian tentang Proses Kebijakan (Study of
policy process)
Tahapan Kebijakan dan Pembuat Kebijakan
Untuk mengambil kebijakan ini diawali
dengan pengkajian yang dilakukan oleh Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (P4)
BPK PENABUR Jakarta. Kemudian hasil kajian
tersebut diputuskan dalam rapat Rapat
Pengurus Harian BPK PENABUR Jakarta
tanggal 22 November 2004 dan Keputusan Rapat
Pleno BPK PENABUR Jakarta tanggal 26
November 2004. Demikian yang tertulis dalam
surat keputusan nomor 02/Skr/SK/03/2005,
tertanggal 2 Maret 2005.
Mengacu pada Peraturan BPK PENABUR
No. 2 Tahun 2005 tentang Pembukaan dan
Penutupan Satuan Pendidikan
Bab I, Ketentuan Umum
pasal 1, ayat 5 : Penutupan satuan
pendidikan adalah pengurangan
satuan pendidikan yang ada.
Bab III, Penutupan Satuan Pendidikan,
pasal 6, tujuan : Penutupan satuan
pendidikan dilakukan demi
menjaga pendidikan yang
bekualitas.
pasal 7, kriteria :
Ayat 1 : Penyelenggaraan satuan pendidikan
tidak sesuai lagi dengan Kebijakan
Pendidikan BPK PENABUR.
Ayat 2 : Jumlah peserta didik semakin
berkurang dan tidak lagi memenuhi
syarat pengelolaan satuan
pendidikan.
Ayat 3 : BPK PENABUR Setempat tidak
mampu menyediakan tenaga
pendidik dan dana untuk
keberlangsungan satuan
pendidikan.
pasal 8, prosedur :
Ayat 1 : Proposal penutupan satuan
pendidikan diajukan oleh BP BPK
PENABUR Setempat kepada BP
BPK PENABUR untuk mendapat
persetujuan persidangan pengurus
BPK PENABUR.
Ayat 2 : Proposal penutupan satuan
pendidikan dilengkapi dengan
studi kelayakan yang dibuat secara
professional oleh pihak independen
Ayat 3 : Penutupan satuan pendidikan
ditetapkan oleh BP BPK PENABUR
dengan surat keputusan.
Ayat 4 : Pelaksanaan penutupan satuan
pendidikan dipertanggung
jawabkan oleh BP BPK PENABUR
Setempat kepada BP BPK
PENABUR
Kajian tentang Proses Kebijakan Penutupan
SMK
Jika maksud dari pernyataan “tidak menerima
siswa baru” adalah penutupan satuan
pendidikan secara permanen, maka prosedur
yang ditempuh oleh BPK PENABUR Jakarta tidak
tepat, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut
a. Dalam Bab III, pasal 8, ayat 2 bahwa
proposal penutupan harus dilengkapi
dengan studi kelayakan yang dibuat secara
profesional oleh lembaga independen,
sedangkan studi kelayakan yang dibuat
oleh BPK PENABUR Jakarta dibuat oleh
Bagian P4 yang bukan profesional dan
tidak independen karena merupakan
political actor (insider).
b. Dalam Bab III, pasal 8, ayat 3 bahwa
penutupan satuan pendidikan ditetapkan
oleh BP BPK PENABUR. Jadi BP BPK
PENABUR Setempat tidak dapat melakukan
penutupan terhadap satuan pendidikan.
Meskipun pada kenyataannya keputusan
penutupan SMK ini diputuskan oleh BP
BPK PENABUR dalam persidangan pleno
tanggal 19-20 February 2005, namun yang
tercantum dalam surat keputusan tidak
demikian seolah-olah keputusan dibuat oleh
BPK PENABUR Jakarta. Seharusnya surat
keputusan dibuat oleh BP BPK PENABUR
sesuai dengan pasal 8 ayat 3 dalam buku
peraturan tentang Penutupan dan
Pembukaan Satuan Pendidikan.
Kajian tentang Hasil Kebijakan (Study of policy
output)
Hasil atau dampak dari kebijakan
penutupan SMK :
1. Dampak Sosial :
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 91
Analisis Kebijakan tentang Penutupan Sekolah
Pendidikan di BPK PENABUR bertujuan
membantu masyarakat agar memperoleh
kesempatan pendidikan, menyiapkan
manusia berkualitas dan meningkatkan
kualitas kehidupan menjadi berkurang
maknanya. Tentu saja adanya STM, SMEA
dan SMF adalah untuk melayani
masyarakat yang kurang mampu untuk
memperoleh kesempatan pendidikan.
Dengan ditutupnya STM dan SMEA maka
tinggal SMF yang melayani masyarakat
kurang mampu sehingga dampak sosialnya
adalah BPK PENABUR terkesan hanya
melayani masyarakat mampu dan pandai
saja di sekolah umum, meskipun
kenyataannya masih banyak sekolah di
bawah Yayasan yang membutuhkan
dukungan untuk tetap exist.
2. Dampak ekonomi :
Guru dan karyawan di kedua sekolah
tersebut kehilangan pekerjaan. Dampak
ekonomi terhadap penghasilan dan masa
depan guru dan karyawan dirasa yang
paling berat karena kurang lebih 50 guru dan
karyawan yang kebanyakan sudah bekerja
belasan tahun bahkan beberapa lebih dari
dua puluh lima tahun. Yayasan memiliki
komitmen untuk menempatkan guru dan
karyawan sehingga tidak kehilangan mata
pencarian atau dirugikan.
Dampak ekonomi lain bagi Yayasan adalah
tidak terbebani dengan biaya operasional
SMEA dan STM yang makin lama makin
berat, sehingga dapat mendukung dan
mengembangkan sekolah yang lain yang
masih exist.
3. Dampak politik
Meskipun masih ada satuan pendidikan
lain di BPK PENABUR Jakarta tetapi
memindahkan guru yang memiliki keahlian
khusus di unit produktif (misalnya otomotif
dan elektro) masing-masing SMK
memerlukan penanganan khusus kerena di
sekolah umum tidak memerlukan keahlian
tersebut. Demikian pula dengan guru bidang
studi umum seperti matematika, bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris, jika tidak
memiliki kompetensi yang memadai untuk
sekolah umum maka mereka memerlukan
waktu untuk beradaptasi dan meningkatkan
kompetensinya. Hal ini memberi dampak
pada kebijakan mengenai penanganan SDM
Administrasi siswa dan arsip sekolah juga
memerlukan penanganan yang teliti dan
tepat, termasuk serah terima dengan
pemerintah agar tidak merugikan alumninya
kelak.
4. Dampak pendidikan :
Pendidikan vocational (kejuruan) sebagai
salah satu alternatif untuk membangun masa
depan masyarakat dan bangsa tidak
terlayani, padahal sangat dibutuhkan untuk
menjawab kebutuhan angkatan kerja muda
yang potensial dan memiliki nilai-nilai
kristiani. Sedangkan pemerintah saat ini
sedang fokus untuk mengembangkan
sekolah kejuruan karena dipandang sekolah
kejuruan dapat menyediakan tenaga kerja
siap pakai yang bermutu.
Evaluasi
Berdasarkan teori yang dipelajari, sistem
pendidikan dan peraturan-peraturan di BPK
PENABUR, fakta dilapangan serta hasil
pengkajian dari P4, maka dibuat evaluasi,
kesimpulan serta saran untuk suatu proses
pembelajaran bagi organisasi, sebagai berikut :
1. Tujuan Kebijakan
Berdasarkan misi (tujuan) Yayasan BPK
PENABUR mendirikan SMK, maka dasar
pertimbangan keputusan penutupan SMK
(sesuai Surat Keputusan yang dikeluarkan
BPK PENABUR Jakarta), menyangkut
pertimbangan keberadaan SMK yang
lulusannya sebagian besar melanjutkan
kuliah, kurang tepat karena tujuan
pendirian SMK antara lain untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi.
Berdasarkan misi dan visi Yayasan untuk
menyediakan pendidikan bagi masyarakat
kurang mampu, perlu ditindaklanjuti
usulan dari P4 untuk me-relokasi SMK di
tempat yang lebih strategis misalnya di
kawasan industri sehingga dana yang
dikeluarkan benar-benar dapat
dimanfaatkan untuk melayani masyarakat
kurang mampu.
2. Berdasarkan Rencana Strategis BPK
PENABUR
Rencana strategis BPK PENABUR tertuang
dalam Rencana Induk Lima Tahun (Reilita)
92 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Analisis Kebijakan tentang Penutupan Sekolah
BPK PENABUR 2003-2007, berisi tentang
sumber daya manusia, sistem pendidikan
(kurikulum), manajemen, citra dan sarana
prasarana. Dalam Reilita tersebut sama
sekali tidak tercantum mengenai reenginering
atau re-lokasi atau penutupan
sekolah-sekolah yang tidak diminati
ataupun defisit untuk tujuan tertentu. Jadi
penutupan SMK tidak termasuk dalam
strategi Yayasan.
Sebuah kebijakan seharusnya merupakan
implementasi dari strategi organisasi untuk
mencapai tujuan (misi) dari organisasi,
sehingga pengambilan keputusan mengenai
kebijakan penutupan SMK ini memiliki
dasar dan pertimbangan yang kuat.
3. Menyangkut isi keputusan
Perlu dijelaskan istilah “…tidak menerima
siswa baru…” agar tidak disalahartikan,
terutama bagi nasib guru dan karyawan di
SMK. Misalnya jika terjadi pemutusan
hubungan kerja dengan guru dan karyawan
maka perlu kejelasan mengenai status
sekolah ditutup atau masih ada
kemungkinan dibuka kembali. Kejelasan
status dari SMK ini juga sangat diperlukan
sehubungan dengan pemberitahuan kepada
Dinas Pendidikan Menengah Kejuruan,
Departemen Pendidikan Nasional.
4. Melihat dari proses pembuatan kebijakan
Seperti yang tercantum dalam Peraturan
tentang Pembukaan dan Penutupan Satuan
Pendidikan, seharusnya yang
mengeluarkan surat keputusan atas
kebijakan penutupan sebuah satuan
pendidikan adalah BP BPK PENABUR
bukan BP BPK PENABUR Setempat.
Demikian halnya dengan penunjukan P4
sebagai pengkaji tidaklah tepat karena
seharusnya pengkaji adalah sebuah
lembaga profesional dan independen.
5. Melihat hasil/dampak dari kebijakan
Perlu penanganan yang baik berkaitan
dengan SDM agar tidak terjadi keresahan
karena ketidakpastian masa depan guru dan
karyawannya. Demikian halnya dengan
sarana prasarana serta penyelesaian
masalah administrasi karena sebuah
sekolah bukan hanya dimiliki dan diatur
oleh Yayasan tetapi juga oleh Departemen
Pendidikan Nasional dalam hal ini Dinas
Pendidikan Menengah Kejuruan.
Kesimpulan
1. Pengambilan keputusan terhadap kebijakan
penutupan SMK kurang sesuai dengan misi
(tujuan) Yayasan BPK PENABUR dan tidak
sesuai dengan strategi Yayasan.
2. Prosesnya tidak sesuai dengan yang
ditetapkan dalam Peraturan tentang
Pembukaan dan Penutupan Satuan
Pendidikan dari awal pengkajian sampai
pada pengambilan keputusan.
3. Redaksi dan isi Surat Keputusan kurang
jelas dan tidak seharusnya dikeluarkan oleh
BPK PENABUR Jakarta, sehingga tidak
dapat dipakai sebagai dasar terhadap
pengambilan keputusan berikutnya.
Saran
1. Sebaiknya kebijakan diambil berdasarkan
visi, misi dan strategi Yayasan agar
keputusan yang diambil dapat mengarah
pada tujuan utama organisasi, dengan
demikian akan menjamin tercapainya
tujuan Yayasan.
2. Surat Keputusan seharusnya dikeluarkan
secara sah oleh yang berwenang yaitu BP
BPK PENABUR, dan dilakukan perbaikan
terhadap redaksi dan isi dari Surat
Keputusan agar tidak terjadi salah
penafsiran dan memperoleh legalitas.
3. Perlu diambil kebijakan untuk dapat
melaksanakan keputusan tersebut terutama
dalam hal penanganan SDM agar tidak
terjadi kegelisahan dikalangan guru dan
karyawan, sesuai dengan yang dijanjikan
oleh Yayasan.
4. Untuk mengimplementasikan keputusan
perlu rencana aksi dan sosialisasi serta
ditunjang dengan Standard Operating
Prosedur (SOP) yang jelas, sehingga
pelaksanaan keputusan dapat berjalan
dengan baik dan agar siapapun yang akan
menjalankan keputusan dapat melakukan
sesuai dengan maksud dan tujuannya.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 93
Analisis Kebijakan tentang Penutupan Sekolah
Daftar Pustaka
______ Bahan kuliah Manajemen Kebijakan dan
Pengambilan Keputusan oleh Prof. Aris
Pongtuluran dan DR. BP. Sitepu
BPK PENABUR. Sistem Pendidikan BPK
PENABUR, BPK PENABUR, Jakarta,
2004
BPK PENABUR. Kebijakan BPK PENABUR dan
kumpulan peraturan BPK PENABUR,
Jakarta, 2005
Heller, Robert. (2005). Making decision. Jakarta:
Dian Rakyat
Marimin. (2004). Pengambilan keputusan kriteria
majemuk. Jakarta: Penerbit Gramedia
Pessy, S.M.C., dkk; BPK PENABUR KPS Jakarta,
kelahiran, perkembangan, sasaran, Jakarta,
1992
Pongtuluran, Aris. (1995). Kebijakan organisasi
dan pengambilan keputusan manajerial.
Jakarta: Lembaga Pengembangan
Manajemen Pendidikan
Salusu, J. (1996) Pengambilan keputusan stratejik,
Untuk organisasi publik dan organisasi
nonprofit. Jakarta: Penerbit Gramedia
94 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
**) Staf Pendidikan dan Diklat BPK PENABUR
etiap kali menjelang
akhir tahun pelajaran
banyak perhatian
yang diberikan oleh
peserta didik, orang tua,
sekolah, dan Pemerintah
terhadap pendidikan. Peserta
didik sibuk mempersiapkan
diri untuk menghadapi ujian
kenaikan kelas atau ujian
akhir pada jenjang
pendidikan tertentu. Orang
tua ikut repot membantu
anaknya mempersiapkan diri
untuk ujian itu, karena
kegagalan anak berarti juga
menambah beban orang tua.
Untuk mencegah kegagalan
itu banyak orang tua
menyuruh atau bahkan
terkesan memaksa anaknya
belajar lebih keras dan bila
perlu mengikuti pelajaran
tambahan atau mengikuti
bimbingan belajar. Di lain
pihak sekolah juga berupaya
keras agar siswa-siswanya
tidak banyak yang tinggal
kelas/mengulang dan
sebanyak mungkin siswa
kelas akhir lulus dalam Ujian
Nasional. Pemerintah juga
ikut sibuk dalam
mempersiapkan Ujian
Nasional (UN) yang sampai
sekarang masih ramai
dipolemikkan. Bagaimana
Mulyani*)
Rosmawati Situmorang**)
Isu Mutakhir
menyusun butir-butir soal
yang valid dan reliable, serta
bagaimana pengamanan soalsoal
UN sehingga tidak bocor
sampai ujian usai.
Berbarengan dengan
mengakhiri tahun pelajaran,
tahun pelajaran baru segera
pula akan tiba. Berbagai
kesibukan dan persoalan
menjelang akhir tahun
pelajaran masih segar dalam
ingatan dan mungkin masih
ada sisa-sisa yang belum
terselesaikan, menghadang
pula persoalan dan kesibukan
lain yang tidak kalah
merepotkan di pihak siswa
atau calon siswa dalam
mempersiapkan diri untuk
kelas baru. Berbagai
keperluan sekolah harus
dipenuhi dan menyita tidak
sedikit biaya. Bagi siswa yang
melanjutkan ke jenjang
pendidikan lebih tinggi
berbagai persoalan perlu
dipecahkan. Di samping
sistem penerimaan siswa baru
yang kerap mengundang
ketidakpuasan calon siswa
dan orang tua, “penyesuaian”
siswa baru terhadap
lingkungan sekolahnya pun
dapat menimbulkan masalah
tersendiri.
Khusus memasuki awal
tahun pelajaran 2007/2008
ini, berbagai isu di bidang
pendidikan menjadi bahan
pembicaraan yang aktual. Di
antaranya tentang UN untuk
SD, persaingan penerimaan
siswa baru yang semakin
ketat, dan kemungkinan
terjadinya hazing dan bullying
dalam kegiatan penyambutan
siswa baru sebagai yunior
oleh kakak kelasnya sebagai
senior.
Ujian Nasional
Sekolah Dasar
Evaluasi pendidikan melalui
sistem Ujian Nasional sampai
saat ini masih kontroversial
dan menjadi polemik yang
tidak pernah usai. Ujian
nasional SMP, SMA dan SMK
dititikberatkan pada tiga mata
pelajaran yaitu bahasa
Indonesia, bahasa Inggris dan
Matematika.
Hasilnya menjadi
penentu kelulusan siswa
setelah menempuh pelajaran
selama enam semester, setelah
menempuh ujian praktik dan
ujian sekolah. Siswa yang
S
Isu Mutakhir
*) Guru SMF, SMAK 3, dan SMAK 7 BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 95
Isu Mutakhir
gagal dalam Ujian Nasional
SMA dan SMK diperbolehkan
menempuh ujian paket C
yaitu ujian luar sekolah yang
setara dengan ujian SMA.
Konon lulusan paket C juga
diterima di perguruan tinggi.
Jika kita meninjau
pelaksanaan ujian nasional
tahun pelajaran 2006/2007
ada hal-hal yang harus
dipertimbangkan untuk
pelaksanaan ujian nasional
tahun pelajaran 2007/2008.
Rencanannya Ujian
Nasional akan diberlakukan
pula pada tingkat Sekolah
Dasar. Dalam hal ini perlu
kita cermati bahwa wajib
belajar itu adalah 9 tahun
meliputi wajib belajar jenjang
SD selama enam tahun dan
jenjang SLTP selam tiga tahun
atau kelas I sampai dengan
kelas IX. Barulah lanjut ke
kelas X sampai dengan XII di
SLTA yang sifatnya tidak
wajib. Dengan demikian
pemberlakukan Ujian
Nasional pada jenjang
Sekolah Dasar tentulah
kurang tepat.
Penerimaan Siswa/
Mahasiswa Baru
Tahun pelajaran baru identik
dengan penerimaan siswa
baru. Persaingan antar
sekolah dalam hal
penerimaan siswa baru
semakin ketat terutama bagi
sekolah-sekolah swasta yang
biaya operasionalnya
sepenuhnya bergantung
kepada jumlah siswa baru
yang masuk sekolahnya.
Tidak sedikit Taman
Kanak-Kanak yang terpaksa
ditutup pada tahun pelajaran
2007/2008 karena siswa baru
yang mendaftar di sekolah
tersebut sangat sedikit
sehingga tidak mencukupi
batas minimal yang seimbang
dengan biaya operasionalnya.
Banyak juga Sekolah Dasar
swasta yang menurun jumlah
siswa barunya jika
dibandingkan dengan tahun
pelajaran sebelumnya. Dari
empat kelas yang tersedia
hanya dua atau tiga kelas
yang terisi. Demikian pula
halnya yang terjadi pada
tingkat SLTP dan SLTA.
Mengapa hal ini dapat
terjadi? Tentu saja harus kita
cermati faktor-faktor
penyebabnya. Apakah lokasi
sekolahnya yang tidak
strategis seperti dulu akibat
pemekaran wilayah atau
pindahnya pemukiman warga
ke kompleks-kompleks
perumahan baru yang jauh
dari pusat kota? Apakah
keberhasilan program
Keluarga Berencana yang
berdampak pada
berkurangnya jumlah
penduduk usia sekolah TK?
Apakah kurang gencarnya
promosi yang mengakibatkan
sekolah-sekolah tersebut tidak
dikenal oleh masyarakat luas?
Peribahasa mengatakan tak
kenal maka tak sayang.
Sekolah yang kurang dikenal
keberadaannya menjadi
kurang diminati. Apakah
biaya masuk sekolah terlalu
tinggi? Sedangkan di sisi lain
pemerintah mencanangkan
sekolah gratis di tingkat
Sekolah Dasar, dan banyak
kaum elite yang mulai
berpaling ke homeschooling.
Sistem penerimaan siswa
baru di SLTA swasta untuk
tahun pelajaran 2007/2008
ini mengikuti cara yang
dilakukan oleh perguruan
tinggi swasta. Tampaknya
SLTA swasta berupaya
menjaring calon siswa
barunya jauh sebelum
kelulusannya dari SLTP. Pada
akhir semester lima siswa
kelas III SLTP dan SLTA
sudah diberi kesempatan
untuk mendaftar dan
mengikuti seleksi serta
membayar biaya masuk sesuai
dengan grade hasil seleksi.
Grade hasil seleksi tersebut
menentukan biaya masuk
sesuai dengan grade hasil
seleksi. Grade hasil seleksi
tersebut menentukan biaya
masuk yang harus dibayar.
Sistem penerimaan siswa
baru atau mahasiswa seperti
ibarat pisau bermata dua. Di
satu sisi berdampak positif, di
sisi lain berdampak negatif.
Dampak positifnya adalah
pihak sekolah dapat
memprediksi jumlah siswa
barunya dari jauh hari,
tinggal menunggu kelulusan
mereka dari SLTP, pihak
perguruan tinggi juga dapat
memprediksi jumlah
mahasiswanya, tinggal
menunggu kelulusan mereka
dari SLTA. Selain itu pihak
sekolah dan pihak perguruan
tinggi tersebut sudah
memperoleh pemasukan dana
lebih awal dari formulir
pendaftaran dan dari uang
sekolah yang sesuai dengan
grade hasil seleksi. Dampak
negatifnya adalah calon siswa
baru dan calon mahasiswa
baru itu merasa sudah
mantap diterima di SLTA dan
perguruan tinggi yang mereka
inginkan. Pada hal mereka
masih duduk di kelas III,
masih harus menempuh ujian
praktik, ujian sekolah dan
ujian nasional. Timbullah
sifat angkuh dan semangat
belajar di antara mereka ada
yang menurun. Ada juga
96 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Isu Mutakhir
orang tua mereka yang
meminta penundaan
pembayaran uang sekolah
karena uangnya terpakai
untuk melunasi uang masuk
perguruan tinggi. Ironis
bukan?.
Penyambutan Siswa
Baru SLTP dan SLTA
Dalam tahun pelajaran baru
ada siswa baru di kelas satu
sebagai junior, siswa kelas
dua dan kelas tiga sebagai
senior. Siswa baru perlu
adaptasi dengan lingkungan
baru, perlu mendapat teman
baru baik sesama junior
ataupun seniornya, perlu
pengakuan sebagai anggota
baru dalam kelompok
(sekolah).
Kehadiran siswa baru di
SLTP dan SLTA disambut
dengan kegiatan Masa
Orientasi Siswa (MOS). Di
perguruan tinggi kehadiran
mahasiswa baru disambut
dengan Pengenalan Sistem
Akademik Universitas
(PSAU). Dengan kata lain
MOS identik dengan PSAU.
Kegiatan MOS dan PSAU
melibatkan interaksi dan
kerjasama junior dan senior.
Interaksi tersebut hendaklah
diwaspadai agar tidak
menggunakan bentuk-bentuk
tradisional yang menjurus
pada hazing dan bullying.
Hazing ialah aktivitas
senior terhadap junior berupa
tindakan atau perintah untuk
melakukan hal-hal yang
memalukan, melecehkan,
membuat ketidaknyamanan
fisik dan mental, konyol dan
berbahaya yang sengaja
dilakukan pada saat
pengangkatan anggota baru.
Bentuk tradisional yang
menjurus pada hazing
contohnya senior melakukan
tindakan yang menyakiti fisik,
senior memerintahkan junior
agar meneriakkan yel-yel yang
tidak pantas, senior
memerintahkan junior
membotaki kepala, senior
menyuruh junior memakai
atribut di luar ketentuan yang
berlaku, senior memberikan
tugas di luar batas kewajaran.
Bullying ialah hazing atau
tindak kekerasan yang
dilakukan terus menerus
sehingga mengakibatkan
trauma fisik dan mental
bahkan mungkin kematian.
Contohnya tindak kekerasan
yang dilakukan oknum
mahasiswa senior di IPDN
Jatinangor Bandung, terhadap
juniornya dengan dalih
menegakkan disiplin yang
berakibat trauma fisik dan
mental bahkan kematian bagi
yang tidak kuat
menanggungnya. Pihak
sekolah hendaklah bertindak
tegas, mengawasi dengan
ketat agar para senior tidak
melakukan intimidasi
terhadap juniornya yang
berakibat pengeroyokan,
tawuran, pemalakan dan
tindak kekerasan lainnya.
Kegiatan MOS dan PSAU
hendaknya benar-benar
mencapai tujuan yaitu
memperkenalkan sistem
akademik, meningkatkan
peran siswa/mahasiswa
dalam proses pembelajaran,
mempererat hubungan
antarwarga sekolah/civitas
akademika, memperkenalkan
sarana dan prasarana dengan
membangkitkan kepedulian
siswa/mahasiswa terhadap
lingkungan sekolah/
universitas.
.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 97
Resensi buku : JANGAN PUKUL AKU!
JANGAN PUKUL AKU!
Diterjemahkan dari Unconditional Parenting:
Moving from Rewards and Punishments to Love and Reason
Alfie Kohn, 2005
Terbitan Attria Books, Amerika, 2005
Diterjemahkan oleh: M. Rudi Atmoko
Bandung: Mizan Learning Center (MLC)
XII+408 halaman
ISBN: 979-3611-46-4
Oleh: Nur Hari Cahyanti*)
*) Guru SDK BPK PENABUR Tasikmalaya
Resensi buku
ada umumnya masyarakat masih
menganggap anak merupakan pribadipribadi
kecil dan lemah serta berada di
bawah kendali orang dewasa. Orangtua
merasa berhak melakukan apa saja terhadap
anak, menentukan apa yang harus dilakukan
anak, bahkan menentukan masa depan anak.
Keluarga, sekolah, dan masyarakat terusmenerus
mengajarkan paradigma keliru, bahwa
anak-anak harus menurut sepenuhnya kepada
orang tua, guru, atau orang dewasa lainnya.
Anak-anak tidak boleh membantah, mengkritik,
apalagi melawan tanpa ada
penjelasan terperinci yang
masuk akal dan dipandang
pantas oleh orangtua.
Pandangan keliru
terhadap anak sering
membuka peluang timbulnya
berbagai tindak kekerasan,
penindasan, dan perlakuan
tidak baik terhadap anak.
Seolah-olah mendidik anak
memang harus dilakukan
dengan kekerasan. Karena
dianggap wajar, masyarakat
kurang merespon tindak
kekerasan terhadap anak oleh
orang dewasa, apalagi
pelakunya adalah orangtua
sendiri atau masih
mempunyai hubungan
keluarga. Masalah anak dianggap sebagai
masalah domestik keluarga yang tidak boleh
dicampurtangani oleh orang lain.
P Realita ini sangat memprihatinkan. Anakanak
yang banyak mendapatkan tindak
kekerasan akan mengalami berbagai gangguan
kejiwaan yang kelak, mengganggu proses
tumbuh kembangnya secara optimal. Mungkin
inilah penyebab anak-anak kita setelah besar
tidak mencerminkan pribadi-pribadi unggul.
Apabila kita menginginkan munculnya pribadipribadi
unggul di masa depan, semua orang
yang terpanggil harus berani bertindak dari
sekarang, yaitu menyerukan kepada orangtua
atau orang dewasa untuk menghentikan
berbagai tindak kekerasan
terhadap anak. Mendidik
anak tidak sekedar
memberikan instruksi atau
perintah, tetapi
memberikan hati kita orang
dewasa yang sarat dengan
cinta dan kasih sayang.
Kaitannya dengan
memunculkan pribadi
unggul, buku Jangan Pukul
Aku; Paradigma Baru
Pengasuhan Anak karya
psikolog terkemuka Amerika
Serikat, Alfie Kohn,
sungguh sangat tepat untuk
menjadi bahan bacaan
setiap orang dewasa untuk
meluruskan paradigma
salah tentang pendidikan
anak. Buku ini ditulis berdasarkan hasil riset yang
amat kaya dari para peneliti psikologi
perkembangan selama kurang-lebih 10 tahun.
98 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Resensi buku : JANGAN PUKUL AKU!
Buku yang kaya akan ilustrasi kejadian
sehari-hari hasil pengalaman langsung sang
penulis dengan anak-anaknya sendiri, serta
dilengkapi dengan latihan-latihan praktis
sederhana agar para pembaca dapat mengubah
paradigma lamanya yang keliru. Buku ini
menunjukkan bahwa pendidikan yang efektif
adalah pendidikan dan pengasuhan anak yang
bertumpu pada cinta dan kasih sayang tanpa
syarat. Pendidikan yang bertumpu pada prinsip
reward dan punishment belaka (paradigma
pendidikan lama) sudah tidak sesuai lagi,
karena hanya membuat anak menurut
(melakukan sesuatu) di bawah ancaman hadiah
dan hukuman.
Buku ini meninjau salah satu perbedaan
antara mencintai anak-anak karena apa yang
mereka lakukan dan karena siapa mereka. Jenis yang
pertama adalah cinta bersyarat, artinya anakanak
harus mendapatkannya dengan bertindak
dalam cara-cara yang
kita anggap tepat, atau
melakukan sesuatu
sesuai dengan standar
kita. Jenis yang kedua
adalah cinta tidak
bersyarat, artinya cinta
ini tidak bergantung
pada bagaimana
mereka bertindak,
apakah mereka
berhasil atau bersikap
baik atau yang lainnya.
Anak-anak bukanlah hewan peliharaan
yang dapat dilatih, bukan pula komputer yang
diprogram untuk merespon input yang dapat
diprediksikan. Mereka bertindak seperti ini,
bukan seperti itu karena banyak alasan berbeda,
sebagian di antaranya sulit untuk dipilah. Anakanak
perlu dibimbing dan dibantu, benar, tetapi
mereka bukan monster kecil yang harus
dijinakkan atau ditundukkan. Mereka
mempunyai kemampuan untuk mempunyai
belas kasihan atau agresif, mendahulukan
kepentingan umum atau egois, bekerja sama
atau bersaing. Cinta dari orangtua tidak perlu
dibayar dengan apapun. Cinta dari orangtua itu
murni hadiah semata. Cinta dari orangtua
adalah hak yang patut diperoleh semua anak
(hal. 22-28).
Selama bertahun-tahun para peneliti telah
menemukan bahwa “semakin bersyarat
dukungan (yang diterima oleh seseorang),
semakin rendah persepsinya tentang apa yang
berharga pada dirinya sebagai manusia”.
Apabila anak-anak menerima kasih sayang
bersyarat, mereka cenderung menerima diri
mereka sendiri dengan bersyarat pula.
Sejumlah penelitian menemukan bahwa
anak-anak maupun orang dewasa kurang
berhasil dalam berbagai tugas jika mereka
ditawari ganjaran (hadiah) untuk melakukannya
atau ketika melakukannya dengan baik.
Seberapa besar anak “termotivasi” untuk
melakukan sesuatu (menggunakan toilet, latihan
piano, berangkat ke sekolah, apa saja) tidaklah
terlalu penting, yang penting bagaimana anak
termotivasi. Dengan kata lain bukan jumlah
(kuantitas) yang penting, melainkan jenisnya
(kualitas).
Ada tiga gaya atau tekhnik mendisiplin
anak, yaitu : a) Teknik disiplin “otoriter” adalah
mendisiplinkan anak dengan kekuatan
hukuman fisik. Orang tua lebih sering menuntut
daripada menerima
dan menyemangati.
Orang tua jarang
memberi penjelasan
atas peraturan yang
mereka terapkan.
Orang tua
m e n g h a r a p k a n
kepatuhan mutlak,
dan menggunakan
hukuman sesukanya
u n t u k
mendapatkannya. b) Teknik disiplin “permisif”
adalah membiarkan anak bertindak semaunya
tanpa hukuman dan bimbingan. Teknik permisif
membingungkan anak untuk mengetahui
tentang perilaku yang boleh dan yang tidak
boleh. c) Teknik disiplin “demokrasi” adalah
menggunakan penjelasan, diskusi, dan
penalaran untuk membantu anak memahami
berperilaku yang baik dan benar.
Anak-anak yang menurut adalah yang
ibunya biasa bersikap mendukung dan hangat,
dan yang cenderung menghindari pengontrolan
dengan paksa. Penelitian menunjukkan bahwa
anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua yang
mengontrol, bahkan anak-anak yang berusia
tiga tahun, sangat cenderung mengganggu dan
agresif terhadap teman-temannya. Hasilnya
adalah teman-temannya tidak mau
berhubungan dengannya. Pengaruh
pengontrolan yang berlebihan itu merusak anakanak
tanpa peduli berapa usianya, pengontrolan
... pendidikan yang efektif
adalah pendidikan dan
pengasuhan anak yang
bertumpu pada cinta dan
kasih sayang tanpa syarat.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 99
Resensi buku : JANGAN PUKUL AKU!
yang berlebihan memiliki pengaruh negatif
terhadap semua orang.
Hukuman yang diberikan kepada anak
dengan alasan apapun tidak efisien
(kontraproduktif) sebagai alat untuk menghapus
perilaku negatif yang menjadi sasaran hukuman
tersebut. Memukul anak jelas “memberi
pelajaran” – dan pelajarannya adalah bahwa
orangtua bisa mendapatkan apa yang
diinginkannya dari orang-orang yang lebih
lemah (salah satunya anak) dengan cara
menyakitinya. Semakin orangtua bergantung
pada hukuman, maka “semakin sedikit
pengaruh nyata orangtua dalam kehidupan
anak”.
Penelitian membuktikan, bahwa hukuman
membuat anak menjadi lebih egois dan
mendatangkan penderitaan. Ironisnya
penderitaan yang anak-anak terima berasal dari
orang-orang yang menjadi tempat mereka
bergantung. Kontrol
yang berlebihan secara
umum terbukti jelas
menimbulkan dampak
negatif, tidak hanya
pada kesehatan mental
anak-anak, tetapi juga
pada keberhasilan
(prestasi) mereka di
sekolah.
Drs. M.S.
Hadisubrata, M.A.
dalam bukunya yang
berjudul “Mengembangkan Kepribadian Anak
Balita (pola pendidikan untuk meletakkan dasar
kepribadian yang baik)”, terbitan BPK-Gunung
Mulia tahun 1977, terhadap ketiga teknik
disiplin, beliau cenderung menyarankan
penggunaan teknik disiplin “demokrasi”, karena
lebih menekankan aspek edukatif disiplin,
bukan aspek hukuman. Dengan demikian
pendapat Drs. M.S. Hadisubrata, M.A. tidak
bertentangan dengan pendapat Alfie Kohn.
Akan tetapi Alfie Kohn lebih menekankan dalam
hal menyadarkan setiap orang tua mengenai
mencintai anak tanpa bersyarat dan perlunya
pendampingan/kehadiran orang tua di dekat
anak.
Ada 13 (tiga belas) prinsip pengasuhan tak
bersyarat yang diuraikan dan masing-masing
mempunyai implikasi praktis yang lebih
mengejutkan dan menantang. Ketigabelas
prinsip tersebut yaitu: 1) Bersikap reflektif; 2)
Pertimbangkan kembali permintaan Anda; 3)
Perhatikan selalu tujuan jangka panjang Anda;
4) Utamakan hubungan; 5) Ubah cara pandang
Anda, bukan hanya tindakan anda; 6) Hormat;
7) Bersikap wajar; 8) Kurangi bicara, lebih
banyak tanya; 9) Ingat selalu usia mereka (anakanak);
10) Anggaplah anak mempunyai motif
terbaik yang konsisten dengan fakta; 11) Jangan
asal mengucapkan kata “Tidak”; 12) Jangan
kaku; 13) Jangan tergesa-gesa (hal. 179).
Sebagian orang dengan sangat cepat
menjadi orangtua yang menyenangkan,
mendukung dan penuh perhatian kepada anakanak
hanya apabila anak-anak menyenangkan.
Tetapi cinta tak bersyarat menjadi paling penting
ketika mereka sedang tidak menyenangkan.
Cinta tak bersyarat menuntut orangtua
meminimalkan beberapa hal, antara lain: 1)
batasi jumlah kritikan; 2) batasi lingkup setiap
kritikan; 3) batasi intensitas setiap kritikan; 4)
carilah alternatif untuk kritik. Orangtua juga
dituntut untuk
memaksimalkan
suasana lebih ceria dan
menjadi orang tua
yang lebih pemaaf,
paling tidak ketika
berada di sekitar
anak-anaknya.
Marilyn Watson
seorang psikolog
pendidikan yang
membantu para guru
mengubah kelas
mereka menjadi masyarakat belajar yang peduli,
menekankan betapa pentingnya bagi para siswa
untuk merasa dipercaya dan diterima.
Penerimaan tak bersyarat bukan hanya sesuatu
yang patut diterima semua anak, tetapi juga
merupakan cara efektif dan kuat membantu
anak-anak menjadi orang yang lebih baik. Tentu
saja diperlukan ketulusan ketika orangtua
meyakinkan anak-anak, bahwa orangtua tetap
mencintainya tanpa peduli apa yang terjadi.
Orangtua tidak perlu membanjiri anak-anak
dengan barang-barang sebagai hadiah karena
melakukan apa yang orangtua inginkan, sebab
hal itu mengajarkan penyuapan kepada anak
dan menjadikan anak manja. Anak manja adalah
anak yang “mendapatkan terlalu banyak
keinginan dan terlalu sedikit kebutuhan
mereka”. Oleh karena itu orangtua sebaiknya
memberikan kasih sayang (yang anak-anak
butuhkan) tanpa batas, tanpa syarat, tanpa
cadangan, dan tanpa alasan. Berikanlah
Orangtua tidak perlu membanjiri
anak-anak dengan barang-barang
sebagai hadiah karena
melakukan apa yang orangtua
inginkan, sebab hal itu
mengajarkan penyuapan kepada
anak dan menjadikan anak manja.
100 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Resensi buku : JANGAN PUKUL AKU!
perhatian sebanyak mungkin yang dapat
diberikan tidak peduli suasana hati dan keadaan
Anda sebagai orangtua. Biarkan anak-anak tahu,
bahwa orangtuanya suka bersama dengannya.
Sebuah pernyataan sederhana yang tidak
mengandung evaluasi (contoh “kamu berhasil”)
memungkinkan anak tahu, bahwa orangtuanya
memperhatikannya. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa setelah anak-anak meniru
orang dewasa yang bertindak murah hati,
mereka yang diberitahu bahwa mereka berbuat
begitu “karena kamu adalah orang baik hati yang
suka membantu orang lain” menjadi lebih
pemurah daripada anak-anak yang diberitahu
bahwa mereka memberikan sumbangan karena
mereka diharapkan untuk berbuat begitu .
Anak-anak paling membutuhkan cinta
orang dewasa (orangtua, guru, dan orang yang
lebih tua) bukan
kekecewaan ketika
sedang menghadapi
kegagalan dalam
mencapai sesuatu
dan merasa tidak
mampu. Orangtua
dan guru harus
bekerja sama
membantu anak-anak
untuk menjadi orang
baik, dan lebih baik.
Untuk itu orangtua harus mengetahui apa yang
terjadi di sekolah, misalnya: 1) Apakah sekolah
merupakan tempat yang agenda utamanya
memenuhi kebutuhan anak atau untuk
mendapatkan ketaatan anak?; 2) Apakah
perilaku yang menyulitkan dilihat sebagai
masalah yang harus dipecahkan atau sebagai
pelanggaran yang harus dihukum?; 3) Apakah
para guru memandang pekerjaan mereka sebagai
membantu anak-anak belajar untuk membuat
keputusan yang baik atau apakah mereka
bersikeras membuat keputusan mereka sendiri?;
4) Apakah para siswa didorong untuk bekerja
sama dengan siswa lainnya, atau sebagian besar
tugas dimaksudkan untuk diselesaikan
sendirian (atau bahkan dengan kompetisi
dengan sesama siswa?); 5) Apakah sekolah
menerima anak-anak dengan tak bersyarat?
Apakah anak-anak merasa senang karena
diterima dengan tak bersyarat?. Bila yang terjadi
tidak seperti yang diharapkan, maka orangtua
perlu mengajak guru untuk memperbaiki
pemahaman keliru tentang pengasuhan anak
dengan cara memberikan buku-buku, kaset VCD,
atau sumber-sumber belajar lainnya.
Banyak orangtua yang mengalami kesulitan
mengatasi masalah anak-anaknya. Buku ini
menyarankan agar anak-anak diberi
kesempatan untuk mengusulkan beberapa cara
menangani masalahnya atau melibatkan anak
berpartisipasi dalam membuat keputusan. Riset
menunjukkan manfaat anak mempunyai
kesempatan untuk memilih atau terlibat dalam
pembuatan keputusan yaitu anak merasakan
kemandirian dan mempunyai kemungkinan
kecil untuk berperilaku buruk. Anak-anak
menjadi lebih suka dengan dirinya sendiri,
dengan sekolahnya, dan lebih menyukai tugastugas
yang menantang.
Cara-cara mengatasi “ketika anak-anak harus
melakukan sesuatu, tetapi ia tidak ingin
melakukannya”, yaitu:
1) Gunakan strategi
yang paling tidak
mengganggu. Baik
menghadapi anak
yang sedang marahmarah
(perlawanan
aktif), maupun anak
yang diam saja
(perlawanan pasif)
berilah anak waktu
beberapa saat, biarkan
anak menjadi tenang dan jangan terpancing ke
dalam perselisihan; 2) Jujurlah kepada mereka
(anak-anak). Katakanlah dan akui bila yang harus
dilakukan anak tidak menyenangkan atau
mengecewakan; 3) Jelaskan alasannya. Berilah
berbagai pandangan pilihan konsekuensi bila
tidak dilakukan. (Misalnya “kakakmu sekarang
sedang menunggu kita di sekolah, jika kita tidak
segera berangkat untuk menjemputnya, dia tidak
akan tahu kita berada di mana dan dia akan
sedih.”).; 4) Ubahlah menjadi permainan. Gunakan
imajinasi dan buatlah permainan untuk
membantu anak-anak menemukan suatu
kesenangan dalam mengerjakan hal-hal yang
pada dasarnya tidak menyenangkan.; 5) Berikan
teladan. Lebih mudah untuk menyuruh anakanak
melakukan sesuatu yang kita sendiri
bersedia untuk melakukannya.; 6) Beri mereka
(anak-anak) pilihan sebanyak mungkin. Bertanyalah
kepada anak: bagaimana mereka ingin
melakukannya, atau di mana mereka ingin
melakukannya, atau kapan mereka ingin
melakukannya, atau dengan siapa mereka ingin
... agar anak-anak diberi
kesempatan untuk
mengusulkan beberapa cara
menangani masalahnya atau
melibatkan anak berpartisipasi
dalam membuat keputusan.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 101
Resensi buku : JANGAN PUKUL AKU!
melakukannya. Ajaklah anak-anak untuk ikut
berpikir dan membuat keputusan meskipun
intinya adalah sesuatu yang harus dilakukan
(hal. 275-278).
Bagaimana kita membesarkan anak-anak
agar bahagia? Dan bagaimana kita membesarkan
anak-anak agar peduli apakah orang lain
bahagia juga?. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam membentuk anak-anak kita bermoral,
yaitu: 1) Pedulikan mereka (anak-anak). Hubungan
orangtua dan anak yang hangat, aman, dan cinta
tak bersyarat merupakan sesuatu yang sangat
penting bagi perkembangan moral anak.; 2)
Tunjukkan kepada mereka (anak-anak) bagaimana
hidup orang yang bermoral. Kita tunjukkan melalui
perbuatan kita atau teladan hidup kita, sebab
anak belajar dari apa yang mereka lihat.; 3)
Biarkan mereka (anak-anak) berlatih. Berilah
kesempatan kepada anak untuk membantu dan
untuk bekerja sama. (misalnya anak diberi
kepercayaan untuk mengawasi adiknya,
memelihara hewan peliharaan, dan
mengerjakan sesuatu bersama teman-temannya.;
4) Bicaralah dengan mereka (anak-anak). Orangtua
harus meluangkan waktu cukup banyak untuk
mengkomunikasikan nilai-nilai yang baik yang
berlaku secara umum di masyarakat yang harus
mereka lakukan. (Misalnya mengatakan kata
tolong dan terima kasih dapat membuat orang lain
merasa senang mendengarnya. Dan doronglah
anak-anak melakukan dan mengusahakan
untuk membantu dan menyenangkan orang lain.
Selamat membaca buku “JANGAN PUKUL
AKU” yang ditulis psikolog Alfie Kohn, maka
akan mendapatkan banyak manfaat dalam
mendidik dan mengasuh anak-anak kita sendiri
dan anak-anak didik kita secara benar.
Tinggalkan hukuman dan hadiah yang selama
ini digunakan untuk mengancam anak agar
disiplin, rajin, dan melakukan segala sesuatu
yang kita inginkan. Mulailah dengan mencintai
anak-anak dengan cinta yang tulus. Buku ini
juga memberikan banyak latihan bagi orang tua
dalam mendidik anak dengan benar.
102 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
PROFIL BPK PENABUR RENGASDENGKLOK
PROFIL BPK PENABUR RENGASDENGKLOK
Sarindi*)
*) Kepala SDK BPK PENABUR Rengasdengklok
Profil
ikal bakal berdirinya Sekolah BPK
PENABUR Rengasdengklok adalah
adanya Kursus Pemberantasan Buta
Huruf (PBH) yang didirikan oleh Gereja
Kristen Pasundan pada tahun 1950 bertempat
di Rumah Gereja Kristen Pasundan kampung
Warudoyong Rengasdengklok. Pada tahun 1953
Kursus Pemberantasan Buta Huruf berganti
menjadi Sekolah Dasar Kristen (SDK). Pada
tahun pertama SDK mempunyai jumlah murid
60 anak (kelas 1-3) dan hanya ditampung dalam
satu ruangan.
Pada tahun 1960 SDK pindah menempati
gedung Sekolah Tionghoa di Jalan Raya
Rengasdengklok. Gedung Sekolah ini ditutup
karena adanya Peraturan Pemerintah No.10
tahun 1960 yang melarang Warganegara Asing
(WNA) tinggal di kota kecamatan. Karena tidak
mempunyai akte pendirian yayasan, pada tahun
1962 SDK diusir oleh pemerintah setempat untuk
meninggalkan bekas gedung Sekolah Tionghoa.
Gedung ini selanjutnya diambil alih pemerintah
dan kemudian ditempati Sekolah Dasar Negeri.
Dengan berat hati SDK meninggalkan bekas
gedung Sekolah Tionghoa dan kemudian
menempati bekas gudang beras milik Bapak Tjio
Djin Liang di Jalan Karyabhakti.
Belajar dari pengalaman pahit yang terjadi
Ketua Majelis Jemaat Gereja Kristen Protestan
Rengasdengklok Bapak Yasin Elia (kakek Bapak
Didi Elya Ketua BPK PENABUR
Rengasdengklok periode 2006-2010) mengurus
akte pendirian Yayasan di kantor Notaris
Amanus Karawang. Tanggal 16 April 1962
Sejarah Singkat
C Yayasan yang menaungi SDK resmi berdiri
dengan nama YAYASAN PENDIDIKAN dan
PERGURUAN KRISTEN (YPPK)
Rengasdengklok dengan akte No.2 tahun 1962.
Tahun 1970 Bapak Tjio Djin Liang
memfungsikan kembali gudangnya, otomatis
SDK harus terusir dan pindah kembali. Situasi
sulit terjadi kembali. Beruntung Tuhan
mengirimkan utusan-Nya untuk
menyelamatkan SDK. Dengan modal uang
sendiri Bapak Thio Akun (Musa)
mengontrakkan tanah seluas 660 m2 selama 20
tahun di Jalan Karyabhakti No.136. Di tempat
ini Bapak Thio Akun juga membangun tiga
lokal kelas semipermanan dan diberi nama SDK
Gunabhakti.
Pada tanggal 26 September 1974 GKP
Rengasdengklok bergabung ke Sinode GKI Jabar.
Namun pada penggabungan ini YPPK
Rengasdengklok tidak diikutsertakan. Usaha
untuk menggabungkan YPPK Rengasdengklok
ke Badan Pendidikan milik GKI Jabar (BPK
Jabar) terus dilakukan namun tidak berhasil.
Kembali SDK berjalan tertatih tatih “Bagai anak
ayam kehilangan induknya “
Tekad untuk menyelamatkan SDK
Gunabhakti terus berkobar, dengan swadaya
murni wali murid, Pengurus Yayasan yang
tersisa dan masyarakat setempat berhasil
membangun 3 ruang kelas bangunan permanen.
Dengan bantuan Inpres Pemerintah pada awal
tahun 1980 dibangun lagi satu lokal/ruang
kelas bertingkat, satu lokal ruang kantor dan
WC.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 103
PROFIL BPK PENABUR RENGASDENGKLOK
Melalui perjuangan yang panjang dan
melelahkan akhirnya pada tanggal 28 Agustus
1981 YPPK Rengasdengklok diterima bergabung
dengan BPK Jabar (BPK PENABUR). Babak baru
dimulai, BPK PENABUR menabuh genderang
pendidikan di Rengasdengklok, sebuah kota
kecil bersejarah, tempat disepakatinya
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17
Agustus 1945.
Pada tanggal 3 Agustus 1987 KPS BPK
PENABUR Rengasdengklok mengembangkan
sayapnya dengan membuka TKK Mawar Saron
di tanah milik GKI Jabar jalan Proklamasi
Rengasdengklok. Pada tanggal 27 April 1991
SDK Gunabhakti dan TKK Mawar Saron
bersama-sama hijrah ke Jalan Raya Bedeng.
Menempati bangunan baru berlantai dua,
sebuah bangunan yang lebih memadai dan
representatif. Gedung sekolah yang dibangun
di atas tanah milik sendiri dengan luas tanah
4360 m2. Di lokasi yang baru ini SDK
Gunabhakti dan TKK Mawar Saron berganti
nama menjadi TK-SD BPK PENABUR
Rengasdengklok
Gambaran Umum
No Jenjang Fasilitas Pendukung Perlu Pembenahan
1
TK
-
-
-
-
-
Memiliki sarana
pembelajaran komputer
Memiliki sarana bermain di
luar ruangan lengkap
Letak sekolah mudah dijangkau
Ruang kelas memakai AC
Lingkungan aman dan nyaman
untuk belajar
-
-
-
-
-
Ruang khusus untuk bermain di
dalam ruangan
Kantor Kepala Sekolah
Ruang U K S
Ruang perpustakaan
Penambahan alat peraga
2
SD
-
-
-
-
-
-
-
Lingkungan sekolah dan
ruang kelas ditata dengan
rapi, sehingga dapat menciptakan
suasana belajar
yang baik
Fasilitas kelas, lab komputer
lengkap
Halaman cukup luas
Memiliki kolam renang
Menjadi sekolah binaan dari
USAID
Menjadi sekolah percontohan
di antara sekolah binaan
USAID di Jawa Barat
Pada tahun 2007 terakredi-
tasi dengan nilai A (95,06)
-
-
-
-
Ruang kesenian
Ruang aula untuk kebaktian dan
pertemuan orang tua murid
Penambahan buku perpustakaan
Peningkatan kualitas SDM
104 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
PROFIL BPK PENABUR RENGASDENGKLOK
Jumlah Siswa Tiga Tahun Terakhir (2004-2007)
74
82
60
141 144
166
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
04-05 05-06 06-07
TK
SD
Prestasi Siswa Tiga Tahun Terakhir (2004-2007)
Jenjang No Prestasi yang Dicapai Tahun
TK
1. Juara Harapan II Gerak Jalan tingkat Jabotabek 2004
2. Juara HarapanII Lari Estafet tingkat Jabotabek 2004
3. Juara Harapan III Bola Keranjang tingkat Jabotabek 2004
4. Juara I Memindahkan Air tingkat Jabotabek 2006
5. Juara Harapan I Lempar Bola tingkat Jabotabek 2006
6. Juara Harapan III Lompat tingkat Jabotabek 2006
SD
1. Juara I Olympiade Matematika tingkat Kabupaten
Karawang
2004
2. Juara I Lomba Sekolah Sehat tingkat Kabupaten Karawang 2004
3. Juara I Bulutangkis Tunggal Tutra kejuaraan Bupati Cup 2004
4. Peringkat IV Olympiade IPA tingkat Kabupaten Karawang 2005
5. Juara I Renang Gaya Bebas putri kejuaraan Bupati Cup 2005
6. Juara II Renang Gaya Dada Putra kejuaraan Bupati Cup 2005
7. Juara II lomba Matematika sekabupaten Karawang 2005
8. Juara I Pidato Bahasa Indonesia Tingkat Kabupaten
Karawang
2006
9. Peringkat 9 Pidato Bahasa Indonesia tingkat Propinsi Jawa
Barat
2006
10. Juara III Komputer tingkat kabupaten Karawang 2006
11. Juara II Lomba IPA, Matematika SMP Slamet Riyadi
Karawang
2007
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 105
PROFIL BPK PENABUR RENGASDENGKLOK
Kepala TKK
No. Nama Masa Jabatan
1. Rohana R. Suwandari 1986 - 1989
2. Ingliani Ratnawati T 1989 - 1995
3. M. Mudjiman 1994 - 2001
4. Drs. Sarindi 2001 - 2006
5. Kamtirah 2006 - sekarang
Kepala SDK
No. Nama Masa Jabatan
1. Hawari 1953 -1956
2. Suramin Danci 1956 -1957
3. Sudarsono Diharjo 1957 - 1962
4. Silas Jalimun 1962 - 1970
5. Nurhadi 1970 -1981
6. Tjipto Prawoto 1981 - 1983
7. M. Mudjiman 1983 - 2001
8. Drs. Sarindi 2001 - sekarang
3 3 3
13 13 13
0
2
4
6
8
10
12
14
04-05 05-06 06-07
TK
SD
Jumlah Guru Tiga Tahun Terakhir (2004-2007)
106 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
PROFIL BPK PENABUR RENGASDENGKLOK
Beberapa Faktor yang dapat
dikembangkan agar menjadi
“Sekolah Pilihan Masyarakat”
1. Menegakkan disiplin, guru, karyawan dan
siswa.
2. Meningkatkan prestasi siswa baik di
bidang akademis maupun non akademis.
3. Membudayakan tertib belajar dan tertib
bekerja.
4. Meningkatkan kemampuan SDM baik di
bidang pengajaran maupun pelayanan
terhadap siswa
5. Melengkapi sarana dan prasarana
pendidikan.
6. Mencari kemitraan dalam hal mencari
dana, sehingga semua program sekolah
terbiayai
7. Kerjasama dengan gereja-gereja setempat
agar mendukung jemaatnya untuk
menyekolahkan anaknya di BPK PENABUR
Rengasdengklok.
8. Melaksanakan “Open House” agar
masyarakat mengenal Profil Sekolah BPK
PENABUR Rengasdengklok.
9. Merencanakan membuka jenjang
pendidikan SMP sehingga ada
kesinambungan antara pendidikan di TK,
SD dan SMP.
Penutup
BPK PENABUR Rengasdengklok adalah
satu-satunya sekolah swasta di tingkat
kecamatan Rengasdengklok. Namun untuk
mencari murid tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Tidak mudah menarik simpati
masyarakat non Kristen untuk menyekolahkan
anaknya di BPK PENABUR. Kalau dilihat dari
jumlah murid tiga tahun terakir memang
mengalami kenaikan, tetapi kenaikannya kurang
segnifikan. Kondisi ini tidak mematahkan
semangat para Pengurus,Kepala Sekolah, Guru
dan Karyawan untuk mengupayakan BPK
PENABUR Rengasdengklok menjadi “
Sekolah Pilihan Masyarakat”.
BPK PENABUR Rengasdengklok mulai
berbenah diri, mulai dari melengkapi sarana dan
prasarana pendidikan, meningkatkan kualitas
guru dengan cara mengikutsertakan pelatihanpelatihan
yang diselenggarakan oleh Diknas,
DBE maupun PH BPK PENABUR, mendorong
guru-guru yang belum berpendidikan S1 untuk
studi lanjut S1, dan sekarang ini sedang merintis
mengembangkan jenjang pendidikan tingkat
SMP yang selama ini menjadi keinginan orang
tua murid SD. Selama ini putra-putri mereka
setelah lulus dari SDK BPK PENABUR harus
melanjutkan tingkat SMP ke Karawang yang
jaraknya kurang lebih 20 km. Kiranya Rencana
Pengurus BPK PENABUR Rengasdengklok ini
mendapatkan dukungan sepenuhnya dari PH
BPK PENABUR.
Harapan menjadi “Sekolah Pilihan
Masyarakat” tetap menjadi cita-cita BPK
PENABUR Rengasdengklok. Tentunya disertai
doa dan mohon pertolongan dari Tuhan. Tuhan
memberkati pelayanan kita di BPK PENABUR.
Ketua Yayasan (Pengurus)
No Nama Masa Jabatan
1. Eddi Setiadi 1982 - 1986
2. Boedi Pringadi 1986 - 1994
3. Yanny Suryana, SE. 1994 - 2002
4. Dr.Suryana Afandi, M.Kes. 2002 - 2004
5. Daniel Kristiadi 2004 - 2006
6. Didi Elya, M.Kes. 2006 - 2010
Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007 107
lahir di Jakarta Maret 1960. Bekerja di Force One Selling dan Distribution
Consultants; Frontier Marketing & Research Consultants Partner &
Principals Consultant. Sebagai Pengurus BPK PENABUR Jakarta
periode 2006-2010.
lahir di Bandung, Desember 1961. Lulus dari STT Duta Wacana
tahun 1987 dan saat ini sedang menyelesaikan S2 Program M.Min
pada STT Jakarta. Menulis beberapa Modul Pengajaran PAK dan
pernah sebagai Dosen tidak tetap di UNTAR dan UKRIDA. Sejak
1998- sekarang sebagai Kepala Bidang Kerohanian BPK PENABUR
Jakarta.
lahir di Klaten, Jawa Tengah. Menyelesaikan studi di IKIP Sanata
Dharma tahun 1984, (sekarang Universitas Sanata Dharma)
Yogyakarta, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(FMIPA). Menyelesaikan S2 Magister Manajemen di Universitas
Kristen Krida Wacana Jakarta tahun 2007. Saat ini sebagai Kepala
Jenjang SMA BPK PENABUR Jakarta.
born in Jogyakarta, December 1978. His last education is S1 English
Education Faculty and Teachers Training Program 2001 in Sanata Dharma
University, Yogyakarta. He worked as an English teacher in SMAK 1 BPK
PENABUR JAKARTA for 2 years and works as Bina Nusantara University
English Lecturer Jakarta for 5 years (2001 -2006). Now he is studying for
Master degree program in Sanata Dharma University, Yogyakarta in order
to improve his competence and knowledge related to the development of EFL
education.
lahir di Jakarta, April 1969. Menyelesaikan S1 di FKIP Universitas
Jambi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (1996). Menyelesaikan
Magister Pendidikan tahun 2004 di Universitas Kristen Jakarta. Pada
tahun 2000 s.d tahun 2002 pernah menjadi dosen di Akademi
Sekretaris dan Manajemen LEPISI Tangerang. Bekerja di BPK
PENABUR sejak tahun 1988 dan saat ini sebagai guru Bahasa
Indonesia di SMP Kristen 1 BPK PENABUR Jakarta serta pelatih
ekstrakurikuler menulis.
lahir di Jakarta, September 1957. Sarjana Muda ASMI tahun 1957 dan
melanjutkan pendidikan di Jurusan Bimbingan Konseling di STKIP
Jakarta dan lulus tahun 2004. Sebelum menjadi guru di BPK
PENABUR, bekerja sebagai sekretaris di PT. Citroen House, PT. Nissei
Indonesia dan PT. Wisma Peni. Saat ini sebagi guru BK di SDK 1 BPK
PENABUR Jakarta.
lahir di Bandung, Juli 1971. Menyelesaikan Program Magister
Manajemen di Universitas Katolik Parahyangan Bandung dengan
konsentrasi Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Program
Magister Pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia dengan
Program Studi Pengembangan Kurikulum konsentrasi Teknologi
Pendidikan. Sejak tahun 1994 menekuni dunia pendidikan sebagai
Keterangan Mengenai Penulis
Chris Maryadi SB,
ACCA., M.Com.,
Djudjun Djaenuddin
Supriadi, S.Th.,
Elika Dwi Murwani,
Dra.,
Kaprista Sutikno,
Keke T. Aritonang,
M.Pd.,
Melanie D. Murwanto,
S.Pd.,
Muksin Wijaya, M.Pd.,
M.M.,
108 Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
guru di beberapa SMP dan SMA swasta Kristen dan Katolik. Menulis
Buku Komputer yang diterbitkan oleh Gramedia–Elexmedia dan
Penerbit ANDI Yogyakarta. Saat ini selain dosen luar biasa di
Sekolah Tinggi Informatika dan Manajemen di Bandung, juga
sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Program Pendidikan BPK
PENABUR Bandung. Alamat e-mail: muksin@bpkpenabur.or.id
lahir di Sukabumi, Januari 1950. Mulai bekerja di BPK PENABUR
sejak tahun 1974 sebagai guru tidak tetap di SMKK I (dahulu
SMEAK). Diangkat sebagai guru tetap tahun 1977. Selain di SMEAK,
mengajar juga di SMK II (dahulu STMK) dan SMFK. Pernah juga
mengajar di SMAK 1. Setelah SMKK I dan SMKK II ditutup pada
tahun 2007, ditempatkan mengajar di SMFK, SMAK 3, dan SMAK 7
BPK PENABUR.
lahir di Yogyakarta, Juli 1962. Menyelesaikan D3 Pendidikan Sejarah
dari Universitas Galuh Ciamis. Guru TKK BPK PENABUR
Tasikmalaya sejak 1982 sampai sekarang.
lahir di Klaten, Oktober 1972. Menyelesaikan pendidikan menengah
atas di SMA Kolese De Britto Yogyakarta (1992) Jurusan Ilmu Biologi
(A2). Menyelesaikan S1 di Universitas Sanata Darma Yogyakarta
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (1998). Bekerja di
BPK PENABUR Bandung sejak tahun 1998 yaitu sebagai staf
pengajar Bahasa Indonesia di SMAK 2 BPK PENABUR Bandung.
lahir di Sidikalang. Menyelesaikan S1 dari IKIP Negeri Medan
(sekarang Universitas Negeri Medan). Mulai bekerja di BPK
PENABUR (Pusat) tahun 1993 di bagian Biro Perencanaan dan
Pengembangan Pendidikan. Kemudian di bagian Risbang dan saat
ini sebagai staf Pendidikan dan Diklat BPK PENABUR.
lahir di Sragen, Januari 1964. Menyelesaikan Pendidikan Program S1
di Universitas Singaperbangsa Karawang Jurusan Kurikulum dan
Teknologi Pendidikan tahun 1991. Menjadi guru SD BPK PENABUR
Rengasdengklok tahun (1985- 2001 ) dan tahun 2001-sekarang
menjadi Kepala SD BPK PENABUR Rengasdengklok.
lahir di Jakarta, Juni 1974. Sarjana Pendidikan Teknik Elektro dari
IKIP Jakarta, 1998. Mulai bekerja di BPK PENABUR Jakarta tahun
1999 sebagai staf Bagian Litbang. Saat ini sebagai staf Bagian Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta.
Tertarik dan mengamati pendidikan usia dini sejak terlibat dalam
penyusunan kurikulum TKK Bilingual BPK PENABUR Jakarta.
lahir di Sleman, 27 Juli 1966. Sarjana Pendidikan dari FK I P Jurusan
Kurikulum Teknologi Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga. Selama mahasiswa aktif menulis di koran kampus. Saat ini
sebagai staf di Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (P4)
BPK PENABUR Jakarta. Keahlian lain adalah menyunting naskah,
menyusun kuesioner dan evaluasi program. Sekarang memperoleh
beasiswa dari BPK PENABUR Jakarta untuk melanjutkan studi di
Program Pascasarjana S2 Jurusan Teknologi Pendidikan Universitas
Negeri Jakarta (UNJ).
Mulyani, Dra.,
Nur Hari Cahyanti,
Petrus Trimantara, S.Pd.,
Rosmawati Situmorang,
Sarindi, Drs.,
Upi Isabella, S.Pd.,
Yuli Kwartolo, S.Pd.,

0 komentar:

Posting Komentar